Alasan Mbak Ita Eks Wali Kota Semarang Minta Rp300 Juta per 3 Bulan

- Mbak Ita meminta Iin Mangkir dari pemeriksaan KPK dan memberikan uang Rp300 juta per triwulan.
- Iin mengaku menyerahkan total Rp1,2 miliar kepada Mbak Ita dan Rp1 miliar kepada suaminya dari iuran kebersamaan pegawai Bapenda.
- Dana iuran kebersamaan yang semestinya untuk kegiatan sosial disalahgunakan sebagai imbalan untuk pencairan insentif.
Semarang, IDN Times - Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi yang menjerat mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu atau akrab disapa Mbak Ita, menghadirkan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang, Indriyasari. IIn sapaan akrabnya, memberikan kesaksian di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Senin (30/6/2025).
1. Mbak Ita mengaku sudah mengondisikan semuanya

Dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Gatot Sarwedi, Iin mengaku pernah diminta Mbak Ita untuk tidak menghadiri pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 30 Januari 2024. Permintaan tersebut, menurutnya, disampaikan melalui staf Wali Kota Semarang.
"Tanggal 30 Januari itu saya ditelepon staf wali kota, katanya ada rapat. Saya masuk ke ruang wali kota, dan di sana sudah ada Pak Binawan. Beliau bilang, 'Bu, kita nggak usah hadir gimana?' Lalu Bu Ita bilang, 'Mbak, ora usah teko (red: tidak usah datang) penyelidikan, ini sudah dikondisikan semua'," ungkap Iin dalam persidangan yang mengenakan jilbab putih dan batik putih hitam.
Setelah percakapan itu, Iin mengaku diarahkan untuk pergi ke luar kota, ke Surabaya bersama beberapa pegawai Bapenda. Di tengah perjalanan ke Kota Pahlawan, ia mendapat informasi dari KPK bahwa pemeriksaan bisa dijadwal ulang di Jakarta. Karena merasa takut, Iin akhirnya memutuskan kembali ke Semarang.
"Karena takut saya balik (ke Semarang). Saya suruh semua pegawai yang ikut ke Surabaya juga kembali ke Semarang, kecuali yang tidak mendapat undangan pemeriksaan (KPK)," jelasnya.
2. Mbak Ita dapat jarah Rp35 juta

Dalam persidangan, Iin juga membeberkan jika dirinya menyerahkan uang senilai total Rp1,2 miliar kepada Mbak Ita, serta Rp1 miliar kepada suaminya, Alwin Basri. Dana itu bersumber dari "iuran kebersamaan" yang dikumpulkan secara sukarela dari insentif pegawai Bapenda.
Uang diberikan di bulan Desember 2022, April 2023, Juli 2023, dan terakhir Oktober 2023.
"Untuk Bu Wali (Mbak Ita), uang itu saya serahkan bertahap. Ada yang Rp300 juta per triwulan. Kepada Pak Alwin juga diberikan bertahap, sesuai pencairan triwulan," kata Iin.
Iin menyebutkan, pemberian uang tersebut atas permintaan kedua terdakwa (Mbak Ita dan Alwin), dan di luar jatah insentif pegawai Bapenda yang seharusnya. Padahal, wali kota sendiri sudah mendapatkan jatah upah pungut pajak sebesar Rp135 juta per tiga bulan, sementara Kepala Bapenda seperti dirinya menerima Rp115 juta.
Upah pungut pajak tersebut, imbuh Iin, sudah sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 tahun 2010, sebesar 7 kali gaji pokok dan tunjangan melekat. Dana itu bersumber dari pendapatan pajak restoran, PBB, reklame, dan deviden dari BUMD seperti PDAM dan Bank Pasar.
Total pendapatan pajak Kota Semarang tahun 2023 mencapai kurang lebih Rp2.804 triliun. Adapun, upah diberikan empat kali setahun, setiap triwulan, jika pendapatan mencapai target.
Sementara, "iuran kebersamaan", yang rata-rata terkumpul Rp800 juta hingga Rp900 juta setiap 3 bulan, awalnya memang diperuntukkan bagi kebutuhan internal Bapenda seperti zakat, sosial kemasyarakatan, bantuan non-ASN, pengajian, hingga piknik.
Namun, dalam perkembangannya, dana di luar honor resmi tersebut justru mengalir ke kantong Mbak Ita dan Alwin.
3. Iuran kebersamaan sukarela untuk Mbak Ita

Menurut Iin, Mbak Ita sempat menanyakan nominal tambahan penghasilan yang diterimanya. Padahal, jumlahnya juga sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu sebesar tujuh kali gaji selama 3 bulan.
Setelah cair, seluruh PNS Bapenda yang berjumlah sekitar 160 orang menyumbangkan iuran secara sukarela. Iin pun mengaku memberi tambahan penghasilan upah pungut kepada Mbak Ita yang berasal dari "iuran kebersamaan".
"Saya mengeluarkan sendiri yang akan dipakai iuran, Rp10 juta. Ada yang eselon III Rp10 juta, Rp4 juta. Itu tidak diatur, suka rela," tambah Iin.
Meskipun bersifat sukarela, Iin menyebut tidak menjadi masalah jika ada pegawai yang tidak iuran.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, Rio Vernika, menjelaskan, dana "iuran kebersamaan" yang awalnya dirancang untuk keperluan sosial malah digunakan sebagai bentuk "imbalan" agar surat keputusan pencairan insentif bisa ditandatangani.
Sebab, Mbak Ita saat itu, tepatnya pada Desember 2025, menolak menandatangani surat keputusan pencairan tambahan penghasilan upah pungut bagi pegawai Bapenda.
"Total keseluruhan Rp3 miliar, dengan rincian Rp1,8 miliar diterima terdakwa I (Mbak Ita), dan Rp1,2 miliar diterima terdakwa II (Alwin Basri)," terang Rio.
Mbak Ita sendiri membantah telah meminta uang tersebut. Ia berdalih praktik pemberian itu sudah berlangsung sejak wali kota sebelumnya dan dirinya telah mengembalikan dana tersebut ke KPK pada Januari 2024.
"Yang terakhir bersamaan dengan pengembalian dari Pak Alwin dalam pecahan dolar Singapura, totalnya sekitar Rp1 miliar," aku Mbak Ita dalam sidang.
Sidang akan dilanjutkan dengan mendengarkan kesaksian lanjutan dari pejabat lain yang disebut-sebut ikut terlibat dalam arus dana tersebut.