Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG-20251018-WA0003.jpg
Penampakan Koperasi Merah Putih Kelurahan Sukarame yang ditempatkan di warung usaha warga. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).

Intinya sih...

  • Koperasi Merah Putih (KMP) di daerah masih terkendala modal dan regulasi

  • Pengurus KMP mengalami kesulitan permodalan dan stok barang, serta terkendala oleh persaingan harga dengan pasar murah

  • Regulasi KMP dianggap tidak jelas, pengurus butuh payung hukum yang tegas untuk mendukung keberlangsungan program

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Semarang, IDN Times - Hampir 3 bulan sejak dicanangkan oleh Presiden Prabowo subianto, program Koperasi Desa Merah Putih yang digagas pemerintah pusat masih menimbulkan kebingungan di tingkat desa. Dilaunching pada 21 Juli 2025 di Kabupaten Klaten Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih didorong oleh kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa melalui pendekatan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada prinsip gotong royong, kekeluargaan, dan saling membantu.

Melansir website resmi Koperasi Merah Putih saat ini sudah ada 82.125 Jumlah KMP di Desa/Kelurahan Berbadan Hukum dari 83.762 Jumlah Desa/Kelurahan Seluruh Indonesia. Namun prakteknya di lapangan, keberlangsungan Program Koperasi Merah Putih di daerah masih belum semulus yang diidam-idamkan pemerintah. Pendirian Koperasi Merah Putih sejauh ini baru sebatas pemenuhan kewajiban administratif desa terhadap aturan dari pemerintah pusat.

Pengurus kopdes kebanyakan terkendala pencarian sumber permodalan sebagai pembiayaan awal untuk menjalankan jenis usahanya. Banyak pelaku koperasi memiliki persepsi awal bahwa pembentukan Koperasi Merah Putih akan disertai berbagai fasilitas, termasuk dukungan permodalan.

Sementara model koperasi di daerah masih mengandalkan sumber dari simpanan pokok dan simpanan wajib untuk modal. Padahal untuk membuat sebuah usaha bisnis, minimal harus ada sumber inti dari permodalan. Meski ada klaim dukungan permodalan dari pemerintah pusat, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa akses terhadap fasilitas tersebut tidak semudah yang dibayangkan.

1. Pengurus mengaku banyak berkorban untuk bisa menjalankan KMP

Pengurus Koperasi Merah Putih Sukodadi Palembang, Nanang Taat Suyudana (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Nanang Taat Suyudana hanya bisa pasrah saat ditanya tentang keberlangsungan Koperasi Merah Putih di desanya di Koperasi Kelurahan/Desa Merah Putih (KKDMP) Sukodadi Palembang, Kamis (16/10/2025).

Kamis (16/10/2025) IDN Times mengunjungi salah satu KKDMP di Provinsi Sumetara Selatan ini. Siang itu Nanang terlihat melayani masyarakat yang tengah membeli tabung gas LPG 3 Kilogram (Kg), Ketua KKDMP Sukodadi, Kecamatan Sukarami, Palembang ini masih merespons segala pertanyaan yang dilontarkan. Ada salah satu jawaban mencolok tentang nasib KKDMP saat ini. Kata dia, kondisinya kini berdarah-darah di ujung tanduk.

Menurut Nanang KKMP Sukodadi memang terlihat terseok, pantauan IDN Times ke lokasi, salah satu yang paling kasatmata adalah banyak stok barang yang sudah kosong. Bahkan, rak-rak lemari yang biasanya berjejer sembako kini lengang. Sejumlah komoditas seperti gula pasir dan beras bahkan tak terlihat barangnya. Situasi ini berbanding terbalik dibandingkan saat pertama saat rilis Mei lalu. Hanya tersisa beberapa barang saja. Tabung gas LPG 3 Kg, tepung tapioka, dan minyak goreng botol, adalah sisa-sisa stok yang dipajang.

Saat ditanya mengenai bagaimana stok sembako lanjutan dan teknis distribusi ke Koperasi Merah Putih, Nanang pun hanya bisa menghela napas dan menggelengkan kepalanya. "Kenyataannya, pengurus berdarah-darah. Kalau ada yang mau ganti (pengurus) kami ikhlas," kata pria berkemeja putih ini sambil mengelus dada.

Koperasi Merah Putih di Kawasan Sukodadi Palembang memang dinobatkan sebagai role model dan disebut pionir koperasi percontohan bagi kelurahan/desa lainnya. Semula, koperasi ini jadi salah satu lembaga yang siap operasional. Pengurus pun berani menyewa tempat agar bisa mewadahi berbagai sembako dan komoditas untuk ditampung lalu dijual.

Angan-angan pengurus bisa mengembangkan koperasi jadi titik perputaran ekonomi di masyarakat setempat pun masih jauh. Fakta di lapangan, harapan agar ekonomi wilayah meningkat hanya jadi bayangan. Sebab, pengurus sekarang mengalami minus. Bukannya kas bertambah, tetapi terpaksa mengeluarkan uang mandiri untuk mencukupi ketersediaan barang di koperasi.

