Pekerja Anak Terima Nasib ‘Masa Kecil Kurang Bahagia’

Semarang, IDN Times - Pekerja anak masih menjadi permasalahan sosial di Indonesia. Sebab, masih banyak perusahaan dari berbagai sektor yang memiliki tenaga kerja di bawah umur 18 tahun.
1. Dampak psikologis pekerja anak
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pekerja anak di Indonesia sebanyak 1,01 juta orang pada tahun 2022. Meskipun, jumlah tersebut turun 3,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebanyak 1,05 juta orang, tapi pekerjaan rumah ini perlu diselesaikan.
Sebab, dengan mempekerjakan anak-anak di bawah umur akan berdampak pada psikologis mereka. Menurut Psikolog Klinis Anak dan Remaja, Daniswara Agusta Wijaya, secara psikologis anak-anak di bawah usia 18 tahun belum pada tahap bekerja.
‘’Secara perkembangan, pada usia di bawah 18 tahun, anak-anak ini masih dalam masa eksplorasi, pengenalan diri dan mendapatkan pendidikan. Tentu jika mereka bekerja di usia itu akan berdampak, tidak mendapatkan kesempatan untuk belajar sehingga pengetahuan mereka kurang,’’ ungkapnya kepada IDN Times, Jumat (24/6/2023).
2. Pekerja anak kehilangan dan melewatkan fase kehidupan
Dengan pengetahuan yang kurang, anak-anak di bawah umur yang bekerja akan kurang produktif. Mereka hanya bekerja sesuai dengan keterampilan yang dimiliki dan sifatnya prosedural atau pekerjaan rutin tanpa ada stimulasi kognitif.
‘’Berbeda jika mereka memiliki pendidikan dan pengetahuan lebih, maka bekerja pun akan lebih produktif. Misalnya, mereka kerja di perkebunan ya mereka hanya jago berkebun saja, tapi tidak dapat pengetahuan yang lebih. Sehingga, mereka cuma mampu menyelesaikan pekerjaan yang butuh keterampilan dasar. Padahal, sebetulnya kalau mereka dapat pendidikan yang pas dan ilmu yang cukup bisa mengembangkan potensi lebih,’’ jelas Dosen Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang itu.
Kemudian, dampak bagi anak-anak yang bekerja di usia dini itu secara psikologis, yakni mereka akan kehilangan fase kehidupan yang seharusnya mereka lewati. Misalnya, jika usia anak-anak mereka akan melewati fase bermain, lalu pada usia remaja mereka akan kehilangan fase bergaul dengan teman-temannya.
3. Masa kecil kurang bahagia
‘’Kalau fase itu lewat karena dipakai untuk bekerja otomatis akan ada ‘need’ yang kurang atau kebutuhan psikologis yang kurang atau tidak terpenuhi. Dalam teori perkembangan nanti akan membawa dampak yang terlihat saat mereka dewasa. Akan ada muncul perilaku karena kebutuhan tidak terpenuhi atau istilah populernya, masa kecil kurang bahagia,’’ kata Danis.
Istilah ‘masa kecil kurang bahagia’ itu karena anak-anak yang bekerja juga kehilangan beberapa stimulan. Misalnya, anak-anak usia SD seharusnya sedang dalam masa bermain karena pada aktivitas itu akan merangsang komunikasi sosial. Namun, jika mereka sudah bekerja komunikasi sosialnya hanya di wilayah perkebunan, sehingga pekerja anak ini tidak dapat berkomunikasi secara efektif dengan orang lain.
Menurut Danis, fenomena sosial ini tidak bisa diselesaikan oleh satu dua pihak saja, harus terintegrasi. Maka, orang tua harus paham tentang pentingnya pendidikan bagi anak dan masa bermain pada anak.
4. Dipicu masalah ekonomi dan pendidikan orang tua
‘’Kalau paham mereka tidak akan mengizinkan anaknya bekerja di bawah umur. Maka itu, sangat penting edukasi dan kebijakan yang sudah ada di undang-undang, edukasi perlu sampai di celah-celah sempit,’’ ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, fenomena ini juga dipicu oleh masalah ekonomi dan pendidikan orang tua. Tanpa disadari banyak orang tua yang menjadikan anak-anak menjadi komoditas untuk mencari peluang.
‘’Kalau kita lihat masa sekarang, banyak nih orang tua yang menjadi konten kreator memanfaatkan anak mereka untuk mencari target market. Itu tanpa disadari sudah mempekerjakan anak lho,’’ tandasnya.