Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG_3379.jpeg
Martuti mengenalkan tanaman selada kepada Bagas Supriyanto penyandang disabilitas tuna netra di Green House Pandawa Patra, Boyolali. (IDN Times/Larasati Rey)

Intinya sih...

  • Martuti, ibu tangguh dari Boyolali, membawa anaknya yang tunanetra ke Integrated Farming Pandawa Patra untuk menghindari bullying.

  • Bagas Supriyanto, 21 tahun, belajar integrated farming di SLB Boyolali dengan bantuan ibunya dan Green House Pandawa Patra.

  • Haryono, pengelola Green House Pandawa Patra, membina 30 penyandang disabilitas dan ingin meningkatkan perekonomian mereka.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Saya ajak ikut kegiatan disini biar anak saya tidak dibully lagi,’ ujar Martuti.

Ucapan Martuti tersebut sontak membuat hati saya bergetar. Kalimat yang diucakan Martuti memperjelas bagaimana bullying dan diskriminasi kepada anak penyangdang disabilitas di desa masih dianggap sebagai aib dan kutukan.

Martuti ibu tangguh yang saya temui di warga Dukuh Keposong RT 02/03, Desa Keposong, Tamansari, Boyolali memiliki ketegaran hari yang kuat saat mencerikan bagaimana kondisi dan perjuangannya merawat anak laki-lakinya yang penyangdang tuna netra sejak dari kecil.

Wajahnya  yang menua menyimpan beragam beban yang ditanggung dihatinya. Saat saya ingin bertanya tentang anaknya, bukan sikap minder yang ia berikan, tapi ia langsung antusias mengenalkan anak laki-lakinya kepada saya. Ia bahkan menjemput dan menuntun langsung anaknya keluar rumah agar bisa menceritakan kisahnya kepada saya.

Lebih kaget lagi saat saya melihat pertama kali bertemu Bagas Supriyanto, saya tercengang dengan sosoknya, ia memiliki badan kecil seperti anak sekolah SMP,  wajah saya melihat wajah dengan penuh semangat dan keceriaan yang dipancarkan oleh Bagas. Bukan wajah sedih dengan keputusasaan.

Tak seperti bentuk tubuhnya, Bagas ternyata anak berusia 21 tahun, namun ia masilh mengenyam pendidikan di SLB Boyolali, tingkat SMA. Setiap hari, Martuti dan Bagas harus menempuh waktu 1 jam hanya untuk berangkat sekolah dari rumahnya. Perjuangan melewati alas dan kaki gunung Merapi ditempuh oleh Martuti agar anaknya mendapat pendidikan yang layak.

Martuti mengaku sengaja mengajak Bagas untuk belajar Integrated Farming Pandawa Patra  (Pasukan Inklusi Peduli Alam Bawanan) yang berkolaborasi bersama Pertamina Patra Niaga Jawa Bagian Tengah. Meski tak bisa banyak membantu, Martuti dengan tekun mengenalkan cara merawat tanaman hingga hewan ternak di Green House Pandawa Patra.

“Kesini setiap pulang sekolah saja ajak kesini ya seminggu tiga kali, biar Bagas belajarlah disini kan juga temannya banyak,” ungkap Martuti kepada IDN Times, Selasa (21/10/2025).

Tak hanya Bagas, Martuti pun juga membantu di Green House Pandawa Patra. Ia pun turut terlibat dalam pengolahan hingga pemasaran hasil kebun di Pandawa Patra.

Menemukan Rumah Kedua di Pandawa Patra

Sejak 2022, Bagas dan Martuti menjadi bagian dari Integrated Farming Pandawa Patra. Di sana, para penyandang disabilitas belajar tentang pertanian terpadu (integrated farming) dari mulai dari hidroponik hingga peternakan kambing.

Dengan sukarela Martuti mengajarkan Bagas untuk meraba tananam hingga hewan ternak yang ada dibagikan Pandawa Patra. Meski tak bila melihat, Martuti telaten menjelaskan bagian demi bagian kepada Bagas.

Bagas sangat antusias menceritakan pengalamannya belajar tentang cara menanam dan mengenal tanaman sayur di Sekolah Tani Rakyat Pandawa Patra. Setia hari, ia bersama ibunya diajak lansung meraba tanaman, mengenal struktur dan bantuk tanaman. Meski tak bisa bisa melihat, terlihat senyum lebar Bagas saat Martuti membimbingnya meraba tanaman selada yang ditanam dengan sistem hidroponik.

