Sejumlah rumah pensiunan pegawai KAI yang menempati lahan bekas Stasiun Pendrikan Lor Semarang. (IDN Times/Fariz Fardianto)
Untuk menjalani kehidupan, suaminya rutin membayar uang sewa rumah kepada PT KAI. Gajinya dipotong saban tahun untuk membayar sewa rumah. Ketika beranak pinak, Rusmini mengaku biaya sewa rumahnya terus bergerak naik. Terakhir biaya sewanya ditetapkan menjadi Rp1.750.000 per tahun.
"Suami bayar Rp1.750.000 per tahun. Bayarnya lewat kantor cabang KAI di Jalan MH Thamrin Semarang. Itu tergolong murah ketimbang kita harus ngontrak ke mana-mana," bebernya.
Sementara sang suami bisa naik naik pangkat menjadi pegawai opersional di kantor KAI Daop 4 Semarang dan terakhir bertugas jadi petugas pengatur perjalanan kereta api di Stasiun Tawang sampai pensiun tahun 2007.
Rusmini berkata selain dirinya, masih ada puluhan pegawai KAI yang menempati lahan bekas Stasiun Pendrikan Lor. Seiring berjalannya waktu jumlah penghuninya berangsur surut. Kini menurut Rusmini hanya tersisa 10 penghuni asli dari pensiunan PT KAI.
"Selain suami saya, dulunya ada banyak pegawai PJKA yang dinasnya tinggal di sini. Cuma lama-lama pada pensiun dan pindah ke daerah lain. Sekarang tinggal 10 orang yang asli yang masih asli dari PJKA. Yang lainnya hanya sebatas cucunya dan status rumahnya banyak yang bersengketa karena mereka kan nekat pada mengambilalih hak miliknya," akunya.