Hutan hujan tropis Petungkriyono di Pekalongan. IDN Times/Dhana Kencana
Kopi hasil panen Tasuri kini sudah jauh lebih baik secara harga serta kualitas. Seperti adanya penyortiran ketika panen dimana buah hijau masih tetap dijual ke pasar tradisional setempat, sedangkan kopi petik merah diolah dan dipilah tersendiri.
Kopi buah petik merah tersebut dijual dengan nama Kopi Owa. Harga biji mentah atau green bean kopi jenis robusta tersebut adalah Rp60 ribu per kilogram untuk grade (kelas) 1. Sementara untuk yang siap saji atau roast bean mencapai Rp120 ribu per kilogram. Selama satu bulan, Tasuri mampu menjual hingga 30 kilo, baik green bean maupun roast bean.
Pohon kopi robusta di hutan Petungkriyono telah menyaru dengan hutan karena berusia lebih dari 10 tahun. Mereka tumbuh secara organik. Oleh karena itu, kapasitas panen Tasuri selalu berbeda-beda dan tidak ada patokan.
"Memang pohon (kopi) itu dibiarkan begitu saja, tanpa ada pemangkasan atau pemupukan. Semua serba organik apa adanya. Panen sedikit atau banyak, ya disyukuri karena kita tidak mematok hasil yang berlimpah. Tukul gak tukul, uwoh gak uwoh karepe dewe (red: tumbuh atau tidak tumbuh, berbuah atau tidak ya terserah pohonnya)," tutur Tasuri.
Kualitas, juga rasa kopi Owa lebih unggul nan spesial dibandingkan komoditas kopi hasil perkebunan karena tumbuh di bawah naungan atau tegakan hutan (shade grown coffee). Semula, pohon-pohon kopi ditanam secara sengaja oleh para pemburu. Berjalannya waktu mereka tumbuh liar di hutan.
Ditambah dengan keberadaan satwa lain, seperti Owa Jawa sebagai agen penyebar biji -karena makan buah termasuk kopi- sehingga pohon-pohon kopi di hutan Petungkriyono dapat terus regenerasi dan lestari.
"Kopi tersebut punya rasa dan karakter yang khas. Yang jelas minim bahan-bahan kimia atau pestisida. Saking organiknya, pohon-pohon kopi tidak ada perawatan sama sekali dan hanya panen setahun sekali. Dengan shade grown coffee, kopi Owa akan sustainable karena baik buat alam dan masyarakat di sekitar hutan," urai Wawan yang merupakan sarjana Kehutanan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Shade grown coffee di hutan Petungkriyono bertipe rustic dengan jenis pohon naungan yang beragam. Jumlahnya mencapai 25 jenis pohon tegakan sehingga naungan di hutan tersebut lebih dari tiga lapisan. Adapun persentase tutupan naungannya mencapai 70 hingga 100 persen.
Pohon naungan berfungsi sebagai mulsa alami untuk mencegah tumbuhnya gulma dan menahan serta mengurangi erosi tanah di hutan Petungkriyono. Pohon-pohon tersebut turut menstabilkan suhu dan kelembaban akibat perubahan iklim sehingga secara tidak langsung meningkatkan keanekaragaman hayati bagi ekologi hutan, sekaligus populasi dan habitat Owa Jawa dapat terjaga dengan baik.
Konsep shade grown coffee tersebut memberikan banyak manfaat terhadap tanaman kopi, yang tidak banyak diketahui banyak orang, termasuk oleh Tasuri.
Di antaranya guguran dari daun pohon dapat menjadi humus untuk tanah serta memberikan nutrisi bagi pohon kopi. Maka dari itu, masa produktif atau umur pohon kopi hutan shade grown coffee bisa mencapai lebih dari 30 tahun.
"Kalau soal rasa kopi Owa, dari pengalaman saya menurut orang-orang yang tahu soal kopi benar-benar berbeda rasanya. Karena alami, sama sekali tidak menyentuh pestisida," sebut Tasuri.