Penyebab 152 Aset Lukminto Bersaudara Tetap Masuk Daftar Pailit Sritex

Semarang, IDN Times - Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang menolak gugatan dua eks petinggi PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), Iwan Setiawan Lukminto dan Iwan Kurniawan Lukminto, yang berupaya mengeluarkan 152 aset mereka dari daftar harta pailit perusahaan. Gugatan ini teregister dengan nomor perkara 9/Pdt.Sus-Gugatan Lain-lain/2025/PN Niaga Smg, dan menjadi salah satu perkara paling mencolok dalam sejarah sengketa kepailitan perusahaan tekstil nasional.
Dalam putusan yang dibacakan Senin (14/7/2025), majelis hakim menyatakan, tindakan tim kurator yang mencantumkan ratusan aset itu sebagai bagian dari boedel pailit sah menurut hukum.
Aset-aset tersebut, terdiri dari 140 sertifikat hak milik (SHM) dan 12 sertifikat hak guna bangunan (SHGB) yang tersebar di sejumlah wilayah. Seperti di Kabupaten Sukoharjo, Surakarta, Karanganyar, Wonogiri, hingga Sragen. Dalam gugatan, pihak Lukminto mengklaim bahwa properti tersebut merupakan milik pribadi yang tak seharusnya ikut terseret dalam proses kepailitan Sritex dan tiga anak perusahaannya.
Majelis hakim mengatakan, kurator telah bertindak sesuai dengan peraturan dan berhasil membuktikan bahwa seluruh aset yang disengketakan memiliki kaitan langsung dengan aktivitas dan kepentingan perusahaan.
"Tim kurator berhasil membuktikan dalil-dalil dalam jawabannya, yang mematahkan seluruh gugatan penggugat," kata Hakim Ketua Rudi Fakhrudin Abbas saat membacakan amar putusan.
Dalam petitum gugatan, Lukminto bersaudara secara tegas meminta agar majelis hakim menyatakan bahwa aset-aset tersebut bukan bagian dari harta pailit PT Sritex, maupun tiga entitas lainnya yang turut dinyatakan pailit, yaitu PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya.
"Memerintahkan tergugat untuk menghapus aset-aset milik dan atas nama para penggugat dari Daftar Pertelaan Harta Pailit secara seketika setelah putusan ini dibacakan," tulis mereka dalam poin kelima gugatan.
Namun, permintaan itu ditolak. Hakim menilai aset yang disengketakan tidak dapat dipisahkan dari hubungan hukumnya dengan Sritex karena digunakan dalam operasional perusahaan dan bukan sekadar properti pribadi pasif.
Hakim juga mengacu pada putusan homologasi yang telah dibatalkan pada 2024, sehingga klaim Lukminto soal legalitas pemisahan aset berdasarkan perjanjian lama tidak lagi berlaku.
Lukminto bersaudara juga menawarkan solusi alternatif. Mereka mengusulkan agar aset pribadi yang masuk ke dalam daftar pailit diganti dengan 103 aset sponsor berupa sertifikat tanah yang tersebar di Sukoharjo. Dalam gugatan, mereka menyatakan aset sponsor itu telah diberikan secara sukarela kepada kurator sebagai bentuk iktikad baik.
"Menyatakan sah aset sponsor yang diberikan secara sukarela oleh para penggugat kepada tergugat sebagai aset pengganti," bunyi poin ketujuh dalam petitum mereka.
Namun, argumen tersebut juga tidak cukup kuat untuk mengubah pertimbangan hukum majelis. Hakim tetap pada kesimpulan bahwa daftar aset yang sudah masuk dalam pertelaan pailit tidak dapat dikeluarkan begitu saja hanya karena adanya aset pengganti, terutama jika tidak dibuktikan adanya nilai, fungsi, dan keterkaitan operasional yang setara.
Untuk diketahui, kasus tersebut bermula dari vonis pailit terhadap Sritex dan anak-anak usahanya pada 2024 setelah gagal menjalankan isi perjanjian homologasi dari proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tahun 2021. Kurator kemudian menyusun daftar harta pailit atau boedel pailit untuk dibereskan demi membayar utang perusahaan, termasuk 152 aset yang belakangan disengketakan oleh keluarga Lukminto.