Fenomena konvergensi teknologi telah mengubah wajah interaksi sosial bagi semua kalangan, tidak terkecuali anak-anak. Ruang digital yang awalnya menawarkan peluang tidak terbatas untuk belajar dan berekspresi, kini bertransformasi menjadi area berisiko tinggi yang mengintai tumbuh kembang mereka.
Pasalnya, saat ini interaksi di ruang siber telah mencapai keadaan di mana anak-anak tumbuh dalam ekosistem digital yang kian menyatu atau dalam situasi hiperkoneksi. Mereka dapat terhubung dengan berbagai gawai, mulai dari telepon seluler, tablet, hingga televisi yang tersambung internet. Hal itu memfasilitasi terjadinya transfer nilai dan budaya antarnegara.
Kondisi diperburuk oleh kemajuan teknologi seperti 5G, kecerdasan buatan (AI), dan analisis big data, yang memungkinkan penyelenggara platform digital dapat membuat profil penggunanya (profiling) secara lebih mendalam, termasuk anak-anak.
Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menguatkan situasi tersebut. Lembaga statistik negara itu mencatat, penggunaan telepon seluler dan internet sudah merambah anak di bawah usia satu tahun, dengan persentase penggunaan seluler mencapai 5,88 persen dan penggunaan internet sebesar 4,33 persen.
Sementara itu, penelitian Online Child Sexual Exploitation and Abuse (OCSEA) tahun 2023 yang dilakukan Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menemukan, rata-rata anak Indonesia menggunakan internet selama 5,4 jam sehari.
Analis Kebijakan Ahli Madya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Dita Andriasari menyebutkan, aktivitas anak-anak di dunia maya didominasi oleh interaksi sosial dan hiburan, yang mana 86 persen anak mengobrol dengan teman secara daring, 85 persen menonton film dan video secara daring, dan 74 persen mendengarkan musik atau bermain gim daring.
"Internet seperti teman bermain untuk anak saat ini. Sayangnya, tidak sedikit orangtua yang memilih memberikan gawai agar anak tenang atau tidak tantrum, padahal tindakan itu dapat menjadi ancaman tersendiri bagi anak," katanya saat seminar daring (webinar) bertemakan Memahami Aturan Terbaru Perlindungan Anak di Ruang Digital yang diadakan UNICEF Indonesia, Rabu (4/6/2025).
Dalam ruang digital yang tidak terbatas itu, anak-anak dihadapkan pada segudang risiko. Dita merinci beragam ancaman yang mengintai mereka, mulai dari grooming (bujuk rayu bernuansa seksualitas), sextortion (pemerasan seksualitas), cyberbullying (perundungan siber), hingga isu privasi dan maraknya materi (konten) kekerasan seksual anak atau Child Sexual Abuse Material (CSAM)—termasuk live streaming seksual. Bahkan, ia menyebut perjudian daring (judol) kini sudah merambah sampai atau bisa terakses oleh anak.
"Makin meningkatnya penggunaan platform digital dan penetrasi internet yang kian tinggi, baik di media sosial atau di percakapan atau di gim, itu secara tidak langsung mendorong tumbuhnya ancaman-ancaman yang tidak disadari dan menjadi potensi bisnis besar para sindikat kejahatan seksual," ujarnya.
Hal itu relevan mengingat sejumlah kasus yang terungkap di publik menunjukkan betapa mendesaknya solusi untuk masalah tersebut. Contohnya kasus grup Facebook "fantasi sedarah" dengan jumlah anggota sebanyak 32 ribu akun. Kemudian, kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) berkedok lowongan pekerjaan asisten rumah tangga (ART) yang berujung pada eksploitasi seksual, perdagangan bayi melalui TikTok di Riau, kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur oleh Kapolres Ngada, hingga tawaran menggiurkan gim ketangkasan yang berujung pada perjudian daring.
Di balik konten negatif dan pelaku kejahatan (predator) tersebut, bahaya juga datang dari cara kerja teknologi itu sendiri. Dita menguraikan, algoritma media sosial dan platform video bisa berbahaya bagi anak-anak, yang otaknya masih terus berkembang dan belum bisa memilah antara konten yang baik dan buruk--yang terverifikasi atau tidak--sehingga rentan terjerumus bahkan menjadi korban.
"Ketika seorang anak atau remaja tertarik pada satu konten--yang awalnya hanya sebatas rasa ingin tahu--algoritma akan terus menyajikan konten serupa, dan itu membuat mereka makin tenggelam dengan rasa penasaran atau keingintahuan yang tinggi," aku Dita.
Akibatnya, anak menjadi terlalu banyak menghabiskan waktu (time-consuming) dalam mengakses konten digital, seperti menggulir (scrolling) tanpa batas dan menonton video pendek secara terus menerus. Hal tersebut berefek negatif pada perkembangan kognitif dan sosial mereka. Lebih jauh, anak-anak menjadi kesulitan untuk memusatkan perhatian atau kehilangan fokus, serta terjadi penurunan kemampuan sosial dan komunikasi mereka.