Ilustrasi UMKM. (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)
Pemerintah daerah dan provinsi, juga pusat belum nyata membantu sekaligus meringankan beban para pelaku usaha informal tersebut meski beragam akselerasi terus dikeluarkan. Seperti program digitalisasi UMKM, e-commerce, maupun penyediaan local marketplace, yang diklaim sebagai langkah mengentaskan usaha mereka yang terdampak virus corona.
Hartanto, Maesaroh, dan Sumiatun dan para pelaku usaha informal lainnya tak cukup akrab dengan istilah-istilah tersebut. Apabila mengetahuinya, juga tak bisa mengakses karena keterbatasan infrastruktur. Yakni ketersediaan alat komunikasi atau gawai, jaringan internet, biaya kuota data, serta dukungan pengetahuan atau edukasi soal teknologi informasi bagi mereka.
Selama ini modal yang mereka gunakan hanya berputar untuk harian, guna kebutuhan penjualan dan keluarga. Para pelaku usaha informal memerlukan bantuan modal yang riil supaya usaha mereka tetap bisa eksis. Termasuk jika harus bertransformasi digital.
Tak cuma itu, untuk melangkah ke arah program-program pemerinrah itu, juga diperlukan effort tambahan, seperti tenaga dan waktu. Pasalnya, mereka juga harus mempersiapkan produknya agar eye-catching layak serta laku dijual di jagat dunia digital. Mulai dari packaging atau kemasan, label, hingga perizinan-perizinan produk.
Diakui atau tidak, selama ini pangsa pasar mereka langsung kepada konsumen secara door to door. Mafhum, mereka berjalan berkeliling, menjajajakan siomay, bubur sum-sum, dan aneka sayur-sayuran dari kampung satu ke kampung lainnya, sebagai kepanjang tanganan warung atau restoran; dan pasar tradisional.