Alih-alih digunakan secara luas di fasilitas transportasi publik, Dicky menyarankan agar GeNose dimanfaatkan lebih dulu pada fasilitas kesehatan. Ia mengakui, GeNose memiliki potensi menjadi alat tes, tapi saat ini belum waktunya digunakan secara luas di area publik.
"GeNose memang punya potensi (untuk jadi alat screening), tetapi sebaiknya dilakukan di fasilitas kesehatan dulu sambil mereka terus memperbaiki uji cohort-nya dengan menggunakan sampel lebih besar, sehingga bisa memvalidasi klaim-klaim sebelumnya," ungkap Dicky.
Adapun strategi screening di fasilitas umum seperti pelabuhan dan stasiun, alogaritma yang digunakan harus jelas. Sehingga, tidak bisa diserahkan ke calon pengguna alat transportasi.
"Jadi, keakuratan dan prosedurnya juga jelas. Tidak bisa itu semua diserahkan ke calon penumpang atau publik karena hasilnya bisa keliru nanti," tutur dia lagi.
Relawan Satgas Penanganan COVID-19, dr. Tirta Mandira Hudhi mengusulkan supaya GeNose digunakan bagi masyarakat di desa-desa yang kesulitan memperoleh akses tes swab PCR. Ia justru mempertanyakan mengapa GeNose dipasang di fasilitas transportasi publik.
"GeNose lebih bermanfaat, buat saya pribadi kalau buat screening di kampung-kampung, pedesaan, yang susah buat (tes) PCR atau pertimbangan karena PCR lama. Karena dia (digunakan untuk) screening kan. Kenapa (malah digunakan) buat (screening) transportasi?” tanya Tirta pada 2 Februari 2021 melalui kun Instagramnya.
Epidemiolog Universitas Indonesia (UI), dr Pandu Riono menyatakan secara tegas jika Kementerian Kesehatan tidak pernah menyatakan GeNose untuk screening COVID-19.
"@KemenkesRI TIDAK PERNAH menyatakan Genose bisa dipakai untuk skrining COVID-19. Yg sudah disetujui adalah penggunaan Tes Antigen. Kalau digunakan secara luas untuk skrining maka kebijakan yg tidak bisa dipertanggungjawabkan. @YLBHI @YLKI_ID @OmbudsmanRI137," jelasnya dalam media sosial Twitter.