Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Petugas PN Semarang menyaksikan Taufik Eko Nugroho yang jadi terdakwa kasus kematian dokter ARL saat dilepaskan borgolnya di dalam ruang tahanan. (IDN Times/Fariz Fardianto)
Petugas PN Semarang menyaksikan Taufik Eko Nugroho yang jadi terdakwa kasus kematian dokter ARL saat dilepaskan borgolnya di dalam ruang tahanan. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Intinya sih...

  • Jam kerja hampir 24 jam dan tugas berat menyebabkan ARL mengalami kecelakaan dan sakit, serta dibully oleh senior di RSUP dr Kariadi.

  • Adanya upaya menghambat pemeriksaan terhadap ARL oleh kepala program studi Anestesiologi Fakultas Kedokteran Undip.

  • Pungutan biaya pendidikan PPDS anestesi Undip mencapai puluhan juta rupiah, dengan iuran fantastis sekitar Rp20-40 juta per mahasiswa.

Semarang, IDN Times - Nuswatun Hasanah Ibu Almarhumah dokter Aulia Risma, dihadirkan pada sidang kasus perundungan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Universitas Diponegoro (Undip).

Pada persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi tersebut, Nuswatun mengungkapkan berbagai perlakuan yang dialami ARL sebelum meninggal dunia. Menurutnya ARL mendapatkan tekanan fisik dan mental, jam kerja yang memberatkan, tugas berat hingga iuran tak wajar selama menjalani praktik di RSUP dr Kariadi sejak Juni 2022.

1. Jam kerja yang berat hingga dugaan adanya bullying

Sidang kasus dugaan pemerasan dan kekerasan mental dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) di Pengadilan Negeri (PN) Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)

Dikatakan Nuswatun putrinya menjalani jam kerja hampir 24 jam, mulai dinihari pukul 03.00 WIB hingga pukul 01.30 WIB. Tugas berat tersebut mengakibatkan ARL mengalami kecelakaan jatuh ke selokan saat mengendarai sepeda motor dinihari usai pulang dari bekerja.

Pasca kejadian tersebut, ARL mulai mengeluhkan sakit di pinggang dan kaki, hasil MRI menunjukkan adanya saraf terjepit di tiga titik. Meski sakit namun tak membuatnya bebas dari tugas berat, ARL dibebani tugas mulai dari membagikan 80 porsi makanan, mengangkat galon, dan pekerjaan berat lainnya.

ARL disebutnya juga dibully oleh seniornya. Mendiang menurut Nuswatun kerap bercerita kepada ayahnya. "Itu lewat WA. Masalah perlakuan seniornya, dimarahi, diberi beban. Terus curhatan dibully," kata Nuswatun.

Selain perlakuan fisik dan intimidasi iuran dengan nominal lebih dari Rp90 juta juga sangat memberatkan sebagai penerima beasiswa Kemenkes, biaya pendidikan ARL mestinya ditanggung Kemenkes.

2. Adanya upaya menghambat pemeriksaan

Sidang kasus dugaan pemerasan dan kekerasan mental dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) di Pengadilan Negeri (PN) Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)

Sementara itu saksi Pamor Nainggolan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membenarkan ARL mengalami penurunan kesehatan pasca ia masuk pendidikan PPDS Anestesi Undip, Ia juga membenarkan bahwa ARL didiagnosa mengalami depresi.

Kementerian Kesehatan juga mengungkap adanya upaya menghambat pemeriksaan yang dilakukan Taufik Eko Nugroho selaku Kepala Program Studi Anestesiologi Fakultas Kedokteran Undip.

"Ada inisiatif terdakwa sebagai kaprodi (kepala program studi) mengumpulkan peserta PPDS Angkatan 77 dan mengondisikan jawaban yang akan disampaikan," katanya.

Taufik Eko diduga menakut-nakuti para peserta PPDS Angkatan 77 yang menyatakan saksi bisa menjadi tersangka dalam perkara tersebut. Para peserta PPDS diminta untuk menggunakan hak diam saat diklarifikasi oleh Kemenkes serta menyatakan bahwa telepon selulernya sudah diganti.

Pada persidangan juga diungkap terdapat sistem kasta di PPDS Undip yang mengkategorikan mahasiswa mulai dari mahasiswa tingkat satu sebagai kuntul, kakak pembimbing (kambing), middle senior, senior, chief of chief, dewan syuro, hingga DPJP.

3. Pungutan yang nilainya mencapai puluhan juta

ilustrasi Fakultas Kedokteran Undip (youtube.com/FK-UNDIP)

Pada sidang juga terungkap biaya pendidikan untuk prodi PPDS anestesi Undip. Pamong menyampaikan bahwa sedari tahun 2018 silam pimpinan Prodi PPDS anestesi di RS Kariadi mematok tarif biaya operasional pendidikan (BOP) sebanyak Rp80 juta per mahasiswa PPDS anestesi. 

Namun belakangan ia mendapat bocoran informasi kalau tarif BOP PPDS anestesi di RS Kariadi diturunkan jadi Rp65 juta. 

"Untuk BOP ini saya tahu untuk biaya pendidikan Biaya operasional BOP ini Rp80 juta per mahasiswa. Tapi terakhir turun sekitar Rp65 juta. Itu yang dilakukan terdakwa Taufik," ungkapnya. 

Di luar BOP juga masih ada iuran yang dibebankan kepada tiap mahasiswa PPDS anestesi dengan angka yang fantastis. 

Setiap mahasiswa PPDS anestesi Undip diwajibkan membayar iuran sekitar Rp20 juta sampai Rp40 juta. 

"Iuran diluar biaya pendidikan itu iuran angkatan semester satu itu ada yang mulia. Antara 20-40 juta itu rata-rata beda beda per angkatan PPDS. Peruntukan untuk kami untuk biaya pendidikan pelatihan. Tapi tidak ada tusi dari Kementerian Kesehatan," bebernya. 

Jaksa pun menyoroti penggunaan BOP ini kenapa tidak dilaporkan kepada Rektor Undip. Atas pertanyaan Jaksa, Pamong mengaku tidak tahu menahu. 

Dalam pelaksanaannya, BOP ini digunakan pembimbing atau PPJP atau kegiatan pendidikan. Dan untuk penelitian. 

Editorial Team