Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Masjid Agung Demak (instagram.com/eka_aprilianti15)
Masjid Agung Demak (instagram.com/eka_aprilianti15)

Intinya sih...

  • Masjid Tumpeng adalah bukti akulturasi Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia sejak abad ke-13.

  • Pelestarian masjid kuno, seperti Masjid Tua Wapauwe di Ambon, dapat membangun perdamaian dan identitas lokal.

  • Komunitas penjaga tradisi arsitektur tradisional perlu didukung untuk mencegah hilangnya pengetahuan dan ritual yang rentan punah.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Demak, IDN Times - Warisan arsitektur masjid kuno di Indonesia, khususnya yang bertipe tumpeng, menyimpan narasi panjang mengenai akulturasi budaya, toleransi, dan proses Islamisasi yang damai di Nusantara. Meski demikian, perhatian terhadap itu masih terbatas dibandingkan masjid berkubah yang lebih populer.

Hal itu diungkapkan oleh Peneliti dari Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO), Helene Njoto, dalam kajian bertemakan Masjid Tumpeng: Saksi Rapuh Kebhinnekaan dan Masuknya Islam ke Asia Tenggara. Kajian tersebut merupakan bagian dari Forum Kebhinnekaan ke-30 yang diusung oleh Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah (PRPS), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Selasa (9/9/2025).

Mengapa Masjid Tumpeng penting?

potret Masjid Demak (instagram.com/dodiwirawanxxv)

Masjid Tumpeng adalah sebutan untuk masjid kuno dengan ciri khas atap bersusun atau bertingkat (tumpang). Biasanya terdiri dari tiga atau lima tingkat, dan menggunakan konstruksi kayu tradisional.

Berbeda dengan masjid bergaya Timur Tengah yang berkubah, masjid tipe ini merupakan bukti fisik pertemuan dua arus besar peradaban. Yaitu Indianisasi (pengaruh Hindu-Buddha) dan Islamisasi yang mulai masuk sekitar abad ke-13.

“Masjid tumpeng bukan sekadar bangunan, tetapi juga cerminan kebhinnekaan, bagaimana budaya lokal menyerap pengaruh luar dan membentuk identitas arsitektural khas Nusantara,” ujar Helene.

Elemen-elemen seperti atap meru (khas pura Hindu), saka guru (empat tiang utama), dan panggung batu menunjukkan kesinambungan yang harmonis antara tradisi pra-Islam dan nilai-nilai Islam.

Pelestari tradisi dan budaya rentan hilang

kompleks Masjid Agung Demak (instagram.com/journal_avrilladee)

Helene menyoroti contoh nyata pelestarian yang berdampak positif bagi masyarakat. Salah satunya adalah proyek konservasi Masjid Tua Wapauwe di Kaitetu, Ambon, yang berlangsung sejak 2022. Yang menarik, proyek tersebut tidak hanya melibatkan komunitas muslim, tetapi juga masyarakat Kristen setempat.

Partisipasi lintas agama itu, imbuhnya, memperlihatkan bagaimana warisan budaya dapat menjadi medium rekonsiliasi pascakonflik serta simbol kebersamaan dan perdamaian.

“Pengalaman konservasi Masjid Tua Wapauwe membuktikan bahwa pelestarian masjid kuno dapat menjadi jalan untuk membangun perdamaian, memperkuat identitas lokal, sekaligus memberdayakan masyarakat,” ujarnya.

Meski demikian, kelestarian masjid kuno tersebut diakui Helena masih sangat bergantung pada komunitas penjaga tradisi yang mana pengetahuan dan ritualnya berisiko hilang atau rentan punah.

Di Ambon, kelompok Tukang 12 berperan penting menjaga pengetahuan arsitektur tradisional. Sayang, minat generasi muda untuk meneruskan tradisi itu sudah mulai berkurang.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, masyarakat setempat membentuk Galeri Kaitetu sebagai pusat dokumentasi, pembelajaran, dan edukasi bagi generasi muda sekaligus destinasi wisata budaya.

Konservatori terakhir di Asia Tenggara

Salah satu arsitektur masjid tumpeng di Masjid Agung Sang Cipta Rasa Kota. (Dok. Disbudpar Kota Cirebon)

Helene menyatakan, jumlah masjid kuno bertipe tumpeng di Indonesia terbatas, dan sebagian telah mengalami perubahan besar.

Ia pun menyebut jika masjid tumpeng sebagai konservatori terakhir warisan arsitektur Islam awal di Asia Tenggara.

“Indonesia kini dapat disebut sebagai konservatori terakhir warisan arsitektur Islam awal di Asia Tenggara,” ungkapnya.

Ia berpesan bahwa pelestarian harus dipahami secara menyeluruh, mencakup aspek fisik bangunan dan nilai tak berwujud seperti pengetahuan, ritual, serta semangat gotong royong.

“Pelestarian warisan ini bukan hanya tugas negara, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa, agar jejak sejarah yang merepresentasikan kebhinnekaan tidak hilang ditelan zaman,” ungkapnya.

Masjid Tumpeng: Saksi Kebhinnekaan dan Islamisasi di Asia Tenggara

Masjid Tumpeng

Saksi Kebhinnekaan dan Jejak Islamisasi di Nusantara

Masjid Tumpeng adalah warisan arsitektur Islam awal di Asia Tenggara yang unik, dengan atap bertingkat khas dan konstruksi kayu tradisional. Jumlahnya terbatas dan terancam punah. Indonesia kini menjadi konservatori terakhir dari warisan berharga tersebut, sebuah cerminan bagaimana budaya lokal menyerap pengaruh luar dalam membentuk identitas arsitektural yang khas.

