Purwokerto Half Marathon: Ketika Euforia Lari Tersandung Tarif Parkir

- Peserta Purwokerto Half Marathon kecewa dengan tarif parkir yang mahal, mencapai Rp5.000 untuk motor dan Rp10.000 untuk mobil.
- Grup WhatsApp Forum Peduli Banyumas mengangkat isu tarif parkir sebagai wajah lemahnya pengelolaan publik di daerah.
- Panitia lomba membenarkan tarif parkir ditentukan oleh mereka, namun Dinas Perhubungan Kabupaten Banyumas menyebut tidak memiliki wewenang terkait pungutan tarif.
Banyumas, IDN Times — Riuh tepuk tangan, deru napas para pelari, dan kilatan kamera mewarnai suksesnya gelaran Purwokerto Half Marathon 2025 yang mulai start di Menara Teratai, Minggu (11/5/2025). Namun, di balik euforia tersebut, muncul suara-suara kecewa yang mengendap di balik layar percakapan grup WhatsApp para peserta.
Bukan soal medali, bukan pula rute lari. Mereka menyisakan rasa geram atas hal yang sepele tapi memalukan yakni tarif parkir. Di antara ribuan pelari yang ikut serta, Saladin, warga Purwokerto, masih menyimpan kekecewaan. Ia harus merogoh kocek Rp5.000 untuk parkir motor dibayar di muka tanpa karcis. “Kok mahal banget mas sampai 5 ribu, ini siapa yang menentukan tarifnya?” ujar Saladin kepada juru parkir di lokasi, yang hanya menjawab dengan senyum kecut.
Cerita serupa datang dari Dika, peserta dari Sokaraja. Ia bahkan mengalami hal yang sama dua kali, saat pengambilan race pack dan hari H lomba. Tak ada petugas yang mengarahkan lokasi parkir, namun pungutan tetap berjalan.
“Saya kaget, parkir tidak diarahkan tempatnya dan mahal banget,” katanya.
Yang paling disayangkan, menurut Dika, adalah sikap para juru parkir yang menjadi garda terdepan. "Sudah mahal, tidak melayani, dan tidak profesional. Ini akan jadi kesan buruk bagi peserta luar kota."keluhnya.
1. Purwokerto kota sejuta parkir

Isu ini tak berhenti pada cerita-cerita pribadi. Grup WhatsApp Forum Peduli Banyumas turut mengangkat topik tersebut. Tokoh masyarakat Banyumas, Yudo F. Sudiro alias Iteng, menyebut fenomena parkir ini sebagai wajah asli dari lemahnya pengelolaan publik di daerah.
“Inilah wajah kita di Banyumas. Parkir harus ditertibkan melalui lelang zona terbuka dan rekrutmen juru parkir yang sah,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa parkir semestinya menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dikelola secara profesional oleh badan khusus. Tanpa itu, julukan “Kota Sejuta Tukang Parkir” akan terus melekat secara negatif.
2. Pembiaran yang sistemik?

Kritik semakin tajam ketika Diana, warga Purwokerto, menyuarakan rasa frustrasinya. “Bundet kalau sudah cerita parkir, kebijakan lamban, pembiaran jalan terus,” katanya.
Pihak panitia lomba akhirnya buka suara. Roni, salah satu panitia Purwokerto Half Marathon, membenarkan bahwa tarif parkir Rp5.000 untuk motor dan Rp10.000 untuk mobil memang ditentukan oleh panitia. Lokasi parkir pun diarahkan secara resmi ke halaman Masjid Seribu Bulan dan Madhank Maning Park. “Sudah dikordinasikan dengan warga sekitar Menara Teratai,” ujar Roni.
Namun, pernyataan ini bertolak belakang dengan keterangan dari Dinas Perhubungan Kabupaten Banyumas. Tomi Luqman Hakim, Kasi Pengendalian dan Operasional, mengatakan bahwa Dishub hanya menunjukkan titik-titik parkir saja.
“Soal pungutan tarif, bukan wewenang kami. Bahkan sebelumnya sudah diingatkan agar tarif jangan tinggi dan disediakan karcis. Tapi ternyata itu tidak dilakukan,” ujar Tomi.
3. Citra yang tergores, perda dilanggar, kepercayaan yang luntur

Abdullah Arif Budiman alias Budi Patriot, anggota DPRD Banyumas dari Fraksi PDN (PAN-Demokrat-Nasdem), menyebut ada pelanggaran Peraturan Daerah (Perda) soal retribusi parkir.
“Pungutan parkir di atas ketentuan perda terus dibiarkan. Ini merugikan masyarakat dan menunjukkan lemahnya pengawasan dinas terkait,” tegasnya. Ia menyebut praktik ini sebagai bentuk pembiaran yang merusak citra pelayanan publik. Kebocoran potensi PAD pun menjadi momok tersendiri.
“Geser sedikit, ada tukang parkir. Dikasih Rp2.000 motor tidak kembalikan. Dikasih Rp5.000 mobil, kembali Rp3.000. Ini akumulasi kekecewaan warga.”
Purwokerto Half Marathon seharusnya menjadi ajang promosi wisata, membangun citra kota, serta menunjukkan kesiapan kota dalam mengelola event besar. Namun parkir justru menjadi noda yang mencoreng keberhasilan acara.
Di tengah semangat sportivitas dan kebugaran, para peserta disambut oleh ironi: parkir mahal, pelayanan amburadul, dan wajah kota yang terasa tak ramah. Apakah ini hanya "luka kecil" dari event besar, atau sinyal bahwa pembenahan sistemik sudah tak bisa ditunda?