Salatiga, IDN Times - Di ruang tamu rumahnya yang hangat di kawasan Ngentak Sari, Kota Salatiga, Hanna Nugrahani (33) duduk dengan percaya diri. Alisnya tampak sempurna, rambutnya tertata rapi.
Namun, hanya sedikit orang yang tahu bahwa alis tersebut merupakan tato permanen, dan rambut yang menutupi kepalanya adalah wig yang ia kenakan setiap hari sejak belasan tahun lalu.
Hanna merupakan penyintas alopecia universalis--kondisi autoimun langka di mana sistem kekebalan tubuh menyerang folikel rambut sendiri sehingga menyebabkan rontoknya seluruh rambut di tubuh. Mulai dari rambut di kepala, alis, bulu mata, hingga seluruh bulu di tubuhnya--semua hilang tanpa tersisa.
Perjalanan Hanna dengan alopecia dimulai sejak masa SMA (Sekolah Menengah Atas). Berbeda dengan kebotakan biasa yang disebabkan faktor hormonal atau penuaan, alopecia adalah penyakit autoimun kompleks.
Dalam kasus Hanna, diagnosis yang ia terima adalah alopecia universalis--jenis yang paling langka dan parah. Secara gampangnya, alopecia universalis merontokkan rambut atau bulu yang ada di seluruh tubuh tanpa terkecuali.
Menurut data medis internasional Wimpole Clinic Inggris, hanya 1 dari 4.000 orang di dunia yang mengalami alopecia universalis. Kondisi itu berbeda dengan alopecia areata yang kebotakannya berbentuk pulau-pulau atau seukuran koin logam di kepala, atau alopecia totalis yang menyerang hanya pada rambut kepala.
"Universalis itu di mana seluruh badan tidak ada rambut. Kepala, alis, bulu mata, bulu hidung, bulu tangan, bulu kaki, bulu ketiak, bulu kemaluan--semua tidak ada," kata ibu dari Sedayu Jenar El Rumi yang kini berusia 7 tahun itu.
Dukungan keluarga menjadi penopang utama Hanna menjalani masa-masa sulit. Meski awalnya kebingungan dan bahkan terus menyalahkan diri sendiri, orangtua Hanna tetap memberikan perhatian penuh dan tidak membiarkan putrinya mengisolasi diri.
"Meskipun dalam kondisi seperti itu, mereka (orangtua saya) cukup sportif. Mereka mendukung dengan baik, memberi perhatian yang baik sehingga saya tidak mengalami isolasi diri," kenang perempuan kelahiran 8 April 1991 itu.
Keputusan melanjutkan pendidikan ke Fakultas Psikologi di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga setelah lulus SMA menjadi titik balik penting dalam hidup Hanna. Menempuh pendidikan psikologi tidak hanya membantunya memahami kondisi diri sendiri, tetapi ikut membekali Hanna dengan kemampuan untuk nantinya membantu penyintas lain yang mengalami nasib serupa.
"Di situ (saat kuliah) yang menolong banyak dan saya belajar untuk berproses. Jadi memahami kenapa saya alopecia, kenapa saya harus berpenampilan berbeda dan bagaimana membangun diri, itu sangat menolong sekali," katanya kepada IDN Times, Minggu (16/11/2025).
Yang membuat kisah Hanna unik adalah dukungan sang suami, Angga Hendrawan (35). Berbeda dengan penyintas lain yang harus berjuang keras menjelaskan dan memahamkan kondisi mereka kepada calon pasangan, Angga justru sudah mengenal Hanna sejak kecil. Mereka tumbuh bersama di lingkungan gereja dan komunitas yang sama.
"Suami saya kenal dengan saya dari kecil. Kami tumbuh bareng. Jadi dia tahu ketika saya normal dan dia tahu ketika saya mulai mengalami (alopecia) kerontokan sampai pakai wig. Ketika dia mendekati saya, dia tahu kalau memang kondisi saya waktu itu sudah menggunakan wig dan sudah botak," kenang Hanna dengan mata berbinar.
Meski orangtua Angga sempat berharap ada kemungkinan kesembuhan, saat ini mereka tetap menerima Hanna sebagai alopecia universalis dengan tangan terbuka.
"Mereka (mertua) berpikirnya masih ada harapan, masih bisa diupayakan bersama untuk sembuh. Tapi mereka welcome, tidak menolak (saya) sama sekali," tuturnya.
Kini, keluarga kecil mereka hidup bahagia di Salatiga. Hanna bekerja sebagai dosen tidak tetap di UKSW Salatiga, sambil mengelola dua brand bisnis kuenya--Narwastu Sugar Catering untuk healthy cake dan cookies yang gluten-free, dan Geco Catering untuk pasar bakery yang lebih luas.
Bisnis yang ia mulai tahun 2021 itu berawal dari kebutuhan untuk memiliki penghasilan sendiri ketika menjadi ibu rumah tangga penuh waktu.
"Itu anugerah Tuhan, saya lulusan YouTube Institute," candanya ketika ditanya apakah pernah sekolah baking. "Waktu itu butuh penyaluran karena sempat full time menjadi ibu rumah tangga, harus mengerjakan sesuatu supaya bisa punya penghasilan dan menjadi sarana merilis rasa ketidaknyamanan karena alopecia. Ternyata, saya nyaman untuk punya penghasilan sendiri,” imbuh Hanna.