Abad ke-13

Awal jejak Islamisasi yang berpadu dengan tradisi lokal.

2 Arus Besar

Pertemuan antara Indianisasi (Hindu-Buddha) dan Islamisasi.

1 Konservatori

Indonesia sebagai penjaga terakhir warisan arsitektur ini.

Akulturasi Budaya dalam Arsitektur

Arsitektur Masjid Tumpeng bukanlah entitas tunggal, melainkan hasil sintesis dari berbagai pengaruh budaya yang telah ada di Nusantara selama berabad-abad. Hal tersebut menjadi bukti fisik dari dialog budaya yang harmonis.

🏛️

Pengaruh Pra-Islam

Struktur atap bertingkat (meru) dan panggung batu adalah kesinambungan dari arsitektur candi era Hindu-Buddha.

+

🕌

Nilai Islamisasi

Fungsi sebagai pusat ibadah dan penyebaran Islam, dengan adaptasi ruang seperti mihrab dan serambi.

Identitas Arsitektur Nusantara

Gabungan ini melahirkan Masjid Tumpeng yang menjadi cerminan kebhinnekaan, menunjukkan bagaimana Islam diterima dan diadaptasi secara damai oleh budaya lokal yang sudah mapan.

Perbandingan Arsitektur: Tumpeng vs Kubah

Perbedaan antara masjid tumpeng dan masjid modern berkubah sangat mencolok, merefleksikan dua era Islamisasi yang berbeda. Masjid tumpeng mewakili fase awal yang adaptif, sementara masjid modern mencerminkan pengaruh global yang lebih baru.

Karakteristik Masjid

Masjid Tumpeng

  • Atap: Bertingkat (tumpang), berbentuk limas atau piramida.
  • Pengaruh: Akulturasi budaya lokal Jawa, Hindu-Buddha, dan Tionghoa.
  • Bahan: Didominasi bahan lokal seperti kayu jati dan batu bata.
  • Ciri Khas: Tanpa menara, menggunakan bedug, ditopang saka guru.

Masjid Modern Berkubah

  • Atap: Kubah besar, dilengkapi menara tinggi.
  • Pengaruh: Arsitektur Timur Tengah, Eropa, dan global.
  • Bahan: Material modern seperti beton, keramik, dan baja.
  • Ciri Khas: Menara untuk azan, fitur modern (AC, lampu hias).

Contoh Masjid Tumpeng Ikonik

Berikut adalah beberapa contoh Masjid Tumpeng yang tersebar di Indonesia, menunjukkan keragaman dan kekhasan arsitektur lokal yang berpadu dengan nilai-nilai Islam.

Masjid Agung Demak

Lokasi: Demak, Jawa Tengah

Memiliki atap tajug tumpang tiga yang melambangkan tiga tingkatan iman. Atap ini merupakan hasil akulturasi Islam dengan budaya lokal, menyerupai punden berundak.

Masjid Agung Sang Cipta Rasa

Lokasi: Cirebon, Jawa Barat

Menggunakan atap limasan tumpang tiga, yang juga memiliki makna filosofis seperti Iman, Islam, dan Ihsan, dan tidak menggunakan memolo sebagai puncak atap.

Masjid Banua Halat

Lokasi: Tapin, Kalimantan Selatan

Memiliki konstruksi sederhana dengan atap tumpang bersusun dua yang membentuk kerucut dan menjulang tinggi, khas arsitektur lokal Banjar.

Studi Kasus: Masjid Tua Wapauwe, Ambon

Proyek konservasi Masjid Tua Wapauwe sejak 2022 menjadi contoh nyata bagaimana pelestarian warisan budaya dapat menjadi medium rekonsiliasi dan penguatan identitas lokal. Proyek tersebut membuktikan bahwa masjid kuno bukan hanya milik satu komunitas, tetapi aset bersama.

Partisipasi lintas iman dari komunitas Muslim dan Kristen setempat menunjukkan bahwa warisan budaya dapat menyatukan masyarakat pascakonflik, menjadi simbol kebersamaan, dan membangun perdamaian yang berkelanjutan.

Nilai Holistik Konservasi

Ancaman Terhadap Kelestarian

Meskipun sarat makna, eksistensi masjid tumpeng menghadapi berbagai tantangan serius yang mengancam keberlanjutannya. Tanpa intervensi yang tepat, warisan ini berisiko hilang ditelan zaman.

Grafik ini mengilustrasikan tingkat urgensi dari berbagai ancaman. Modernisasi dan perubahan fisik menjadi ancaman terbesar, diikuti oleh hilangnya pengetahuan tradisional yang vital untuk perawatan dan regenerasi.

Panggilan untuk Pelestarian Kolektif

Pelestarian Masjid Tumpeng bukan sekadar menyelamatkan bangunan fisik, tetapi juga menjaga nilai tak berwujud seperti pengetahuan, ritual, dan semangat gotong royong. Semuanya menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memastikan jejak sejarah yang merepresentasikan kebhinnekaan Indonesia tidak hilang.

Konservasi Fisik Edukasi Generasi Muda Dokumentasi Pengetahuan Pemberdayaan Komunitas

Infografik disarikan dari kajian Hélène Njoto (EFEO) dalam Forum Kebhinnekaan ke-30 oleh PRPS-BRIN dan hasil riset IDN Times/Dhana Kencana.

Editorial Team