“Senang disini belajar hidroponik,’ ujarnya dengan senyum manis menyemai di wajahnya.

“Cara merawat tanaman, merawat hewan. Di sini kita memelihara kambing,” lanjutnya.

Bagas masih terus dibimbing dan diawasi dia tidak bisa dilepas sendiri untuk menanam di kebun. Jalur yang sempit dan minimnya tanda untuk penyandang disabilitas tunanetra membuat Bagas harus berhati-hati, suara Martuti terus membimbingnya setiap langkahnya.

Bertani dengan Hati

Haryono, peengelola Green House Pandawa Patra mengaku bertekad menjadi  pendamping penyandang disabilitas karena ingin menebus dosa selama bekerja di marketing di salah satu bengkel di Boyolali. Dengan mengabdikan diri ke masyarakat. Setelah keluar, Haryono menyebut dirinya membeli sebuah ambulans untuk membantu secara gratis.

“Yang penting, teman-teman disabilitas bisa bekerja, punya kepercayaan diri,” ungkapnya.

Kini Green house Pandawa Patra membina 30 penyandang disabilitas kebanyakan yakni tuna daksa dan ada satu yang tuna netra. Bahkan terdapat empat orang yang berasal dari keluarga rentan.

“Tahun 2021 kami didatangi Pertamina dan ditanya-tanya dulu. Kita ngobrol terus lalu di support, didampingi dan dibesarkan. Awalnya ini bukan hal mudah ya mendapat kepercayaan dari pertamina,” jelasnya.

Mengangkat integrated farming atau pertanian terpadu, salah satu contohnya menanam selada dengan metode hidroponik menjadi kesibukan Haryono bersama penyandang disabilitas. Selain itu ada peternakan kambing yang kotorannya bisa diolah menjadi pupuk.

“Salah satu pertanian selada ini sudah dipanen. Untuk selada kita kirim ke Solo untuk sektor restoran. Selada hidroponik ini mempunyai keunggulan dibanding selada tanah, salah satunya pada harganya yang relatif stabil,” jelasnya.

Di Green House Pandawa Patra, selada hidroponik tumbuh hijau segar. Hasilnya tak kalah dengan produk pertanian komersial. Selada hidroponik dijual sekitar Rp17 ribu per kilogram, sementara selada tanah bisa mencapai Rp43 ribu. Meski harga lebih murah, produk Pandawa Patra bebas pestisida dan menonjolkan kualitas alami.

Menjadi penaung para disabilitas tak membuat Haryono berpuas diri, ia ingin meningkatkan perekonomian para penyandang disabilitas di daerahnya, agar tak dipandang sebelah mata. Ia juga berterima kasih hadirnya Pertamina Patra Niaga yang memberikan dukungan untuk pemberdayaan warga disabilitas melalui pertanian dan peternakan.

Pertamina: Menumbuhkan Harapan, Bukan Sekadar Program

Menurut Fuel Terminal Manager Boyolali, Yulesia Pasalbessy, Pandawa Patra merupakan bagian dari program Corporate Social Responsibility (CSR) Pertamina Patra Niaga. Program ini bukan sekadar pemberian bantuan, melainkan pendampingan berkelanjutan untuk menciptakan kemandirian ekonomi.

“Ini bentuk kepedulian kami terhadap penyandang disabilitas,” ujarnya.

“Programnya tidak hanya hidroponik, tapi juga pembibitan, peternakan, hingga biogas,” sambungnya.

Cahaya di Tengah Gelap

Bagi Martuti, Pandawa Patra adalah lebih dari sekadar tempat belajar. Ia adalah ruang di mana anaknya diterima, dihargai, dan tidak lagi menjadi bahan ejekan. Di tempat itu, ia belajar bahwa cinta seorang ibu bisa mengalahkan keterbatasan.

Di wajahnya terpancar keikhlasan seorang ibu yang telah menemukan pelita bukan di kemewahan, tapi di sebuah green house sederhana di Boyolali, tempat di mana kasih dan harapan tumbuh bersama tanaman selada.

Editorial Team