Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Sosok Letjend R. Soeprapto (Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka, h. 44/Jakarta Citra Lamtoro Gung Persada, 1986)
Sosok Letjend R. Soeprapto (Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka, h. 44/Jakarta Citra Lamtoro Gung Persada, 1986)

Intinya sih...

  • Raden Soeprapto, ajudan Jenderal Sudirman, diusulkan jadi Pahlawan Revolusi

  • Profil dan pendidikan awal Soeprapto, bergabung dengan TKR dan menjadi ajudan Jenderal Sudirman

  • Karier militer setelah pengakuan kedaulatan, sikap tegas terhadap komunisme, hingga gugur dalam peristiwa G30S/PKI

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Banyumas, IDN Times - Letnan Jenderal TNI Anumerta Raden Soeprapto tercatat sebagai salah satu Pahlawan Revolusi Indonesia. Ia lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 20 Juni 1920 dan gugur pada 1 Oktober 1965 dalam peristiwa G30S/PKI

Soeprapto dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta pada 5 Oktober 1965. Status kepahlawanannya ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 111/KOTI/1965 pada tanggal yang sama.

Pendidikan dan Tempaan Awal

Raden Soeprapto adalah putra dari pasangan Raden Pusposeno dan Raden Ajeng Alimah. Ia menikah dengan Julie Suparti, seorang gadis asal Cilacap, dan dikaruniai lima anak. Mereka adalah Ratna Purwati, Sri Lestari, Pudjadi Setiadharma, Asung Pambudi, dan Arif Prihadi Ajidharma.

Soeprapto menempuh pendidikan MULO dan AMS Bagian B di Yogyakarta (lulus 1941).

Ia sempat masuk Koninklijke Militaire Akademie (KMA) Bandung, namun tidak tamat karena pendudukan Jepang.

Setelah ditawan Jepang dan melarikan diri, ia mengikuti berbagai latihan semimiliter (Cuo Seinen Kunrensyo, Keibodan, Seinendan, Suisyintai) dan bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat Banyumas, yang mana pada periode itu ia mulai dekat dengan Sudirman.

Kiprah dalam Revolusi Kemerdekaan

Pada masa revolusi, Soeprapto aktif dalam berbagai gerakan perjuangan. Ia bergabung dengan para pemuda di Cilacap untuk merebut senjata dan gedung-gedung dari Jepang.

Pada 5 Oktober 1945, ia resmi bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan menjabat sebagai Kepala Bagian II Divisi V TKR Purwokerto dengan pangkat Kapten.

Soeprapto ikut serta dalam Pertempuran Ambarawa pada Desember 1945 bersama Kolonel Sudirman. Kemenangan di pertempuran tersebut mengantarkan Sudirman diangkat menjadi Panglima Besar TKR, dan Soeprapto pun menjadi ajudan Panglima Besar Jenderal Sudirman antara tahun 1946 hingga 1947.

Di tengah perjuangan, ia menikah dengan Julie Suparti pada 4 Mei 1946.

Karier Militer setelah Pengakuan Kedaulatan

Setelah Indonesia merdeka, Soeprapto terus mengabdikan diri di dunia militer. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/Diponegoro di Semarang, kemudian menjadi Staf Angkatan Darat di Jakarta dan bertugas di Kementerian Pertahanan.

Pada tahun 1948, ia menjabat sebagai Kepala Bagian II Markas Besar Komando Djawa (MBKD) dan terlibat langsung dalam penumpasan pemberontakan PKI Madiun.

Setahun kemudian, Soeprapto berpangkat Letnan Kolonel dan menjabat sebagai Kepala Bagian II Staf Umum Angkatan Darat di Jakarta. Pada 1950, ia diangkat menjadi Asisten I Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) merangkap Wakil KSAD, dan kemudian dipercaya sebagai Deputi Kepala Staf Angkatan Darat untuk Wilayah Sumatra yang bermarkas di Medan.

Dalam posisi itu, ia bertanggung jawab menjaga stabilitas keamanan agar pemberontakan seperti PRRI/Permesta tidak kembali terulang.

Pada 1 Januari 1956, Soeprapto ditunjuk sebagai Sekretaris Gabungan Kepala Staf dan kemudian mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) di Bandung. Kariernya terus menanjak hingga Juli 1963, ia dipromosikan menjadi Mayor Jenderal dan ditugaskan sebagai Deputi II Menteri/Panglima Angkatan Darat bidang Administrasi di Jakarta.

Jabatan itu menjadi posisinya hingga akhir hayat.

Sikap Tegas terhadap Ancaman Komunisme

Menjelang tahun 1965, Soeprapto dikenal sebagai sosok tegas dan nasionalis yang menolak keras gagasan “Angkatan Kelima” yang disponsori oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ia juga berperan aktif dalam Seminar MBAD April 1965 yang membahas ancaman komunisme di tubuh militer, yang kala itu bertentangan dengan pandangan Presiden Soekarno.

Sikap berani dan konsistennya membuat Soeprapto dikenal sebagai perwira yang memegang teguh prinsip, loyal pada negara, dan berkomitmen terhadap kemurnian ideologi TNI sebagai penjaga kedaulatan bangsa.

Gugur dalam Peristiwa G30S/PKI

Pada malam 30 September 1965, Soeprapto sedang berada di rumahnya di Jalan Besuki Nomor 9, Menteng, Jakarta. Karena sakit gigi, ia belum bisa tidur dan memilih melukis serta membuat sketsa rencana pembangunan rumah sakit tentara.

Sekitar pukul 01.00 dini hari, pasukan Cakrabirawa datang dengan alasan Presiden Soekarno memanggilnya. Tanpa curiga, Soeprapto mengikuti pasukan tersebut dan dibawa pergi bersama enam perwira tinggi TNI AD lainnya menuju Lubang Buaya.

Malam itu juga, mereka ditembak mati dan jasadnya dibuang ke dalam sumur tua.

Jenazah Soeprapto baru ditemukan pada 5 Oktober 1965, dan pada hari yang sama, ia dimakamkan secara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Pemerintah kemudian menaikkan pangkatnya secara anumerta menjadi Letnan Jenderal dan menetapkannya sebagai Pahlawan Revolusi melalui Keputusan Presiden No. 111/KOTI/1965.

Pengusulan sebagai Pahlawan Nasional

Nama Raden Soeprapto kembali diusulkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010 dalam kategori “Memenuhi Syarat Diajukan Kembali (2011–2023)” sebagai pahlawan nasional. Meski demikian, pengusulan tersebut bersifat administratif dan tidak mengubah statusnya sebagai Pahlawan Revolusi yang sudah sah sejak 1965.

Kesalahan persepsi kadang muncul karena adanya perbedaan antara gelar Pahlawan Nasional dan Pahlawan Revolusi. Keduanya sama-sama gelar kehormatan negara, tapi dengan klasifikasi berbeda.

Dalam konteks sejarah Indonesia, Raden Soeprapto sudah resmi menjadi Pahlawan Revolusi sejak 5 Oktober 1965, bersama enam perwira tinggi TNI AD lainnya yang gugur di Lubang Buaya.

Editorial Team