Dua tahun pertama survei, Wawan memergoki para pemburu bebas keluar masuk hutan dengan membawa jaring serta senapan setiap hari. Mereka berburu, merambah hutan sambil menebang pohon alami, yang sebenarnya bermanfaat bagi populasi Owa Jawa. Faktor ekonomi menjadi motif para pemburu tidak pernah kapok melakukan aktivitas tersebut.
"Orang-orang (pemburu) itu butuh makan. Misalnya, dengan membuka lahan, pohon-pohon ditebang kemudian diganti ditanami kopi. Menanam kopi di hutan sebenarnya juga menjadi ancaman bagi Owa Jawa dan hutan itu sendiri karena ruangan pohon-pohon alami berkurang karena tanaman kopi itu membutuhkan sinar Matahari. Selain itu, mereka juga menangkap sejumlah satwa di hutan," jelasnya.
Wawan kemudian menggagas adanya konservasi di hutan Petungkriyono setelah melihat tindakan tidak terpuji mereka dengan mata kepala sendiri. Jalan mulianya menemukan titik terang pada 2008.
Ia membujuk salah satu dari para pemburu untuk ikut serta melestarikan Owa Jawa melalui penguatan ekonomi dengan produk-produk yang dihasilkan dari hutan. Sebagai langkah awal, Wawan melibatkan mereka dalam kegiatan survei yang dilakukannya.
"Saat survei ke hutan meneliti (Owa Jawa), saya melibatkan pemburu sebagai guide (red: pemandu). Saya mencari orang-orang yang paham hutan. Pastinya mereka adalah para pemburu karena saya blank (red: tidak tahu) daerah itu. Ketemu dengan pak Tasuri hingga blusukan bareng survei Owa Jawa," ungkap anggota Perhimpunan Ahli dan Pemerhati Primata Indonesia (PERHAPPI) tersebut.
Selama meneliti mulai 2006-2008, Wawan didampingi Tasuri, warga Dusun Sokokembang, Desa Kayupuring, Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan. Tasuri dikenal sebagai kepala geng sekaligus pemburu ulung flora dan fauna di kawasan hutan Petungkriyono.
Tasuri berkisah bahwa aksi illegal logging sudah ia jalani sejak 1990. Semula, dirinya tidak mengenal aktivitas tersebut.
Kegiatan terlarang itu justru terinspirasi dari banyaknya orang luar hutan Petungkriyono yang asyik berburu mencari berbagai jenis satwa. Merasa tidak terima lantaran banyaknya invasi orang asing, ia mulai mencoba-coba hingga akhirnya menikmati hasil perburuan burung dan penebangan kayu.
"Sebenarnya saya dan orang-orang di (kampung) sini tidak mengerti perburuan, baik itu kayu atau burung. Karena melihat ada orang luar berburu di sini, saya kemudian berpikir, mengapa saya yang tinggal di (dekat hutan) sini tidak bisa mengambil hasilnya? Kok malah orang jauh yang mengambil? Akhirnya saya ikut-ikutan, ternyata laku juga," aku Tasuri saat berbincang di rumahnya, 8 November 2020.
Tasuri setiap hari menerima pesanan menebang pohon Babi (Crypteronia sp) dan mencari pohon Keruing (Dipterocarpus spp) di hutan Petungkriyono. Kayu-kayu tersebut banyak dicari karena kualitasnya yang bagus untuk kosen maupun kerangka rumah.
Bapak tiga anak itu mendapat bayaran Rp20 ribu dari penadah untuk satu potong kayu Babi berukuran 8x12 meter dengan panjang 4 meter. Pendapatannya dalam sehari bisa mencapai Rp100 ribu, bahkan pernah meraup hingga Rp2 juta selama satu bulan.
Sembari menebang pohon, Tasuri menyempatkan berburu satwa. Burung Cucak hijau menjadi incaran utama karena mudah ditangkap dibandingkan satwa-satwa lainnya. Ia cukup bermodalkan jaring yang digunakan untuk perangkap burung itu.
Hasil penjualan burung bernama latin Chloropsis sonnerati tersebut sangat menjanjikan baginya. Harga per ekornya, saat itu mampu tembus Rp1,5 hingga Rp2 juta. Tasuri mendapatkan 1--2 ekor burung Cucak hijau untuk sekali masuk ke hutan.
