Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Lebaran Hemat dan Sehat: Pengalaman Nikmati Ayam dari Kandang Sendiri

Sajian opor Lebaran. (IDN Times/Dhana Kencana)

Lebaran tahun 2025 terasa berbeda. Bukan karena baju baru, kue kering atau kudapan yang berderet di meja tamu. Tetapi karena untuk pertama kalinya, saya dan keluarga menyantap opor ayam dari hasil ternak sendiri di kebun rumah.

Rasanya bukan hanya lebih nikmat, melaikan lebih bermakna karena setiap suapan adalah hasil kerja keras dan kepedulian kami terhadap lingkungan dan bumi.

Ya, dua tahun terakhir, saya mulai gelisah melihat berita tentang krisis pangan global, ancaman antibiotik dalam peternakan intensif, dan tingginya ketergantungan pada pangan impor. Selain itu, harga daging ayam yang terus naik menjelang hari raya pun membuat saya berpikir ulang: apakah mungkin saya bisa memproduksi daging sendiri?

Dari situ, pada Agustus 2024 saya mulai memberdayakan sepetak lahan kosong di kebun belakang rumah menjadi kandang kecil untuk memelihara ayam kampung. Awalnya cuma dua ekor, sebagai uji coba. Karena ketagihan merasakan vibes merawat ayam, bertambah tiga ekor.

Saya tidak mempunyai latar belakang ilmu pertanian atau peternakan. Semua perawatan kelima ayam saya lakukan secara autodidak, berbekal membaca referensi dari internet.

Saya belajar membuat pakan berbahan alami dari sisa dapur, menjaga kebersihan kandang, hingga menjaga kesehatan mental mereka, yang juga menjadi concern saya mengenai kesejahteraan hewan (animal welfare).

Tidak semua berjalan mulus. Tapi melalui proses itu, saya belajar banyak — bukan cuma soal ternak. Yakni mengenai ketekunan dan tanggung jawab terhadap makhluk hidup.

Menjelang Idulfitri, saya akhirnya punya lima ekor ayam dewasa yang cukup umur untuk dipotong.

Saya menyembelih dua ekor ayam jantan alias jago--yang diberi nama anak saya Kiki dan Kiko--secara syar'i dan higienis. Dagingnya kemudian diolah menjadi opor, menu khas keluarga kami setiap Lebaran.

Rasanya? Lebih gurih, lebih segar, daging empuk, dan yang paling penting adalah hemat biaya dan saya tahu persis dari mana makanan itu berasal.

“Beda banget ya rasanya kalau kita sendiri yang pelihara. Ada rasa puas dan lega,” kataku dalam hati.

Anak saya juga ikut senang karena sejak kecil sudah belajar--dan saya tanamkan dalam dirinya--bahwa makanan tidak datang begitu saja dari toko, tapi melalui proses yang panjang dan harus dijaga keberlanjutannya.

Selain menghasilkan daging untuk konsumsi, kandang ayam saya juga berkontribusi positif bagi lingkungan sekitar. Limbah kotoran ayam saya olah menjadi pupuk untuk kebun kecil kami, tempat menanam cabai, katuk, kedondong. Jadi, satu sistem kecil itu saling mendukung: sisa dapur jadi pakan, kotoran ayam jadi pupuk, hasil kebun jadi bahan masak kita.

Ini konsep circular farming yang sekarang sedang didorong oleh semua pihak yang peduli terhadap lingkungan. Skalanya memang kecil, tapi dampaknya bisa besar kalau banyak rumah tangga ikut serta.

Saya tidak menyangka keputusan sederhana untuk memelihara ayam bisa membawa dampak sebesar itu, terutama dalam mempererat hubungan keluarga dan menumbuhkan kesadaran baru soal pangan yang sehat dan bertanggung jawab.

Saya berharap ke depan, makin banyak warga yang mencoba beternak rumahan, bukan hanya untuk Lebaran, tapi sebagai gaya hidup baru yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Bukan tidak mungkin, jika tren tersebut terus tumbuh, Indonesia bisa jadi lebih mandiri dalam urusan pangan, sekaligus menekan dampak negatif industri peternakan massal terhadap lingkungan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dhana Kencana
EditorDhana Kencana
Follow Us