Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi aktivitas perhutanan sosial. (Dok. KPSHK)
Ilustrasi aktivitas perhutanan sosial. (Dok. KPSHK)

Intinya sih...

  • KPSHK menyatakan PS harus menjadi surplus reduksi emisi, bukan dibebani target pemenuhan NDC.

  • Direktur KPSHK khawatir masyarakat terpinggirkan jika PS dibebani NDC, sementara perusahaan kavling area di wilayah PS.

  • Perdagangan karbon belum inklusif, potensi ekonomi karbon tinggi di area PS, ROI mencapai 15-30 persen.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Semarang, IDN Times - Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK) menyatakan sikap tegas bahwa Perhutanan Sosial (PS) harus menjadi surplus reduksi emisi, bukan dibebani oleh target pemenuhan Nationally Determined Contribution (NDC) atau kontribusi penurunan emisi CO2 yang ditetapkan secara nasional. KPSHK, sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam pendampingan masyarakat dan studi tentang Perhutanan Sosial, menyoroti dampak dari penetapan Perpres Nomor 110 Tahun 2025 tentang Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional yang ditetapkan pada Oktober 2025.

1. Fokus pada kesejahteraan masyarakat

Ilustrasi pendampingan perhutanan sosial di Sumatra Selatan (Dok: HAKI)

Direktur KPSHK, Muhammad Djauhari mengatakan, tujuan utama Perhutanan Sosial adalah untuk menyejahterakan masyarakat sambil menjaga hutan. Ia mengkhawatirkan jika PS dibebani target pemenuhan NDC, masyarakat justru akan semakin terpinggirkan.

"Perhutanan Sosial tujuannya adalah untuk menyejahterakan masyarakat dengan menjaga hutan. Kalau dibebani untuk pemenuhan NDC, dikhawatirkan masyarakat semakin terpinggirkan. Masyarakat yang benar-benar sebagai pelaku penjaga hutan harus menjadi aktor utama dalam perdagangan karbon di wilayahnya," katanya dilansir keterangan resmi yang diterima IDN Times, Kamis (20/11/2025).

Djauhari menambahkan, potensi ekonomi yang menjanjikan itu menarik banyak pemodal masuk dalam bisnis perdagangan karbon. Ia menyontohkan kondisi di Kalimantan Tengah, khususnya di Kabupaten Pulang Pisau.

"Di Kalimantan Tengah, kami mendampingi izin PS dengan skema Hutan Desa (HD) di Kabupaten Pulang Pisau. Ada 4 wilayah hutan desa yang kami dampingin dan di sekitarnya sudah mulai ada izin konsesi perusahaan sementara posisi tawar para pemegang izin PS masih lemah," imbuhnya.

Ia mengkhawatirkan perusahaan-perusahaan tersebut mengkavling area dengan tujuan mengambil keuntungan dari perdagangan karbon, sementara posisi masyarakat masih lemah dari sisi kapasitas dan modal.

2. Perdagangan karbon belum inklusif

Ilustrasi Meneropong di Hutan (pexels.com/Daly Selva Lira)

Djauhari menyoroti bahwa isu perdagangan karbon masih bergema di pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah yang menjadi lokasi carbon offset belum terlalu mengambil peran, apalagi masyarakat.

Carbon offset adalah mekanisme untuk mengimbangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia dengan mendanai proyek yang menyerap atau mengurangi emisi tersebut, seperti penanaman pohon, pengelolaan limbah, atau energi terbarukan.

"Bisa dikatakan, perdagangan karbon belum inklusi, melibatkan semua pihak. Khusus untuk PS, harusnya masyarakat pemegang izin yang menjadi aktor utama dalam perdagangan karbon di area PS," tegas Djauhari.

Editor dokumen kebijakan KPSHK, Titik Kartitiani menyampaikan data potensi ekonomi karbon di area PS yang memiliki nilai cukup tinggi. Mengutip data Kementerian Kehutanan, luas PS per Oktober 2025 mencapai 8,1 juta hektare dari 10.957 Surat Keputusan yang dikeluarkan untuk 1,38 juta Kepala Keluarga.

"Kemenhut memperkirakan potensi karbon: Rp1,6–3,2 triliun per tahun (2025) hingga Rp258 triliun per tahun (2034). Ini angka yang cukup besar," kata Titik.

Ia menambahkan bahwa Return of Investment (ROI) dari PS mencapai 15-30 persen, cukup menjanjikan dan setara dengan bisnis ritel, jasa, maupun manufaktur.

3. Peran strategis masyarakat

Ilustrasi hutan (pexels.com/mali maeder)

Ketua Badan Pengurus Sampan Kalimantan, Fajri Nailus Subchi menekankan peran penting masyarakat dalam mewujudkan perdagangan karbon yang nyata melalui program-program konkret.

"Perdagangan karbon kan sebenernya hal yang tidak tampak. Masyarakat dalam hal ini pemegang izin PS yang menjadikan perdagangan karbon menjadi nyata yaitu dalam wujud program," ucapnya.

Sampan Kalimantan mendampingi 25 kelompok PS melalui Program Delta Kapuas. Menurut Fajri, proyek ini membuka peluang besar bagi 25 Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) yang terlibat untuk memanfaatkan potensi melalui perdagangan karbon.

Fajri menjelaskan, proses PS tidak berhenti pada izin yang diberikan. Ketika kelompok PS berhasil mendapatkan izin, kebanyakan mereka tidak memiliki modal untuk menjalankan program-program yang sudah dirancang. Pendampingan pemerintah pun masih lemah dalam hal ini.

"Oleh sebab itu, dana dari perdagangan karbon diharapkan menjadi modal dan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat," tambahnya.

Perwakilan Wildlife Works Indonesia (WWI) Muhammad Diheim Biru mengatakan, PS berperan strategis dalam pencapaian target mitigasi nasional. Upaya masyarakat menjaga hutan, menanam kembali, dan memulihkan lahan kini memiliki nilai ekonomi dan menjadi bagian dari arena politik global mengenai iklim dan perdagangan karbon.

"Karena peran strategis ini, tata kelola di tingkat desa menjadi penentu integritas pasar karbon Indonesia," akunya.

Menurut Diheim, dana yang didapat dari perdagangan karbon terbukti sudah memberi manfaat pada masyarakat lokal di bidang pendidikan, kesehatan (termasuk akses air bersih), hingga memberikan mata pencaharian, serta perlindungan hutan dan satwa.

Untuk mendorong PS sebagai surplus reduksi emisi, KPSHK telah mempublikasikan dokumen analisis kebijakan (policy brief) pada Oktober 2025. Dokumen tersebut sudah mendapat masukan dari akademisi, pelaku PS, dan beberapa LSM dalam diskusi terfokus yang dilaksanakan di Bogor pada 16 Oktober 2025.

Editorial Team