Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Letnan Jenderal TNI (Purn) Bambang Sugeng. (www.gramedia.com)
Letnan Jenderal TNI (Purn) Bambang Sugeng. (www.gramedia.com)

Intinya sih...

  • Bambang Sugeng, Panglima Serangan Umum 1 Maret dan pejuang lintas zaman.

  • Profil Bambang Sugeng, dari pendidikan hingga peran sebagai pemimpin di masa revolusi.

  • Menguatkan TNI di masa damai dan karier sebagai diplomat setelah pensiun dari militer.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Magelang, IDN Times - Nama Letnan Jenderal TNI (Purn) Bambang Sugeng, atau yang dikenal pula dengan ejaan lama Bambang Soegeng, menjadi bagian penting dalam sejarah perjuangan dan konsolidasi TNI pascakemerdekaan. Lahir di Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, pada 31 Oktober 1913, ia dikenal sebagai sosok prajurit, perencana militer ulung, sekaligus diplomat yang mengabdi untuk bangsa hingga akhir hayatnya.

Bambang Sugeng wafat pada 22 Juni 1977 di Jakarta dan dimakamkan di Kompleks Monumen Pembunuhan Massal Pejuang RI Kali Progo, Temanggung, Jawa Tengah. Meskipun belum tercatat secara resmi sebagai Pahlawan Nasional, ia diusulkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010 berkat jasa dan kiprahnya dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan militer Indonesia.

Dari Magelang ke Medan Perjuangan

Bambang Sugeng menempuh pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Tegalrejo, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Purwokerto, dan Algemeene Middelbare School (AMS) Bagian A di Yogyakarta.

Ia sempat kuliah di Rechts Hoge School (RHS) Jakarta dengan cita-cita menjadi ahli hukum. Sayang, pendidikan yang ia tempuh itu harus terhenti setelah Jepang menduduki Indonesia.

Sebelum berkarier di militer, Bambang Sugeng sempat bekerja sebagai juru tulis di Pemerintah Kabupaten Temanggung.

Ketika pendudukan Jepang dimulai, ia mengikuti pendidikan perwira PETA (Pembela Tanah Air) di Gyugun Renseitai Bogor pada tahun 1943. Lulus dari pelatihan itu, ia ditugaskan sebagai Cudanco (Komandan Kompi) di Magelang, kemudian menjadi Daidanco (Komandan Batalion) di Gombong, Kebumen, pada 1944.

Pemimpin di Masa Revolusi

Setelah proklamasi kemerdekaan, Bambang Sugeng menjadi salah satu pendiri Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Temanggung, yang kemudian menjadi bagian dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada tahun 1945, ia dipercaya sebagai Komandan TKR Temanggung di bawah Divisi V Jawa Tengah.

Perannya makin menonjol ketika ia memimpin pasukan dalam Agresi Militer Belanda I (1947) dan Agresi Militer Belanda II (1948). Pada masa-masa genting itu, Bambang Sugeng menjabat sebagai Panglima Divisi III/GM III yang membawahi wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Dari markasnya inilah ia merancang operasi besar yang kelak menjadi tonggak sejarah: Serangan Umum 1 Maret 1949.

Sebagai Panglima Divisi III, Bambang Sugeng mengeluarkan Perintah Siasat No. 4/SD/Cop/I tanggal 1 Januari 1949 dan Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949 kepada Letkol Soeharto untuk melakukan serangan ke Yogyakarta. Serangan itu membuktikan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih ada dan memiliki kekuatan militer yang solid, sekaligus membuka jalan menuju pengakuan kedaulatan dari Belanda.

Pada akhir masa revolusi, Bambang Sugeng dipercaya menjadi Wakil Panglima Besar Jenderal Sudirman, atau Wakil I Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP), dari 21 September hingga 27 Desember 1949.

Menguatkan TNI di Masa Damai

Setelah pengakuan kedaulatan, Bambang Sugeng terus berperan dalam menata organisasi militer. Ia diangkat sebagai Panglima Divisi I T&T V/Brawijaya pada Juni 1950, kemudian menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) ke-3 pada 22 Desember 1952 hingga 8 Mei 1955.

Pada masa jabatannya, TNI AD menghadapi krisis internal akibat Peristiwa 17 Oktober 1952, ketika sejumlah perwira menuntut pembubaran parlemen dan reorganisasi pemerintahan. Bambang Sugeng dikenal sebagai figur pemersatu yang menenangkan suasana dan menegakkan profesionalisme militer.

Melalui Konferensi Yogya pada Februari 1955, ia menggagas Piagam Djogja, sebuah kesepakatan internal untuk memperkuat solidaritas tentara dan meredam perpecahan di tubuh TNI AD. Upayanya tersebut menjadi pondasi penting bagi stabilitas militer nasional di era pascarevolusi.

Dari Tentara ke Diplomat

Usai menutup karier militernya, Bambang Sugeng mengabdi di bidang diplomasi. Ia ditunjuk sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Vatikan (1956–1960), kemudian untuk Jepang (1960–1964), dan terakhir untuk Brasil (1964–1966).

Sebagai diplomat, ia dikenal rendah hati dan berwawasan luas. Dalam masa tugasnya di Jepang, ia berperan penting mempererat hubungan kedua negara di masa awal normalisasi hubungan diplomatik pasca-Perang Dunia II.

“Bambang Sugeng adalah figur yang memahami bahwa perjuangan bangsa tidak berhenti di medan perang. Di meja diplomasi pun, ia membawa semangat merah putih,” tulis Kementerian Luar Negeri dalam arsip biografinya.

Penghargaan dan Warisan

Atas jasa-jasanya, pemerintah menganugerahkan kenaikan pangkat kehormatan menjadi Letnan Jenderal (Purn) pada 1 November 1997. Ia dikenang bukan hanya sebagai jenderal cerdas dan berani, tetapi juga sebagai pribadi yang sederhana dan disiplin.

Selama hidupnya, ia menikah dua kali. Pertama dengan Sukemi (meninggal 1946) dan dikaruniai tiga anak, lalu dengan Istiyah, dan memiliki dua putri.

Bambang Sugeng diusulkan menjadi Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010 karena kiprah dan pengabdiannya. Meski belum mendapatkan gelar tersebut secara resmi, jejak perjuangannya telah memenuhi kriteria kepahlawanan nasional.

Ia berperan sentral dalam Serangan Umum 1 Maret, kepemimpinan strategis di Divisi III, kontribusi besar sebagai KSAD yang menjaga keutuhan TNI, dan pengabdian berkelanjutan di bidang diplomasi internasional.

Lebih dari itu, ia meninggalkan teladan integritas dan kesederhanaan, meski pernah menduduki posisi tertinggi di Angkatan Darat.

Editorial Team