Penulisan Ulang Sejarah Beresiko Menimbulkan Tafsir Tunggal

Intinya sih...
- Kritik terhadap penulisan ulang sejarah yang tidak melibatkan keluarga pahlawan, termasuk putra-putri dan cucu pahlawan.
- Penulis meragukan tujuan utama proyek penulisan ulang sejarah yang digagas pemerintah karena tidak melibatkan masyarakat akar rumputnya.
- Sebuah saran agar penulisan ulang sejarah mengambil rekam jejak sejarah utuh dari era Orde Lama hingga era Jokowi, namun tidak mempersoalkan terkait sejarah pemberontakan PKI.
Semarang, IDN Times - Keputusan Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) yang melakukan penulisan ulang sejarah terus-menerus menimbulkan pro kontra.
Pasalnya banyak orang bertanya-tanya. Apa yang mau ditulis ulang? Mau diubah apanya? Dan masih lagi banyak prasangka lainnya.
Tak terkecuali yang hinggap di benak Haryo Goeretno. Haryo bukanlah orang sembarangan. Paling tidak Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon yang menggagas penulisan ulang sejarah musti menemui Haryo.
Sebab, Haryo atau akrab disapa Pak Yoyok fasih menarasikan sejarah pasca kemerdekaan Indonesia karena dialah putra ketiga mendiang pahlawan revolusi, Kolonel Sugiono. Ketika tragedi gerakan 30 September 1965 meletus, Pak Yoyok masih kelas satu SD.
"Kalau mau (sejarah) diupdate, apanya yang diupdate. Kalau memang itu harus diluruskan kan berarti ada yang salah. Terus pemerintah mau meluruskan yang seperti apa," kata Pak Yoyok yang kini menginjak usia kepala enam tersebut ketika berbincang dengan IDN Times, di Burjoku Jalan Kaligarang Semarang Barat, Jumat (23/5/2025).
Putra putri pahlawan tidak pernah dilibatkan
Lebih lanjut, Pak Yoyok terheran-heran dengan proyek penulisan ulang sejarah yang digagas pemerintah. Menurutnya dalam tahapan penulisan ulang sejarah mulai dekade 1970, era 90'an maupun terakhir pada 2012 silam, pemerintah tak pernah sedikitpun melibatkan keluarga pahlawan.
Setahunya pada penulisan sejarah nasional tahun 1970 mungkin para istri mendiang pahlawan pernah dimintai keterangan. Namun setelah itu pihak keluarga, termasuk putra-putri maupun cucu pahlawan tak pernah dijawil oleh pemerintah.
"Dari terbitan buku sejarah tahun-tahun sebelumnya juga (kita) ndak pernah dihubungi. Anak pahlawan juga ndak pernah dilibatkan. Padahal kalau pengin (sejarah) diluruskan ya perlu mengulik riwayat sejarahnya," urainya.
Putra mendiang Kolonel Sugiono jadi Ketua Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional
Pihaknya pun tak tahu tujuan utama pemerintah dalam proyek penulisan ulang sejarah. Di sisi lain secara entitas dirinya sebagai anak kandung Kolonel Sugiono juga didampuk jadi Ketua Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI) Jawa Tengah yang bernaung di bawah Dinas Sosial (Dinsos) Jateng.
"Maka dari itu kok tidak mewawancarai dari masyarakat akar rumputnya. Atau keluarga yang jadi saksi hidup rasanya kok tidak juga. Kalau bicara sebagai organisasi IKPNI, kita juga tidak pernah dilibatkan," paparnya.
Diperkirakan hanya ambil bahan dari referensi buk
Oleh sebab itulah, pihaknya memperkirakan buku sejarah yang sedang ditulis ulang oleh Kemenbud bisa jadi mengambil bahan-bahan referensi dari buku-buku sejarah yang sudah diterbitkan selama ini.
Kemudian ada juga kemungkinan penulisan ulang sejarah versi Fadli Zon hanya sebatas mengambil nilai kepahlawanan dari tokoh-tokoh pahlawan atau substansi peran seorang pahlawan tanpa mencantumkan riwayat keluarganya.
"Program itu kan melibatkan 100 sejarahwan. Dia kelihatannya mencari buku dari referensi sejarah yang ada saat ini. Mungkin yang ditulis itu peran peran pahlawan bukan ke keluarganya. Perkiraan saya begitu," tuturnya.
Kemenbud diminta buat penulisan ulang sejarah yang transparan
Pihaknya menyarankan materi dalam penulisan ulang sejarah semestinya mengambil rekam jejak sejarah yang utuh dari era Orde Lama yang dipimpin Presiden Sukarno, Orde Baru yang dipimpin Presiden Suharto kemudian berlanjut sampai era Jokowi.
Namun secara prinsip dirinya tidak mempersoalkan terkait sejarah pemberontakan PKI yang nanti tidak diubah boleh Kemenbud.
"Secara pribadi sejarah PKI tidak diubah mungkin biar tidak ada tragedi lagi. Cuman ya harusnya sejarah 98 tetap diangkat. Itu peristiwa karena Pak Harto sebagai tokoh yang otoriter, saya juga merasakan bagaimana dampaknya walaupun pas masih mahasiswa S1 di UGM tidak ikut ujuk rasa. Artinya secara keseluruhan riwayat sejarah saat era Bung Karno sampai Presiden Jokowi itu yang bergejolak mustinya secara transparan ditampilkan utuh," ujar pria yang jadi dosen Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang ini.
Pemerintah mustinya memfasilitasi penulisan sejarah saja
Terpisah, Prof Wasino, Ketua Masyarakat Sejarawan Jawa Tengah menyoroti kepentingan negara di balik upaya penulisan ulang sejarah yang digagas Fadli Zon.
Semestinya pemerintah tidak mensponsori penulisan ulang sejarah tetapi biarkan masyarakat yang menginisiasi proyek penulisan tersebut.
"Sehingga pemerintah tidak menjadi satuan penulisan tetapi dia hanya memfasilitasi saja," tutur Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Semarang (Unnes) tersebut tatkala berbincang dengan IDN Times.
Seolah ada tafsir tunggal dari identitas bangsa
Pihaknya bahkan mengkhawatirkan adanya potensi munculnya tafsir tinggal ketika buku sejarah yang ditulis ulang oleh Kemenbud itu beredar luas. Sebab ketika buku sejarah diterbitkan oleh pemerintah maka otomatis narasi yang dimunculkan juga hanya dari satu versi.
"Menurut saya, negara mau menulis sejarah nasional dengan perspektif negara pada zaman sekarang sudah tidak diperlukan lagi. Karena kan setelah masa (tahun) 98 itu kan namanya dominasi negara terhadap rakyat tidak ada lagi. Apalagi ini ada penulisan ulang sejarah nasional seolah ada tafsir tunggal terhadap identitas bangsa Indonesia," paparnya.