Jika bisa diibaratkan, kondisi barang KKDMP Sukodadi Palembang saat launching bulan lima lalu dan per Oktober ini ibarat "titip barang". Karena di waktu peluncuran perdana, berbagai bahan pokok lengkap tersedia di lokasi. Tetapi usai dirilis, produk di koperasi hilang dan kembali ke 'pemilik penyalur'. "Beras sekarang lihat sendiri, kosong. Tinggal tabung gas stok masih berlanjut," kata dia.

Waktu awal peluncuran KKDMP warga antusias membeli kebutuhan pokok. "Seminggu itu habis 2 ton beras SPHP. Pemasukan bisa sampai Rp6-9 juta per hari, kami begitu optimis saat pembukaan di awal," katanya. Minat pembeli KKDMP Sukodadi Palembang perlahan menurun. Kondisi tersebut, kata Nanang, karena operasi pasar banyak digelar di beberapa titik, sehingga ada persaingan harga jual sembako antara pasar murah dan koperasi merah putih.

Nanang mencontohkan, salah satu masalah yang terjadi adalah perang penjualan bahan sembako. Misalnya, beras SPHP di Koperasi Merah Putih dijual Rp62.500 per 5 kilogram, sementara di pasar murah berkisar Rp57-58 ribu per 5kg. Kemudian, minyak goreng subsidi (MinyaKita) di koperasi dijual Rp15.500, sedangkan pasar murah Rp14.700 per liter.

“Kalau selama masih ada operasi pasar murah, Koperasi Merah Putih bisa mati. Kami minta operasi pasar harus berhenti, disetop,” jelas Nanang.

Sejauh ini lanjut Nanang, tak hanya pasar murah yang jadi masalah. Persoalan modal utama pun jadi polemik. Dia mengaku, dana koperasi beras dari keuangan mandiri masyarakat sekitar dan belum ada bantuan dana langsung dari pemerintah.

Padahal pengelola KKDMP kata Nanang, pada awal launching koperasi sempat dijanjikan pinjaman modal hingga Rp3-5 miliar untuk mengembangka KKDMP. Tetapi sampai sekarang, modal tak kunjung diberikan.

Menurut Nanang, keadaan KKDMP tinggal menunggu mati saja. Pengelolaan saat ini mengalami berbagai masalah. Mulai dari belum ada kejelasan mengenai janji penyaluran kredit usaha rakyat dari Bank Himbara melalui Danantara Indonesia, hingga persaingan ketersediaan stok dengan program pasar murah yang digelar Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang. "Kita ini sekarang: mundur mati berhenti, maju bunuh diri," jelasnya.

Nanang mengaku, banyak masyarakat yang menilai keberadaan koperasi merah putih berjalan baik. Tetapi kenyataannya tak sesuai ekspektasi. Pengelola tidak menerima gaji sepeser pun. Sementara yang ditampilkan publik ada pernyataan pengurus digaji Rp8 juta, itu tidak benar tegas Nanang.

Kemudian lanjutnya, soal koperasi merah putih mendapatkan bantuan dana untuk mengembangkan koperasi juga harus diluruskan. Koperasi Sukodadi, kata dia, mengumpulkan modal untuk membeli barang dengan iuran sukarela, anggota, dan wajib. "Tidak ada dari pemerintah (bantuan dana)," tegas dia.

Pengeluaran awal Koperasi Merah Putih Sukodadi mencapai lebih dari Rp30 jutaan dan dana itu berasal dari pengumpulan warga setempat melalui iuran. Tetapi setelah berjalan, pengelola menutupi kekurangan. Kira-kira total uang keluar Rp40 jutaan. "Kami tidak ada gaji. Modal awal sendiri. Sejak awal berdiri sampai sekarang sudah mengeluarkan dana Rp40 jutaan dan kas minus," ungkap dia.

2. Tak punya tempat usaha, Koperasi Merah Putih di Lampung nebeng di warung milik warga

Lurah Way Dadi, Muhammad Sopyan memperlihatkan ruangan bakal dijadikan gerai Koperasi Merah Putih. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).

Kondisi serupa juga dialami pengurus KDMP di Bandar Lampung Lampung. Realisasi program ini masih jauh dari semangat kemandirian rakyat yang digaungkan oleh pemerintah. Tanpa fasilitas, tanpa dana, dan tanpa arahan teknis.

Di Kota Bandar Lampung, pengelolaan dan pelaksanaan Koperasi Merah Putih diserahkan kepada masing-masing kelurahan. Di Kelurahan Way Dadi misalnya, koperasi yang dirancang berlokasi di kantor kelurahan setempat, faktanya masih belum terlihat secara fisik, apalagi aktivitas unit usaha koperasi.

Salah satu ruangan terletak di sisi pojok bagian kiri kantor rencananya baru akan dijadikan tempat atau outlet Koperasi Merah Putih. Di dalam ruangan berukuran sekitar 2,5 kali 2 meter persegi tersebut, hanya ada satu meja kayu bekas, papan struktur organisasi berdebu, dan satu tabung gas LPG 3 Kg lengkap dengan selang regulator sudah tidak terpakai.

Lurah Way Dadi, Muhammad Sopyan mengatakan, operasional Koperasi Merah Putih baru beroperasi bertahap sebulan terakhir dikarenakan keterbatasan dana.