"Memotong pohon saat itu pakai gergaji (manual) tarikan satu-satu kanan dan kiri. Satu pohon dijadikan dua potong untuk dua orang. Sembari menebang, pasang (jaring) perangkap burung. Kalau pas beruntung, Cucak hijau bisa masuk. Teman (pemburu) lain juga ada yang menangkap Owa Jawa. Menjanjikan sekali (menjual satwa) saat itu karena untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau tidak begitu mau bagaimana lagi? Namanya juga (ekonomi) pas-pasan dan (berburu) sampai jadi pekerjaan utama," bebernya kepada IDN Times.
Seringnya keluar masuk hutan, pengetahuan yang dimiliki Tasuri diperlukan Wawan dalam pendampingan menyurvei Owa Jawa. Tasuri hafal dan mengetahui jenis-jenis pohon serta tanaman hutan yang bernilai ekonomi tinggi.
Komunikasi mereka kian intensif hingga akrab dan saling percaya. Sampai pada akhirnya, Wawan berhasil meyakinkan Tasuri insaf berburu pohon dan burung.
Tasuri, yang lahir dan tinggal di sekitar hutan diajak untuk ikut serta dalam upaya pelestarian alam, menggunakan kopi. Momen tersebut menjadi titik balik dimulainya konservasi di hutan Petungkriyono.
"Dengan komunikasi intens, ada trust antara kita (saya dan Tasuri). Pendekatannya ya pelan-pelan, sampai akhirnya saya tanya dari hati ke hati, memang apa masih mau berburu terus sampai tua nanti? Apa bisa menjamin ekonomi untuk kehidupan keluarga juga anak-anak pada masa mendatang, sampai jangka panjang?" ujar Wawan terpisah.
Kopi bagi Tasuri bukan barang langka. Ia sudah rutin memanennya setiap tahun pada bulan Agustus. Hanya saja, keuntungan yang didapat dirasa kecil, lebih besar dari kegiatan berburu pohon dan burung.
"Kopi sudah ada dari kecil, tapi pengelolaan dan cara pemasarannya belum bisa bagus. Akhirnya dijual asal-asalan di pasar sini saja. Ditambah waktu panennya setahun sekali, lama banget. Adanya kegiatan berburu, terpaksa dijalani karena temannya banyak. Dulu bawa burung bebas mau lewat mana, tidak ada yang melarang," terang Tasuri yang hanya mengenyam pendidikan sampai Sekolah Dasar (SD) saja.
Wawan mengajak Tasuri menggeluti kopi dengan memberikan edukasi dan pengetahuan baru dari sejumlah barista dan pakar kopi. Mereka sengaja didatangkan agar hasil panen kopi oleh Tasuri tergarap dengan bagus.
Selama puluhan tahun, Tasuri mengaku proses pascapanen dan pengolahan yang dilakukannya masih sembarangan tanpa inovasi juga kreasi produk.
Ragam wawasan mulai pascapanen, roasting, penjemuran, pengemasan hingga pembudidayaan dipelajari semata-mata untuk memperkaya nilai tambah kopi hutan Petungkriyono. Setelah mendapat pengetahuan serta keterampilan, Tasuri mengakui prospek kopi tersebut begitu cemerlang karena mampu menghasilkan green bean yang standar.
"Dulu begitu panen, langsung dibawa ke tengkulak. Dicampur, buah merah dan hijau karena butuh uang cepat. Karena pohonnya yang tinggi di atas lima meter juga, yang penting (buahnya) tua, merah dan hijau diambil (panen) semua kemudian dijual di pasar bisa dapat uang Rp20 sampai Rp22 ribu per kilogram karena butuh (uang)," ucapnya.
Kopi hasil panen Tasuri kini sudah jauh lebih baik secara harga serta kualitas. Seperti adanya penyortiran ketika panen dimana buah hijau masih tetap dijual ke pasar tradisional setempat, sedangkan kopi petik merah diolah dan dipilah tersendiri.
Kopi buah petik merah tersebut dijual dengan nama Kopi Owa. Harga biji mentah atau green bean kopi jenis robusta tersebut adalah Rp60 ribu per kilogram untuk grade (kelas) satu. Sementara untuk yang siap saji atau roast bean mencapai Rp120 ribu per kilogram. Selama satu bulan, Tasuri mampu menjual hingga 30 kilo, baik green bean maupun roast bean.