Jelajah Denyut Nadi Para Pelestari Warisan Budaya Kuliner Nusantara

Indonesia memiliki beragam warisan budaya khas yang terjaga sehingga tak lekang oleh waktu dan zaman. Salah satunya adalah batik.
Peringatan Hari Batik Nasional pada tanggal 2 Oktober setiap tahun menjadi penanda dalam upaya melestarikan warisan budaya tersebut.
Ada warisan budaya yang tak kalah penting selain batik yang perlu mendapat perhatian khusus. Yaitu kuliner Nusantara.
Pasalnya, pembuatan makanan-makanan khas daerah tersebut umumnya mengacu pada resep warisan turun temurun dari nenek moyang. Selain itu, tidak jarang pembuatannya dengan teknik khusus dan memanfaatkan potensi sumber daya alam di daerah setempat. Seperti rempah, sayuran, atau buah yang hanya tumbuh di lokasi tertentu.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui laman Perpustakaan Digital Budaya Indonesia melansir, terdapat lebih dari 30 ribu resep makanan di Indonesia yang jenisnya beragam, tidak selalu rendang, soto, sate, sambal, bahkan di antaranya minuman-minuman yang unik.
Perpaduan rempah dengan cita rasa khas, menjadikan kuliner Nusantara memiliki karakteristik yang berbeda antara satu tempat dengan yang lain. Lebih-lebih, keragaman nama dari makanan atau minumannya menjadi identitas istimewa sehingga menambah khazanah gastronomi Tanah Air dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
Sayang, perkembangan teknologi dan masifnya industri makanan dan minuman membuat kuliner Nusantara tak memiliki tempat. Seringkali mereka kalah bersaing dengan gempuran produk-produk instan, kemasan, cepat saji, dan terjajah oleh kuliner luar negeri--Western, Korean, atau Japan food--.
Dampaknya, tak sedikit dari kuliner Nusantara yang ada menjadi punah atau malah tidak dikenali lagi oleh millennial dan generasi Z sebagai pewaris warisan budaya Indonesia selanjutnya.
Sejumlah pelestari kuliner Nusantara tetap bertahan di tengah sulitnya kondisi yang ada. Namun, mereka gigih berjuang menjaga resep kuliner Nusantara tetap terjaga sampai kapan pun.
Berbagai cara menjaga warisan kuliner
Kisah perjuangan penjaga kuliner daerah tradisional dimulai dari ujung barat Indonesia. Adalah Agustami yang sampai saat ini senantiasa menjaga eksistensi makanan daerah khas Lampung bernama Segubal.
Agustami rutin memproduksi Segubal 3--4 kali dalam seminggu berbekal bahan 10 kilogram (kg) ketan. Pria yang sudah berjualan sejak 2015 itu mampu menjual hingga 35 lonjor Segubal setiap hari, dengan harga jual per satunya Rp12.500.
Segubal yang umumnya dikenal lontong atau ketupatnya Lampung itu terbuat dari beras ketan dengan cita rasa gurih yang biasanya disantap bersama rendang dan gulai.
Menurut Agustami, warga pada umumnya saat ini jarang membuat Segubal karena proses memasaknya penuh teknik sehingga terlihat rumit. Kondisi itu membuatnya harus berkeliling menjajakan Segubal dengan rute yang berbeda-beda per hari semata menjaga makanan tersebut tetap lestari.
Rutenya untuk Selasa dan Jumat ke wilayah Antasari. Lalu, Rabu dan Sabtu di Way Kandis. Sedangkan Kamis dan Minggu di Hajimena dan Nunyai.
“Beda banget sama buat lontong. Segubal itu banyak stepnya, pertama parut kelapa karena pakai santan, ketannya perlu diaron, dikukus, dicetakin, digulung terus direbus lagi lima jam,” katanya saat bertemu IDN Times, Jumat (29/9/2023).
Bergeser ke Banten yang tak kalah menarik dari Lampung dengan Segubalnya. Ada Rabeg yang menjadi makanan favorit sultan dan wajib tersaji di Istana Kesultanan Banten.
Sepintas Rabeg seperti tengkleng atau tongseng karena sama-sama berbahan daging kambing tapi tidak bersantan. Rasa dan aroma Rabeg kuat dengan rasa gurih, manis, dan sedikit pedas khas Timur Tengah.
Makanan tersebut bernilai historis karena tidak lepas dari kisah perjalanan ibadah haji Sultan Maulana Hasanuddin, sebagai raja Kesultanan Banten yang memerintah antara 1527--1570. Sultan Maulana terkesima dengan salah satu kuliner khas Kota Rabiq dari olahan daging kambing yang akhirnya diadopsi untuk kesultanan.
Bayu, sang pewaris tunggal resep Rabeg Banten menyayangkan kuliner tersebut kini tak sepopuler kuliner lainnya. Pasalnya, hanya beberapa rumah makan di Banten yang secara khusus menyediakan menu Rabeg.
Ia pun mengakui jika pecinta kuliner Rabeg--terutama kalangan generasi Z--terus berkurang lantaran menjamurnya kuliner luar negeri seperti Korean food di Banten. Demi tetap eksis, Bayu tak hanya menjual Rabeg secara konvensional tetapi juga secara daring (online).
Sekitar 300-an kilometer (km) ke arah Barat dari Banten, Andri setia menekuni usaha makanan tradisional khas Kabupaten Majalengka, Opak Ketan.
Opaknya berbeda dari yang lainnya karena cara atau proses pembuatannya sebagian besar menggunakan alat tradisional. Mulai dari menutu--melembutkan beras ketan yang sudah dikukus--, mencetak, menjemur, sampai memanggangnya.
Penggunaan alat tradisional menjaga cita rasa Opak Ketan yang sulit tergantikan oleh peralatan mesin modern sehingga makanan tersebut dapat terus abadi.
Hal itu dilakukan demi menjaga pemberdayaan warga setempat di tengah gempuran teknologi yang mengancam keberadaan mereka.
"Pertimbangan sosial juga (masih bertahan menggunakan alat tradisional). Kalau menggunakan (pembuatan opak) menggunakan mesin, nanti akan menghilangkan pekerjaan tetangga. Ya, meskipun tidak seberapa, tapi (dengan begini) mereka masih bisa bekerja," akunya yang sudah berdagang Opak Ketan selama 24 tahun, Jumat (29/9/2023).