Masyarakat Dusun Sokokembang bekerja sebagai penjahit. IDN Times/Dhana Kencana
Penggunaan air sebagai sumber listrik tidak hanya dilabeli sebagai penerapan teknologi tepat guna melainkan bentuk dari diversifikasi jasa lingkungan (ecosystem services) hutan Petungkriyono.
Hutan hujan tropis yang tersisa di Pulau Jawa itu memberikan manfaat fisik dan nonfisik. Fisik berupa kayu dan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang memiliki nilai jual atau pasar. Sedangkan nonfisik berhubungan dengan fungsi ekologis, seperti keanekaragaman hayati, DAS, serta keterjagaan iklim baik makro maupun mikro. Kehadiran PLTMH menjadi buah nyata kebermanfaatan nonfisik hutan seluas 5.847,29 hektare (ha) tersebut.
Pembangunan pembangkit listrik itu tidak hanya mengatasi masalah pasokan listrik di Dusun Sokokembang namun juga mendorong kesadaran masyarakat dalam konservasi hutan. Hubungannya dengan hutan--sebagai penghasil sumber daya air untuk energi ramah lingkungan tersebut--tidak dapat dipisahkan karena saling berhubungan erat.
"Pemanfaatan sumber air dari hutan untuk listrik PLTMH tidak merusak alam malah sebaliknya. Masyarakat sadar akan potensinya memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan listrik yang menjadi dampak terjaganya hutan Petungkriyono. Kalau tidak terjaga, tidak akan bisa," kata Administratur Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Perhutani Pekalongan Timur, Didiet Widhy Hidayat.
PLTMH berhasil menjadi medium dalam upaya menekan deforestasi (penggundulan) dan degradasi (penurunan fungsi) di hutan Petungkriyono, yang berada di luar kawasan konservasi--baik kawasan suaka alam maupun kawasan pelestarian alam--.
"Aktivitas di hulu sungai, seperti perusakan hutan, penebangan pohon, juga pembukaan lahan akan memengaruhi kontinuitas debit air. Kualitas air sungai (siltation) juga berdampak pada produksi listrik PLTMH. Hubungan timbal balik deforestasi hutan dengan energi listrik yang dibutuhkan masyarakat, menumbuhkan partisipasi aktif dan kesadaran mereka secara kolektif dalam melestarikan hutan," ujar Wawan yang juga pendiri Swaraowa.