Semarang, IDN Times — Dada Jocelin Putra terasa sesak saat pertama kali mengikuti skrining Tuberkulosis (TBC) di Kelurahan Gunungpati, Semarang, Kamis (22/5/2025). Bukan sesak karena sakit, melainkan cemas.
Ayah dua anak berusia 35 tahun itu membayangkan jika dirinya atau putri bungsunya, Celine Edelwis, dinyatakan positif TBC. Biaya pengobatan berbulan-bulan menjadi momok yang menghantui pikirannya.
Namun kekhawatiran itu sirna setelah petugas Puskesmas Gunungpati menjelaskan jika seluruh pengobatan TBC ditanggung sepenuhnya oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS Kesehatan.
"Saya sempat bingung dan kepikiran terus karena pengobatannya ini kan lama, ya. Pastinya mahal. Tapi tadi sudah dikasih tahu sama petugas kalau semuanya ditanggung BPJS Kesehatan. Ya, Alhamdulillah, saya jadi tenang," kata Jocelin dengan nada lega.
Ya, kisah Jocelin merepresentasikan jutaan warga Indonesia yang masih terperangkap dalam cengkeraman silent killer bernama TBC. Berdasarkan Global TB Report 2023 yang dirilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia mencatat angka mengejutkan: 1.060.000 hingga 1.090.000 kasus baru TBC setiap tahunnya, dengan angka kematian mencapai 125 ribu hingga 134 ribu orang per tahun. Artinya, setiap jam ada 14 orang meninggal akibat penyakit yang sebenarnya dapat dicegah dan diobati tersebut.
"Setiap jam, 14 orang meninggal karena TBC di Indonesia. Kita harus bergerak bersama. Jika tidak dimulai sekarang, target eliminasi 2030 akan sulit tercapai," tegas Direktur Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Ina Agustina, saat temu media, Senin (24/3/2025).
Posisi Indonesia sebagai negara dengan beban TBC terbesar kedua di dunia setelah India juga bukan sekadar angka statistik. Di balik kondisi itu terdapat jutaan keluarga yang terpuruk secara ekonomi, anak-anak yang kehilangan orangtua, dan potensi generasi produktif yang tergerus penyakit. Oleh karena itu, dampaknya bersifat multidimensi, tidak hanya pada kesehatan, namun juga secara psikologis, sosial, dan ekonomi.
