Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Tasuri mengeringkan kopi Owa jenis robusta di Pekalongan. (IDN Times/Dhana Kencana)

Keberadaan hutan cukup penting bagi kehidupan, namun tidak disadari banyak orang. Kopi Owa mengentaskan aksi perburuan sehingga hutan dan segala isinya lestari kembali dengan cara yang ramah.

Pekalongan, IDN Times - Kopi asal Indonesia cukup terkenal di dunia. International Coffee Organization (ICO) menyebut pada 2018-2019, Indonesia menjadi produsen kopi terbesar keempat di dunia dengan nilai produksi mencapai 565 ribu ton per tahun.

Varietas kopi yang populer antara lain arabika, robusta, hingga spesialti seperti kopi Luwak (Civet coffee). Kopi luwak menjadi primadona karena citarasa yang istimewa. Makanya, harga kopi hasil fermentasi feses Luwak (Paradoxurus hermaphroditus) itu lebih mahal dibandingkan jenis lainnya. Kementerian Perdagangan mencatat pada 2018, harga 450 gram kopi Luwak menyentuh angka US$100 atau sekitar Rp1,5 juta.

Sama-sama dari hewan mamalia, muncul kopi Owa (Owa coffee) di Pekalongan, Jawa Tengah. Perbedaannya, kopi yang dihasilkan tidak melalui fermentasi feses hewan primata tersebut melainkan buah dari konservasi habitat Owa Jawa (Hylobates moloch) di hutan hujan tropis Petungkriyono.

1. Banyak faktor mendukung populasi Owa Jawa semakin menurun

Ahli primata dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Arif Setiawan melakukan pengamatan di hutan hujan tropis Petungkriyono, Pekalongan. (IDN Times/Dhana Kencana)

Upaya pelestarian Owa Jawa di hutan yang dikelola Perum Perhutani melalui unit Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pekalongan Timur itu berawal dari survei seorang ahli primata (primatologist) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Arif Setiawan, terhadap keberadaan, sebaran, populasi, dan individu Owa Jawa, termasuk mengidentifikasi ancaman-ancaman yang dihadapi primata tersebut di Jawa Tengah.

Wawan, sapaan akrab Arif Setiawan, memulai observasi dengan menyisir dari Barat hutan-hutan di sekitar Gunung Slamet ke arah Timur kawasan Pegunungan Dieng, sejak 2006.

"Owa Jawa menjadi fokus saya karena keberadaannya terancam punah. Pada saat itu yang paling banyak diburu adalah anaknya. Kalau mau menangkap, pasti menembak Owa Jawa Betina karena selalu digendong selama tiga tahun. Karena sejenis Kera jadi anaknya tidak bisa ke mana-mana sebelum disapih. Dengan begitu, lambat laun populasinya terus menurun ditambah regenerasi Owa Jawa yang lambat. Logikanya (berburu) dapat satu Owa Jawa berkurang dua ekor," kata Wawan ketika ditemui IDN Times di Yogyakarta, 17 Oktober 2020.

2. Owa Jawa masuk sebagai spesies yang terancam punah bahkan sempat kritis

Editorial Team

Tonton lebih seru di