Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi generasi Z toleransi dengan sesama (Pixabay/dkatana)
Ilustrasi generasi Z toleransi dengan sesama (Pixabay/dkatana)

Intinya sih...

  • Generasi Z suka bekerja tanpa terikat dan tekanan
  • Gen Z adaptif karena teknologi berkembang pesat sejak lahir, membuat mereka tidak mau terikat dan bekerja di bawah tekanan
  • Polas asuh orang tua generasi X dan milenial memberikan fasilitas yang mencukupi, membuat mental Gen Z lemah dalam berjuang untuk sesuatu

Semarang, IDN Times - Angka pengangguran di kalangan Generasi Z (Gen Z) terbukti cukup tinggi. Kondisi itu dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya pola asuh orangtua.

1. Gen Z lahir saat dunia berubah pesat

ilustrasi link di internet (pixabay.com/parveender)

Psikolog Pendidikan, Dr. Cicilia Tanti Utami, MA, Psikolog mengatakan, pada saat Gen Z lahir di rentang tahun 1997-2012, teknologi berkembang dengan pesat. Akhirnya, salah satu ciri dari Gen Z adalah orang yang adaptif karena sejak mereka lahir perubahan begitu pesat.

“Misalnya, dulu belum mengenal handphone, internet, komputer, lalu pada era Gen Z lahir teknologi itu berkembang. Maka, mereka tumbuh menjadi individu yang bebas dan tidak mau terikat, bergerak dengan bebas dan fleksibel, karena dunia saat mereka lahir seperti itu,” ungkapnya saat dihubungi, Sabtu (3/5/2025).

Hal itu dibawa saat mereka memasuki dunia kerja sebagaimana saat bekerja mereka bertemu dengan pimpinan di kantor dari generasi X atau milenial yang masih menggunakan pola lama. Seperti, bekerja di kantor, ada aturan yang jelas, dan harus terikat.

Menurut dosen Fakultas Psikolog Unika Soegijapranata Semarang itu, tradisi dan budaya kerja seperti itu susah untuk diikuti oleh anak-anak Gen Z.

2. Lebih baik menganggur daripada bekerja di bawah tekanan

ilustrasi bekerja (pexels.com/fauxels)

‘’Akhirnya, mereka tidak nyaman, bosan atau tidak betah, dan memilih keluar. Menurut mereka lebih baik menganggur daripada bekerja di bawah tekanan,’’ ujarnya.

Selanjutnya, faktor lain yang memengaruhi banyak Gen Z yang ‘menganggur’ –dalam arti tidak bekerja di perusahaan– adalah pola asuh orangtua. Orangtua Gen Z yang merupakan generasi X dan milenial sebagaimana lahir di tahun 1970-1980-an itu hidup di zaman yang berbeda.

‘’Pada saat generasi X dan milenial beranjak dewasa dan hidup di Indonesia, mereka masih banyak dituntut bekerja keras, teknologi belum berkembang pesat seperti sekarang. Apa yang mereka alami itu, tidak ingin dialami oleh anaknya. Lalu, mereka berpikir dulu sayang senggara, maka anak saya jangan sampai sengsara,’’ jelas Cicilia.

Sehingga, lanjut dia, dalam pengasuhan mereka (orangtua Gen Z) memberikan fasilitas yang mencukupi kepada anaknya. Upaya ini justru menjadi tidak baik bagi anak mereka (Gen Z). Akibatnya, Gen Z sering disebut sebagai generasi stroberi.

3. Gen Z memilih pekerjaan yang kreatif dan bebas

Ilustrasi konten kreator (freepik.com/dragonimages)

‘’Ini karena pola pengasuhan orangtua yang tidak mereka sadari membuat sang anak mentalnya lemah karena semua terpenuhi, tidak perlu perjuangan, semua disediakan. Maka, dalam hal bekerja di sebuah organisasi mereka tidak terbiasa untuk banting tulang dalam mendapatkan sesuatu karena sudah terpenuhi,’’ terang Cicilia.

Sehingga, lanjut dia, ketika kini tinggi angka pengangguran Gen Z kesalahan tidak hanya dari mereka, tetapi juga orangtua. Orangtua dalam pola pengasuhan lupa untuk memberikan edukasi bahwa hidup harus berjuang dulu.

Kendati demikian, sisi positif anak-anak Gen Z, yaitu kreatif dan cerdas. Meskipun, pekerjaan yang dipilih jauh dari perusahaan atau abdi negara, mereka memilih pekerjaan yang kreatif dan bebas.

‘’Sehingga, mereka suka dengan pekerjaan menjadi freelancer, konten kreator, wirausaha, yang intinya mereka mengatur dirinya sendiri dan dapat uang banyak dari kreativitas, daripada berhubungan dengan organisasi,’’ tandasnya.

Editorial Team