"Kalau koperasinya memang di SK atau akte beralamatkan di kelurahan. Kita lagi upayakan ada ruangan kosong dibuat khusus untuk koperasi, tapi kurang memadai. Jadi sementara ini, sekretariat di kelurahan dan operasionalnya kita numpang di rumah pengurus RT," katanya

Kondisi lainnya adalah Koperasi Merah Putih di Kelurahan Way Dadi baru sebatas menjalankan kegiatan usaha penjualan sembako jenis beras. Modal awal diakui merupakan hasil iuran uang anggota kelurahan senilai Rp2 juta. "Kalau bantuan-bantuan dari pemerintah belum turun. Mudah-mudahan ada waktu dekat ada, jadi bisa tambah modal," kata Sopyan.

Penelusuran IDN Times di Kelurahan Sukarame Warung milik warga juga dipergunakan sebagai Koperasi Desa Merah Putih Sukarame, yakni dengan ditempel spanduk berlabel Koperasi Merah Putih. Warung berukuran 2 meter x 2 meter persegi yang menyatu dengan bangunan kosan dua lantai di salah satu gang Jalan Pulau Sabesi. Terlihat tergantung sebuah banner ukuran kecil bertuliskan "GERAI KOPERASI MERAH PUTIH SUKARAME, KELURAHAN SUKARAME, KECAMATAN SUKARAME, KOTA BANDAR LAMPUNG". Di dalamnya, kios sederhana ini menjual beragam kebutuhan sehari-hari seperti minyak goreng, gula, kopi, mie instan, gas LPG, hingga air galon isi ulang.

Eri, seorang wanita paruh baya ditemui saat menjaga kios tersebut mengatakan, warung tersebut merupakan usaha kecil miliknya yang sudah dijalankan lebih dari sepuluh tahun lalu. Namun memang, lokasi setempat juga diperuntukkan sebagai sekertariat Koperasi PKK Kelurahan Sukarame yang kini beralih nama menjadi Koperasi Merah Putih. "Saya juga pengurus. Ini beralih baru ada satu bulanan tapikan belum keluar dananya. Belum ada (aktivitas ekonomi pada Koperasi Merah Putih Kelurahan Sukarame)," katanya.

Kondisi terjadi ini jelas berbanding terbalik dengan klaim pemerintah pusat maupun daerah yang menyatakan Koperasi Merah Putih digadang-gadang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat di tingkat desa dan kelurahan. Terutama sebagai wadah penyaluran bantuan, kredit mikro, pengelolaan usaha komunitas, dan lain-lainnya justru belum terealisasi dengan baik di lapangan.

3. Regulasi Koperasi Merah Putih dianggap tak jelas, pengurus butuh payung hukum yang Tegas

Penjualan pupuk di Koperasi Merah Putih Desa Bentangan, Klaten. (IDN Times/Larasati Rey)

Banyak di antara pengurus Koperasi Merah Putih yang awalnya mengira KMP bakal dibiayai langsung oleh pemerintah, pengurus tinggal menjalankan unit usaha dari KMP, namun kenyataannya jauh panggang dari api.

Sarman salah satu pengawas KDMP Randegan, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah mengaku awalnya, sebagian warga dan pengurus berasumsi bahwa pemerintah akan memberikan dukungan penuh, termasuk bantuan modal. Namun setelah berbagai aturan turun dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Koperasi, harapan itu perlahan berubah. Ternyata, modal awal untuk koperasi harus bersumber dari pinjaman ke Bank HIMBARA, bukan dana hibah pemerintah seperti yang banyak dibayangkan.

“Awalnya saya kira koperasi ini akan langsung dibiayai pemerintah. Tapi ternyata harus pinjam ke bank. Dari situ semangat warga mulai menurun karena belum punya modal dan lokasi usaha yang layak,” ujar Sarman yang juga menjabat sebagai kepala desa.

Desa Randegan sebenarnya memiliki sejumlah aset potensial seperti tanah di pinggir jalan raya dan bangunan bekas gedung PKD. Namun, bangunan tersebut kini rusak dan membutuhkan revitalisasi. Untuk memperbaikinya diperlukan modal besar, sementara dana anggota masih sangat terbatas.

Sistem iuran yang dirancang, yaitu iuran pokok Rp100 ribu dan iuran wajib Rp10 ribu per bulan, dinilai belum cukup untuk membangun modal usaha. "Kalau mau terkumpul Rp1 miliar saja, harus ada ribuan anggota. Padahal sekarang anggota baru sembilan orang, itu pun pengurus dan pengawas," jelasnya.

Padahal, menurut perhitungan awal, bisnis koperasi seperti penyediaan pupuk, LPG, dan kebutuhan usaha lainnya membutuhkan modal minimal Rp2-3 miliar. Kondisi ini membuat langkah koperasi berjalan di tempat, sementara rencana usaha belum bisa dijalankan.

