ilustrasi kereta api (IDN Times/Dhana Kencana)
Tenaga surya menjadi sumber energi terbarukan yang terus mengalami kemajuan secara pesat dibandingkan energi terbarukan lainnya. Melansir data Bank Dunia dan Solargis pada 2017, hampir sebagian besar wilayah di Indonesia mendapat pasokan sinar matahari secara merata sepanjang tahun dengan intensitas radiasi dan power output yang cukup tinggi, mencapai 3,6-6 kWh/meter persegi/hari dan 1.170-1.530 kWh/kWp.
Guna mendorong pemanfaatan energi surya tersebut, mengacu Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 disebutkan bangunan pemerintah diwajibkan untuk menggunakan PLTS sebesar 30 persen dari luasan atap. Salah satunya terimplementasi di Stasiun Batang.
Termasuk untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi sebagai sistem pendukung proses pembangunan nasional sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dimana pasokan listrik PLTS di Indonesia ditarget bisa mencapai 6,5 Gigawatt (GW) pada 2025 atau naik sekitar 45 GW pada tahun 2050.
Kasubdit Implementasi Pengembangan Aneka Energi Baru Terbarukan (EBT) Dirjen EBTKE, Pandu Ismutadi, menyebut pemanfaatan EBT menjadi langkah mitigasi perubahan iklim (climate change) yang telah menjadi komitmen pemerintah sejak meratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016.
"Pemerintah sendiri menargetkan bauran EBT sebesar 23 persen sebagai energi primer pada 2025 dalam KEN. Kenyataannya hingga semester I tahun 2019, realisasinya baru sekitar 8,85 persen," jelasnya melansir laman resmi Institute for Essential Services Reform (IESR) saat acara Sosialisasi dan Diskusi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap untuk sektor industri di Kota Bekasi, Jawa Barat, 29 Januari 2020.