Kemewahan dengan Nilai Keberlanjutan pada Busana Karya Desainer Jateng

- Industri fesyen berdampak pada perubahan iklim dan lingkungan.
- Desainer dari Jawa Tengah mempersembahkan busana dengan tema Eco Luxury.
- Peragaan busana JFT 2025 bertujuan untuk menggabungkan kemewahan dengan nilai keberlanjutan.
Semarang, IDN Times - Industri fesyen kerap disebut sebagai penyebab dari perubahan iklim. Sebab, industri pakaian ini berdampak pada emisi gas rumah kaca, polusi air, dan limbah tekstil.
Menjawab tantangan itu puluhan desainer dari Jawa Tengah yang tergabung dalam Indonesia Fashion Chamber (IFC) Semarang Chapter mempersembahkan peragaan busana Jateng Fashion Trend (JFT) 2025 dengan mengusung tema Eco Luxury di Renaissance Ballroom Semarang, Minggu (13/7/2025).
1. Gaun indah dari limbah denim

Para desainer di kancah lokal hingga internasional itu unjuk gigi bereksplorasi dalam karya dan inovasi fesyen yang tidak hanya elegan secara visual, tetapi juga menyuarakan nilai-nilai keberlanjutan dan pelestarian budaya lokal.
Seperti Devy Ros yang menampilkan koleksi bertajuk Rebellious Glam. Desainer asal Kota Semarang ini mendaur ulang limbah kain denim menjadi gaun yang indah, tapi memiliki nilai perlawanan.
Setiap siluet dijahit dengan lembut yang dipadukan dengan struktur yang terpahat. Denim yang selama ini menjadi busana keseharian masyarakat, dirombak dengan desain yang tidak biasa nan glamor.
2. Pemilihan bahan dari perajin lokal

Kemudian, desainer Gregorius Vici juga menampilkan rancangan busana yang terinspirasi dari kebudayaan Indonesia di era kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dengan tema Garis Tuah.
Nilai keberlanjutan dari rancangan busana ini tampak dari pemilihan bahan di antaranya menggunakan batik tulis dan cap serta tenun buatan perajin lokal dengan warna earth tone. Kemudian, didesain menjadi busana wanita zaman dulu yang memperlihatkan kelembutan seperti lilitan, kemben, kebaya, dan batik serta perhiasan keemasan sebagai identitas Indonesia.
Selanjutnya, desain rancangan Samuel menyuarakan tentang busana yang tak diam. Perancang yang juga politisi itu membuat busana untuk menyampaikan keresahan di tengah peradaban yang gemar membuang melalui kain-kain sisa dari tenun tua yang tak sewarna dan batik yang hampir dibuang.
3. Manfaatkan kain perca batik sisa

Kemudian, tekstur-tekstur kasar, dan pola-pola yang saling bertabrakan. Sehingga, koleksi yang ditampilkan itu bukanlah glamor, tetapi mozaik sosial yang berantakan. Semua itu seperti mencerminkan kondisi masyarakat saat ini.
Koleksi busana yang tampil berikutnya adalah dari desainer Novi Razaqa yang bertajuk Patch It Up!. Busana ready to wear ini menjadi representasi kuat dari keberanian, kreativitas, dan keberlanjutan dalam satu tarikan napas. Busana dibuat dari kain perca batik sisa berwarna hijau khas nusantara dipadukan dengan sogan klasik dan aksen kain hitam yang mempertegas sisi elegan dari setiap siluet.
Selain itu, masih banyak desainer yang menampilkan koleksi busananya dengan mengusung nilai-nilai keberlanjutan seperti Elkana Gunawan, Pinky Hendarto, Olif Wastra Batik, Novita DP, Agied Dierta x Baliem Wibowo, Fenny Tjan, Sudarna Suwarsa, Ina Priyono, Zube, Tya Candra x Stefani Bertha, Ave Sanjaya dan lainnya.
4. Jateng pusat desain fesyen custom-made

Ketua IFC Semarang Chapter, Sudarna Suwarsa mengatakan, Jawa Tengah dikenal sebagai pusat desain fesyen custom-made yang kaya sentuhan personal dan nilai tradisional. Dalam JFT 2025, kekuatan tersebut akan dikolaborasikan dengan pendekatan ready to wear agar dapat bersaing di era industri fast fashion. Sentuhan handmade artisan yang khas akan tetap menjadi jiwa dari koleksi yang ditampilkan.
“Adapun, tema Eco Luxury ini bukan hanya tren, tetapi bagian dari tanggung jawab kita sebagai pelaku industri untuk mengedepankan proses yang ramah lingkungan dan memberdayakan pengrajin lokal. Jateng memiliki potensi besar dalam wastra dan kriya. Melalui JFT, kami ingin mempertemukan dengan selera fesyen masa kini yang lebih sadar dan berkelanjutan,” katanya.
Sementara, penyelenggaraan Jateng Fashion Trend 2025 ini menjadi momentum untuk memperkuat ekosistem fashion berkelanjutan, dengan melibatkan pengrajin batik, penenun, dan pelaku wastra dari berbagai wilayah di Jateng. Kolaborasi dari hulu ke hilir ini akan menjadi kekuatan utama, sekaligus memperluas nilai ekonomi kreatif daerah.