Salah satu persoalan utama yang dihadapi adalah ketiadaan regulasi yang jelas soal penggunaan dana desa untuk permodalan koperasi. Pemerintah memang membuka peluang koperasi mengakses kredit perbankan dengan jaminan dana desa, namun hal ini menimbulkan keraguan di tingkat lokal. "Kalau dana desa dijaminkan, apakah tidak melanggar undang undang? Kami butuh kepastian hukum agar kepala desa tidak terjerat masalah,"ujarnya.

Ia menilai, akan lebih baik jika pemerintah membuat payung hukum yang tegas, seperti halnya pengelolaan BUMDes, di mana dana desa dapat langsung digunakan sebagai modal dasar. Pemerintah daerah diharapkan bisa membantu memberikan pendampingan berkelanjutan, baik dalam bentuk pelatihan teknis, manajemen, maupun akses permodalan.

Pengurus juga berharap pemerintah dapat mempercepat regulasi penggunaan dana desa untuk modal koperasi, agar program ini bisa berjalan nyata di tingkat akar rumput. "Kalau bisa seperti BUMDes saja. Modal dari dana desa dulu, baru setelah berjalan bisa pinjam ke bank. Kalau tidak, ya kita akan terus terjebak di tahap awal," katanya.

Kesulitan untuk menjalankan Program Koperasi Merah Putih (KDMP) juga dikeluhkan Pemerintah Desa di Kabupaten Lombok Timur (Lotim). Ketua Forum Kepala Desa (FKPD) Lotim, Khaerul Ihsan mengatakan prakteknya pemerintah desa sangat terbebani dengan program KDMP. "Kami pemerintah desa sangat terbebani, syaratnya sangat sulit," keluhnya.

Ikhsan menyebut program KDMP yang digagas presiden Prabowo tidak jelas. Bukannya meningkatkan prekonomian dan mensejahterakan masyarakat desa, tetapi sebaliknya. Ia menyebut program ini sebatas wacana semu, yang menimbulkan kebingungan bagi desa, sebab informasi yang mereka terima selama ini tidak jelas.

Ia menyatakan banyak sekali kesulitan yang dihadapi pemerintah desa di Lotim untuk menjalankan KDMP. Mulai dari SOP yang tidak jelas, hingga persyaratan yang sangat memberatkan. "Kita dipaksa menyiapkan lahan 6-12 are yang dekat dengan pemukiman, dimana kita cari itu dan bagaimana pengadaannya, belum lagi akses permodalan," sebutnya.

Kesulitan lainnya yaitu, untuk menjalankan program ini menggunakan 30 persen dana desa. Menurutnya ini sangat memberatkan sebab dana desa hampir semuanya digunakan untuk menjalankan program pemerintah pusat.

"Dana desa kita hanya sisa 15 persen jadinya. Semua untuk menjalankan program pemerintah pusat, program bantuan pangan 20 persen, stunting 20 persen, BLT minimal 10 persen, lalu apa kita gunakan untuk mengelola desa kita," ujarnya.

Pemerintah desa juga kesulitan menjalankan unit usaha KDMP, sebab Bumdes aja masih kesulitan untuk menjalankan unit usaha. "Kita usulkan ke pemerintah, segera kumpulkan kepala desa, jangan sampai mendapatkan informasi dari orang lain. Lakukan pertemuan lewat Pemda, melibat leading terkait," pungkasnya.

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Salmun Rahman mengatakan kendala utama sulitnya memulai operasional KDMP yaitu, desa kesulitan menyiapkan persyaratan, diantaranya menyiapkan lahan, permodalan serta menentukan rencana kegiatan usaha.

"PR utama menyiapkan lahan, syaratnya desa harus menyiapkan lahan minimal 10 are, itupun harus dekat pemukiman. Kemudian kebingungan menentukan unit usaha. Sementara KDMP baru bisa diberikan kredit perbankan jika unit usaha sudah berjalan, bank tidak bisa sembarangan memberikan kreditnya," ujar Salmun.

Kesulitan lain yang dihadapi pemerintah desa yaitu semua harus mengikuti yang dipersyaratkan pusat. Seperti pembangunan kantor KDMP yang harus seragam bentuk dan warnanya. Selain itu, lahan tempat membangun kantor minimal dengan luas 10 are, itupun harus dekat dengan pemukiman. Sementara pihak desa hanya mengandalkan tanah pecatu, yang rata-rata di setiap desa, jauh dari pemukiman.

"Semua terkait dengan KDMP ini, harus mengikuti arahan pemerintah pusat, ini yang memberatkan desa memulai operasionalnya," ujar Salmun.

4. Contoh KMP yang sudah beroperasi, di Bali koperasi bisa kelola modal sebesar Rp9,4 miliar

Ilustrasi Koperasi Kelurahan Merah Putih di Gedawang, Kota Semarang. (dok. Pemprov Jateng)

Meski sebagian pengurus KMP di berbagai daerah mengaku kesulitan menjalankan Koperasi Merah Putih, namun di beberapa daerah KMP telah beroperasi bahkan menjadi percontohan bagi daerah lainnya. Rerata koperasi yang sudah berjalan merupakan koperasi yang telah lama terbentuk dan berganti wajah menjadi KMP.

Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih Gadungan di Bali misalnya. Awalnya, kata Ketua Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih Gadungan, Bali, Ketut Sukalaksana (68), koperasi ini bernama Koperasi Sari Gadung. Berdiri sejak 15 tahun lalu, saat itu koperasi hanya berfokus pada unit simpan pinjam beranggotakan 878 orang. Anggota itu ada yang berasal dari Desa Gadungan dan desa tetangga, seperti Desa Gadung Sari serta Desa Dalang.

Koperasi itu kemudian berganti nama menjadi Kopdes Merah Putih Gadungan dengan jumlah anggota sebanyak 1.118 orang. Kopdes Merah Putih Gadungan mengelola modal sebesar Rp9,4 miliar. Sumber modal itu berasal dari simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan wajib khusus, simpanan sukarela, deposito, dan penyertaan dari Gapoktan atau Gabungan Kelompok Tani.

Dana penyertaan dari Gapoktan Desa Gadungan juga ada yakni sebesar Rp100 juta. Kata dia, dana itu berasal dari insentif Kementerian Pertanian RI tahun 2009 lalu.

Melalui perubahan anggaran dasar (PAD), rekening dan namanya telah diubah menjadi atas nama Kopdes Merah Putih Gadungan. “Karena kami sudah berdiri 15 tahun yang lalu, dari modal itu cukup sebenarnya untuk memulai gerai-gerai itu. Artinya, sementara waktu, kami belum mengajukan pinjaman, dari modal kami sendiri saja,” kata dia.

Lewat modal itu, unit usaha tambahnya berupa gerai yang menjual sembako, LPG, dan pupuk. Pihaknya merencanakan pengajuan pinjaman modal jika usaha kian berkembang, dan mengarah ke bidang pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Untuk SDM Sukalaksana memaparkan SDM di Kopdes Merah Putih Gadungan terbagi atas pengawas, pengurus, dan pengelola. Ada tiga orang pengawas dan lima orang pengurus. Sementara pengelola ada di unit simpan pinjam sekitar enam orang, dan unit gerai sembako tiga orang.

Pengelolaan KMP yang dinilai telah berjalan juga ada di Koperasi Kelurahan Merah Putih (KKMP) Semolowaru, Surabaya. Koperasi Semolowaru sudah berdiri sejak tahun 2020. Awalnya Koperasi Simpan Pinjam bernama 'Koperasi Barokah Sejahtera' dengan anggota 50 orang. Modal awal koperasi berdiri adalah dari anggota. Uang simpanan anggota terus diputar.Niat awal berdirinya koperasi tersebut agar warga tak terjerat pinjaman 'bank titil' atau renternir.

Setelah program Koperasi Kelurahan Merah Putih masuk, barulah 'Koperasi Barokah Sejahterah' berubah dari yang awalnya simpan pinjam menjadi koperasi konsumen. Konsep koperasi tersebut adalah pinjaman bahan pokok kepada anggotanya. "Kita beralih ke pinjaman barang dagangan, karena kita ini usaha untuk anggota," sebut Nanik yang menjabat sebagai bendahara koperasi.

Tetapi koperasi juga membebaskan anggota untuk membeli bahan pokok tanpa konsep pinjaman. "Ada penjual nasi misalnya, saya mau beli saja tidak pinjam karena kalau pinjam nanti ribet ngitungnya, ya wis enak beli aja," ucap Nanik.

Harga bahan pokok di koperasi tersebut pun diklaim lebih murah dari harga di luar. Harga yang lebih miring itu karena koperasi bekerja masa mitra-mitra yang telah ditunjuk oleh pemerintah. "Kita mesti selisih Rp1000 sampai Rp2000 dari barang-barang di luar," kata dia.

Seiring berjalannya waktu, tata kelolah koperasi semakin baik, jumlah anggota pun kian bertambah. Kini menjadi 130 orang, mayoritas dari mereka adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang berada di pasar Kelurahan Semolowaru. "Dari 130 anggota, sekitar 50 orang yang berdagang di pasar," tutur Nanik.

Koperasi semakin ke sini semakin tertata, usaha semakin jalan. Alhasil, keuntungan mereka lebih banyak 70 persen dibandingkan sebelum KKMP. "Uangnya anggota kita putar, kita kembalikan ke anggota sendiri, SHU (Sisa Hasil Usaha) kita kembalikan ke mereka," jelasnya.

Di Jogja Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) Bangunharjo di Kapanewon Sewon, Kabupaten Bantul yang sempat buka tutup karena kesulitan modal kini kembali beroperasi penuh. Berlokasi di Jalan Parangtritis KM 5, KDMP Bangunharjo saat ini telah buka setiap hari dengan empat gerai yang aktif, yaitu gerai perkantoran, sembako, gas elpiji, dan pupuk.

Sementara itu, tiga gerai lainnya—yakni gerai klinik kesehatan, apotek, serta simpan pinjam—masih belum beroperasi karena terkendala perizinan, sumber daya manusia, dan permodalan yang cukup besar.

Ketua KDMP Kalurahan Bangunharjo, Yeri Widarnanto, mengakui bahwa pada masa awal peluncuran, KDMP Bangunharjo sempat beberapa kali buka tutup. Kondisi itu membuat sebagian masyarakat kecewa karena gerai kerap tidak beroperasi.

