Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Screenshot 2025-09-03 at 17.41.59.png
Konferensi pers Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang bersama Tim Hukum Suara Aksi di Semarang. (Dok. LBH Semarang)

Semarang, IDN Times - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang bersama Tim Hukum Suara Aksi, gabungan 40 advokat, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga bantuan hukum, mengungkap adanya enam pelanggaran hukum yang diduga dilakukan Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Polda Jateng) dalam penanganan demonstrasi di Kota Semarang pada akhir Agustus 2025.

Direktur LBH Semarang, Ahmad Syamsuddin Arief menilai aparat tidak hanya bertindak berlebihan, tetapi juga menimbulkan trauma bagi masyarakat.

“Perbuatan sewenang-wenang Polda Jawa Tengah telah menebar ketakutan dan menciptakan trauma kepada masyarakat, pelajar, dan orang tua yang ditahan. Hingga 3 September, tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka, enam di antaranya anak-anak,” kata Arief dalam konferensi pers di kantornya, Rabu (3/9/2025).

Arief menyatakan, penanganan aksi tersebut melanggar hak asasi manusia (HAM) serta sejumlah aturan hukum yang berlaku. Dalam pemaparannya, Tim Hukum Suara Aksi merinci 6 bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan aparat:

  1. Menghalangi akses bantuan hukum dan keluarga. Dalam hal ini advokat dan keluarga korban dilarang menemui tahanan, bahkan seorang penyandang disabilitas tunarungu tidak didampingi selama ditahan.

  2. Salah tangkap ratusan orang. Tim menemukan sekitar 400 orang ditangkap secara acak, termasuk pelajar, pekerja, hingga warga sipil yang hanya melintas atau membeli minuman di sekitar lokasi demo.

  3. Sweeping brutal dan penangkapan sewenang-wenang. Tim menengarai polisi berpakaian preman disebut melakukan penangkapan paksa. Relawan PBHI, Kahar Mualalsyah, mengatakan situasi makin buruk setelah adanya instruksi “tembak di tempat” dari Kapolri.

  4. Penahanan melebihi batas 1x24 jam. Tim menemukan sejumlah korban ditahan lebih dari sehari tanpa akses hukum. Seorang anak bahkan mengalami trauma psikis berat setelah dibebaskan.

  5. Kekerasan dan penelantaran dalam penahanan. Korban salah tangkap disebut mengalami kekerasan fisik, luka-luka, serta tidak diberi makan dari pagi hingga sore.

  6. Wajib lapor tanpa dasar hukum. Tim menyebutkan, korban salah tangkap diwajibkan lapor dua kali seminggu, padahal menurut KUHAP, kewajiban ini hanya berlaku bagi tersangka dengan penangguhan penahanan.

Selain enam poin tersebut, LBH juga menyebutkan masih adanya puluhan orang yang belum jelas keberadaannya, meskipun pihak kepolisian mengklaim semua sudah dibebaskan.

Tim Hukum Suara Aksi mendesak lembaga negara seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, dan Komnas Disabilitas untuk segera turun tangan. Mereka juga menuntut Presiden Prabowo Subianto dan pemerintah pusat ikut bertanggung jawab.

“Polisi tidak boleh bertindak seperti militer. Mereka adalah instrumen sipil yang harus tunduk pada hukum, bukan menakut-nakuti rakyat,” tegas Arief.

Tim hukum juga meminta agar status tersangka bagi korban salah tangkap dicabut tanpa syarat, polisi menyampaikan permintaan maaf terbuka, serta negara menanggung pemulihan kondisi korban.

Editorial Team