Idul Adha Jamaah Islam Aboge di Purbalingga, Tetap Kukuh Berdasarkan Kalender Rabu Wage

- Jamaah Islam Aboge di Purbalingga merayakan Idul Adha berdasarkan kalender Rabu Wage, bukan kalender umum.
- Penentuan hari raya didasarkan pada perhitungan spiritual dan pasaran Jawa, seperti Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon.
- Jamaah ini bertahan di tengah modernisasi global dengan jaringan spiritual dan kultural yang kuat, menunjukkan kearifan lokal masih hidup.
- Berdasarkan weton dan pasaran Jawa
- Jamaah Aboge meyakini penentuan hari-hari besar Islam berdasarkan perhitungan spiritual dan pasaran Jawa, bukan hanya astronomis.
- Bertahan ditengah modernisasi global
- Jamaah Islam Aboge tetap bertahan di tengah arus modernitas dan globalisasi, memegang teguh kearifan lokal sebagai identitas Muslim Jawa.
- Simbol Kepasrahan dan solidaritas
- Usai sholat Idul Adha, jamaah Aboge menyembelih hewan kurban sebagai simbol kepasrahan Nabi Ibrahim, dengan daging kurban dibagikan kepada warga tanpa memandang aliran.
Purbalingga, IDN Times - Ketika mayoritas umat Islam telah menuntaskan pelaksanaan Idul Adha beberapa hari sebelumnya, Minggu pagi (8/6/2025) suasana khidmat dan khusu justru baru dimulai di Masjid Jami Syech Sayid Kuning, Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga.
Para jamaah dari kalangan Islam Aboge singkatan dari Alif Rebo Wage baru saja melangsungkan Salat Idul Adha berdasarkan hitungan kalender keagamaan tradisional mereka. Menurut ketua kelompok Islam Aboge Desa Onje, Maksudi menyebut tidak mengikuti kalender secara umum, namun memiliki versi sendiri.
“Bagi kami, hari raya bukan semata mengikuti kalender umum, tapi berdasarkan perhitungan spiritual yang diwariskan turun temurun. Hari ini adalah 10 Zulhijjah versi Aboge, hari besar yang telah kami siapkan sejak lama,”ujarnya.
1. Berdasarkan weton dan pasaran Jawa

Jamaah Aboge meyakini bahwa penentuan hari-hari besar Islam tidak semata berdasar perhitungan astronomis, tetapi juga memperhatikan weton atau pasaran Jawa. Perayaan Idul Adha tahun ini ditetapkan jatuh pada Minggu Manis 8 Juni 2025, bertepatan dengan 10 Zulhijjah 1446 Hijriah versi hitungan Aboge.
Maksudi menjelaskan, perhitungan ini menggunakan siklus kombinasi hari Jawa yakni Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan sistem windu atau delapan tahunan , yang dipadukan dengan rotasi kalender Hijriah.
“Pasaran Pon, Wage, dan Kliwon menjadi pedoman penting. Tahun ini, tepatnya pada alif Rabu Wage, maka Idul Adha kami jatuh hari ini,” jelas Kiai Maksudi.
2. Bertahan ditengah modernisasi global

Jamaah Islam Aboge tidak hanya ditemukan di Purbalingga, namun juga menyebar ke berbagai wilayah eks Karesidenan Banyumas Raya, seperti Banyumas, Banjarnegara, dan Cilacap. Mereka memiliki jaringan spiritual dan kultural yang kuat, menjadikan ajaran ini bertahan di tengah arus modernitas dan globalisasi.
Di tengah dominasi kalender nasional dan media digital, keberadaan jamaah ini justru menjadi penanda bahwa kearifan lokal masih hidup dan berfungsi sebagai penentu ritme hidup masyarakat.
“Kami tidak menolak teknologi, tapi kami tetap memegang warisan ini. Ini bagian dari identitas kami sebagai Muslim Jawa, Kami juga tetap menghormati yang lain, Mereka lebaran duluan, kami menyusul, semua punya dasar masing-masing,”tambah Kiai Maksudi.
3. Simbol Kepasrahan dan solidaritas

Usai sholat dan bersalam-salaman, acara dilanjutkan dengan penyembelihan hewan kurban. Seekor sapi dan beberapa kambing disiapkan oleh jamaah yang secara swadaya bergotong-royong menyisihkan rezeki mereka. Pemotongan dilakukan di pelataran masjid, disaksikan oleh para jamaah yang membantu proses pembagian.
“Daging kurban kami bagikan kepada seluruh jamaah dan warga sekitar, tanpa memandang aliran. Karena inti kurban adalah berbagi dan meneladani kepasrahan Nabi Ibrahim,” ujar salah satu panitia kurban.
Dengan kalender Rabu Wage dan harmoni kehidupan sosial, mereka menjaga warisan yang tidak sekadar soal tanggal ibadah, tapi juga tentang cara pandang, ritme hidup, dan ketundukan yang mendalam pada Tuhan, seperti bumi tunduk pada langit.