"Kondisi awal KDMP dibuka masih ada kendala karyawan yang jaga di gerai hingga adanya keterbatasan modal," ungkapnya, Jumat (17/10/2025).

Menurut Yeri, setelah melalui perjuangan panjang untuk memenuhi syarat pinjaman modal dari Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) melalui Bank Mandiri sebesar Rp320 juta, akhirnya pinjaman tersebut terealisasi. Dana itu membuat tiga gerai KDMP dapat beroperasi secara normal dan mampu merekrut dua karyawan untuk menjaga gerai.

"Jadi saat ini setiap hari tiga gerai plus gerai perkantoran sudah buka setiap hari," tuturnya.

Untuk gerai gas elpiji, KDMP setiap minggu mendapat jatah 65 tabung gas ukuran tiga kilogram atau sekitar 250 tabung. Namun, jumlah itu masih belum mencukupi kebutuhan masyarakat.

Sementara gerai pupuk juga terus buka karena stok pupuk selalu tersedia di gudang. Jika persediaan di gerai menipis, pengiriman akan dilakukan langsung dari gudang.

Adapun gerai sembako tetap beroperasi setiap hari, meski sempat terkendala pasokan dari distributor. Pihaknya harus mencari alternatif pasokan agar harga tetap terjangkau bagi warga.

"Jadi itu yang kita alami untuk gerai sembako. Termasuk juga pasokan gas elpiji yang masih mengandalkan dari agen bukan SPBE sehingga harga jual akan jadi masalah," tuturnya.

5. Pemerintah sebut pengurus belum punya konsep bisnis yang matang

Koperasi Merah Putih Desa Bentangan, Klaten. (IDN Times/Larasati Rey)

Regulasi berupa payung hukum hingga kesulitan modal diamini oleh pemerintah daerah, rerata permasalahan tersebut yang membuat pengurus KMP masih jalan di tempat.

Di Jateng misalnya sebanyak 8.523 koperasi desa/kelurahan merah putih (KDMP) telah terbentuk. Namun dari total ribuan kopdes tersebut, hanya 3.308 unit koperasi yang beroperasi. Sedangkan terdapat 5.512 kopdes belum diaktifkan oleh para pengurusnya lantaran terkendala faktor finansial.

Kabid Kelembagaan Dinkop UMKM Jateng, Desy Arijani mengatakan banyaknya kopdes yang belum beroperasi karena masing-masing pengurusnya menunggu kebijakan dari setiap pemerintah desa (pemdes).

"Memang tidak semuanya langsung beroperasi. Ini juga tergantung kebijakan Pemdes. Juga mereka terkendala permodalan. Karena selama ini kopdes yang menjadi program baru pemerintah pusat masih mengandalkan sumber dari simpanan pokok dan simpanan wajib. Padahal untuk membuat sebuah usaha bisnis, minimal harus ada sumber inti dari permodalan," kata Desy, Rabu (1/10/2025).

Lebih lanjut lagi, menurutnya sebanyak 5.512 kopdes yang belum beroperasi sampai sekarang menjadi pekerjaan rumah bagi pihaknya mengingat berdasarkan keputusan pemerintah pusat perlu ada pola percepatan pengoperasian kopdes sampai akhir tahun nanti. Kendati begitu diakuinya ribuan kopdes kebanyakan terkendala pencarian sumber permodalan sebagai pembiayaan awal untuk menjalankan jenis usahanya.

Dorongan untuk segera beroperasi juga sudah diarahkan kepada para pengurus kopdes tersebut. Ia bilang minimal satu kopdes harus punya satu gerai usaha.

Selain modal, persoalan sumber daya manusia (SDM) yang terbatas juga menjadi kendala penyebab belum beroperasinya KDMP. Kemudian, para pengurus KDMP juga masih banyak yang belum punya konsep bisnis secara matang, sehingga kebingungan untuk operasionalnya.

Di Jawa Barat sebanyak 5.957 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih sudah terbentuk. Data Dinas Koperasi dan Usaha Kecil (KUK) Provinsi Jawa Barat mencatat semua koperasi ini telah berbadan hukum.

"Dari 5.957 sudah berbadan hukum. Rincian 5.932 unit pembentukan baru, 23 pengembangan dan dua unit revitalisasi," kata Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Provinsi Jawa Barat, Yuke Mauliani Septina, saat dikonfirmasi, Sabtu (18/10/2025).

Menurut dia, ada beberapa kendala di lapangan salah satunya yaitu keterbatasan sarana dan prasarana, kemudian kelembagaan usaha yang tidak berkembang dan unit usaha yang masih terbatas.

"Sebagian besar koperasi masih memerlukan dukungan, di mana 95 persen butuh pembinaan kelembagaan, 92 persen membutuhkan pelatihan pengurus dan pengawas serta 90 persen butuh pembentukan unit usaha, sehingga penguatan kelembagaan menjadi salah satu prioritas utama," katanya.

Pemprov Jabar pun sudah memberikan beberapa dukungan seperti peningkatan kualitas SDM pengurus dan pengawas melalui pelatihan perkoperasian. Sejak 16 Oktober hingga 4 Desember 2025 pemerintah juga akan melaksanakan pelatihan SDM bagi 11.936 orang pengurus KDKMP Jawa Barat.

Di Provinsi Lampung terdapat 2.651 Koperasi Desa/Koperasi Merah Putih yang sudah dibentuk dan berbadan hukum. Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Provinsi Lampung, Samsurijal. Dari 2.651 unit koperasi, ia mengklaim 95 persen tercatat sudah memiliki akun dan menvalidasi data pada sistem Komenkop tersebut. Kemudian 141 unit Koperasi Merah Putih tersebar di 15 kabupaten/kota se-Lampung disebut sudah beroperasi dan menjalankan bisnis usaha.

"Ini hasil konsolidasi kami dengan kabupaten/kota. 141 koperasi sudah beroperasi terbanyak di Bandar Lampung, Lampung Selatan, Tanggamus, dan Way Kanan," lanjut Samsurijal.

Terkait skema permodalan, Samsurijal membeberkan, operasional Koperasi Merah Putih nantinya bakal ditopang melalui kredit pinjaman melalui bank Himbara masing-masing unit bakal memperoleh Rp3 miliar. Meski demikian, setiap Koperasi Merah Putih diminta menyusul proposal bisnis untuk diajukan kepada bank Himbara melalui sistem informasi Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.

"Artinya, masing-masing pengurus membuat proposal bisnisnya dengan mekanisme melalui musyawarah desa/kelurahan melihat kepala desa atau lurah sebagai pengawasan. Nanti setelah disetujui baru diajukan ke bank Himbara," imbuh dia.

Di Bali menurut Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah Provinsi Bali, Tri Arya Dhyana Kubontubuh ada 716 Kopdes Merah Putih, jumlah tersebut sesuai dengan jumlah desa dan kelurahan saat ini yang terbentuk berdasarkan musyawarah dan kesepakatan di masing-masing desa atau kelurahan. “Mayoritas di usaha yang berhubungan dengan sembako, beberapa simpan pinjam. Karena berasal dari koperasi yang sudah eksisting sebelumya,” ungkap Tri Arya kepada IDN Times, pada Sabtu (18/10/2025).

Bagi Tri Arya, tantangan yang dihadapi Kopdes Merah Putih di Bali berkaitan dengan kompetensi SDM, seperti tata kelola koperasi, unit usaha, modal, dan pembagian wilayah usaha dengan lembaga keuangan lainnya di desa.

Di Jawa Timur sebanyak 8.494 Koperasi Merah Putih telah berbadan hukum, bahkan diresmikan langsung oleh pemerintah. Namun hingga kini, yang beroperasi baru ratusan koperasi saja. "Sudah ada tambahan, untuk yang beroperasional saat ini 207 KDKMP (Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih)," ujar Kepala Dinas Koperasi dan UKM Jatim, Endy Alim Abdi Nusa kepada IDN Times, Selasa (14/10/2025).

Endy memastikan bahwa koperasi-koperasi yang operasional itu memiliki badan usaha. Ia menyebut usaha yang dijalankan sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto. Yakni bidang pangan dan pertanian. "Sudah sesuai arahan Bapak Presiden. Minimal punya satu gerai sembako," katanya.

6. Punya potensi menjadi pilar ekonomi, namun implementasinya masih terhambat oleh persoalan mendasar

Petani tengah melihat lihat pupuk di Koperasi Merah Putih Mategal. (IDN Times/Riyanto).

Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Y. Sri Susilo menilai Program Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) yang digagas pemerintah belum menunjukkan hasil optimal. Sebagian besar KDMP masih terkendala pada modal dan kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM).

“Dari fakta saya lihat di lapangan dan dari referensi yang ada, mayoritas kok belum bisa berjalan. Kalaupun ada yang berjalan, itu biasanya koperasi yang sudah eksis sebelumnya, kemudian dibranding ulang menjadi koperasi merah putih,” ujar Susilo, Rabu (15/10/2025).

Menurut Susilo, KDMP yang baru dibentuk dari nol, belum mampu beroperasi karena faktor permodalan. “Meski pemerintah sudah support dalam pembentukan pengurus maupun akta notaris dan perizinan lain, tapi belum jalan karena apa? Modal,” ujar Susilo.

Jika mempunyai pengurus, mereka belum berani mengambil karena khawatir risiko hutang. "Harus ada perhitungan bisnis yang matang. Nampaknya pengurus belum terlalu siap, masih gagap,” kata Susilo.

Sekretaris Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (ISEI DIY) itu menjelaskan, bank merupakan lembaga profesional, ada pertimbangan kelayakan dalam memberikan pinjaman. Namun, dalam hal ini ada penugasan khusus.

Susilo mengingatkan pemerintah dalam menjalankan program besar seperti KDMP ini harus hati-hati. Jika tidak disertai kesiapan matang, dana pinjaman berpotensi macet atau disalahgunakan. “Jangan sampai terjadi kasus audit kedua, dana macet, tidak berputar, akhirnya koperasi tutup. Karena itu pinjaman, bukan hibah. Harus dikembalikan,” ujar Susilo.

Selain permodalan, persoalan lainnya yang menjadi kendala KDMP adalah kesiapan manajemen. Meski secara organisasi sudah terbentuk, SDM masih banyak yang belum siap. Ia mengingatkan untuk mengelola koperasi terdapat dua faktor pendukung.

Pertama, pengurus yang sudah terbentuk, dan kedua pengelolaan manajemen. "Itu dua hal yang berbeda. Kan koperasi itu dalam pelaksanaanya nanti dikelola seperti unit bisnis jadi harus ada manajer, pengelola, dan sebagainya,” jelas Ekonom UAJY itu.

Susilo mengungkapkan pengelolaan koperasi harus mempertimbangkan kondisi daerah setempat. Banyak koperasi yang belum memiliki rencana bisnis yang realistis dan sesuai potensi daerah. “Misal mau usaha sembako, tapi di daerah itu sudah banyak toko sembako. Harus ada penyesuaian mana toh yang menjadi prioritas di wilayah tertentu,” kata Susilo.

Susilo menyarankan agar pemerintah melakukan pemetaan terhadap kesiapan masing-masing KDMP, dengan cara pemetaan KDMP yang siap pengelolaan dan perencanaan bisnisnya. "Dari ini memunculkan skala prioritas, KDMP mana yang layak mendapatkan bantuan modal lebih dulu," terang Susilo.

KDMP menurutnya mesti dijalankan secara bertahap. Bisa dimulai dari pilot project di beberapa daerah yang telah siap. Selanjutnya dikembangkan di daerah lainnya. “Kalau serentak risikonya besar. Padahal kondisi daerah beda-beda. Secara teori sifatnya besar, anggaran besar perlu ada pilot project. Teorinya begitu, tapi di dunia nyata kadang lupa,” ujar Susilo.

Program Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) dinilai memiliki potensi besar menjadi pilar ekonomi rakyat, namun implementasinya masih terhambat oleh sejumlah persoalan mendasar. Hal itu disampaikan oleh Pakar Perkoperasian yang juga Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof. Agus Suroso, dalam analisisnya terkait arah kebijakan pengembangan KDMP di tingkat nasional dan desa.

Prof Agus juga menekankan ada empat permasalahan utama yang saat ini menghambat laju KDMP adalah sulitnya akses permodalan, regulasi yang belum matang, keterbatasan sumber daya manusia (SDM), serta model bisnis yang belum jelas.

"Banyak koperasi belum memiliki dana awal yang memadai, harapan akan bantuan langsung dari pemerintah pun belum sepenuhnya terealisasi. Sementara itu, regulasi antar daerah belum seragam, dan sebagian pengurus masih minim kapasitas manajerial,"ujarnya.

Ia menilai, tanpa intervensi kebijakan yang lebih inklusif dan sinergi lintas sektor, program KDMP berisiko berhenti di level administratif semata, tanpa berdampak signifikan pada ekonomi desa. Prof. Agus menegaskan, percepatan keberhasilan KDMP memerlukan keterlibatan pemerintah pusat dan daerah, BUMN, swasta, lembaga keuangan, serta akademisi.

Dari sisi pemerintah, ia mendorong penerapan skema dana bergulir berbasis proposal bisnis, bukan ghanya persyaratan administratif, serta penyederhanaan regulasi agar koperasi desa tidak terjebak dalam birokrasi. Ia juga menekankan pentingnya pelatihan dan pendampingan intensif dengan menggandeng perguruan tinggi dan lembaga masyarakat sipil.

BUMN dan swasta, menurut Prof Agus dapat berperan melalui kemitraan usaha dan program CSR yang mendorong KDMP menjadi bagian dari rantai pasok nasional, khususnya di sektor pertanian dan ketahanan pangan.

Sementara lembaga keuangan perlu menawarkan skema kredit mikro berbasis komunitas dengan jaminan sosial, serta memperluas akses digitalisasi pembiayaan agar koperasi lebih mudah mengakses pinjaman.

Dari sisi akademisi, ia mendorong adanya riset aksi dan penyusunan model bisnis tematik berbasis potensi lokal, mulai dari pertanian, pariwisata, hingga kerajinan desa.

Arah kebijakan yang konsisten dan berbasis kolaborasi akan menentukan masa depan KDMP. "Koperasi desa jangan hanya menjadi simbol partisipasi, tapi harus menjadi mesin ekonomi rakyat yang hidup, produktif, dan berdaya saing,"tambah Prof Agus.

Rekomendasi kebijakan strategis memperkuat pondasi kelembagaan KDMP menurut Agus yakni Kebijakan Permodalan Inklusif melalui dana stimulan awal, integrasi ke program Kredit Ultra Mikro (UMi), dan dana bergulir berbasis kinerja. Kemudian penguatan SDM dan Pendampingan melalui program inkubasi koperasi dan pelatihan manajemen berbasis digital. Lalu integrasi Rantai Pasok dengan melibatkan KDMP sebagai mitra BUMN dan agen distribusi sektor pangan dan logistik. Penyederhanaan Regulasi dan Insentif Pajak untuk mendorong percepatan legalitas dan kemandirian koperasi baru. Terakhir yakni Monitoring dan Evaluasi Nasional lewat sistem dashboard digital dan audit berkala oleh lembaga independen.

Editorial Team