Semarang, IDN Times - Sidang kasus dugaan pemerasan yang menyeret nama senior almarhumah dr. Aulia Risma di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip) kembali digelar di Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (10/9/2025). Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah menuntut Zara Yupita Azra, residen senior di PPDS Anestesi Undip, dengan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara atas tindakan pemerasan terhadap juniornya.
Rincian Uang Pemerasan Rp1,9 M Senior PPDS Undip Semarang, Dituntut 1,6 Tahun

Intinya sih...
Zara Yupita Azra dituntut 1 tahun 6 bulan penjara karena memeras Rp1,9 miliar dari 11 residen PPDS Anestesi Undip.
Jaksa menilai tindakan Zara menciptakan tekanan psikologis bagi residen junior dan harus diberantas.
Ketua Program Studi Anestesiologi FK Undip juga dituntut 3 tahun penjara, sedangkan staf administrasi Prodi Anestesiologi dituntut 1 tahun 6 bulan penjara.
1. Rincian uang pemerasan Rp1,9 miliar
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Muhammad Djohan Arifin, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Efrita menyatakan, Zara terbukti melakukan pemerasan mencapai Rp1,9 miliar. Uang itu dipungut dari sekitar 11 residen angkatan 77 untuk berbagai alasan. Mulai dari biaya makan prolong Rp235 juta, kudapan Rp197 juta, kegiatan pisah sambut Rp91 juta, joki tugas Rp86 juta, hingga kebutuhan lain Rp46 juta.
“Masih terdapat Rp1,2 miliar dari total iuran yang belum teridentifikasi penggunaannya,” kata Efrita saat membacakan tuntutan.
Jaksa menilai tindakan Zara tidak hanya sekadar iuran biasa, tetapi dilakukan dengan kekerasan dan ancaman, sehingga menciptakan tekanan psikologis bagi residen junior.
“Perbuatan terdakwa dilakukan secara terstruktur dan masif, menciptakan suasana intimidatif yang menghilangkan kehendak bebas para residen,” tegas Efrita.
2. Zara ajukan pledoi
Efrita menyebut, perbuatan Zara memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 368 ayat 1 KUHP tentang Pemerasan juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP tentang perbuatan berlanjut. Meski demikain, jaksa tetap mempertimbangkan hal-hal yang meringankan.
“Hal yang meringankan, terdakwa dinilai sopan, mengakui kesalahan, serta telah meminta maaf. Namun perbuatannya tetap memberatkan karena menimbulkan rasa takut dan tekanan psikologis di lingkungan pendidikan,” jelasnya.
Dalam tuntutan itu, jaksa menegaskan jika praktik pemerasan dan pungutan liar di lingkungan pendidikan kedokteran harus diberantas. Jaksa kemudian menuntut Zara dengan pidana penjara 1 tahun 6 bulan, dikurangi masa tahanan yang sudah ia jalani.
“Terdakwa seharusnya tidak membiarkan budaya kuasa absolut berkembang di lingkungan pendidikan, karena hal ini menimbulkan rasa takut, keterpaksaan, serta tekanan psikologis yang mencederai dunia akademik,” tegas Efrita.
Zara yang hadir di persidangan tidak menunjukkan banyak ekspresi ketika tuntutan dibacakan. Ia bersama penasihat hukumnya langsung menyatakan akan mengajukan pembelaan (pledoi) pada sidang berikutnya.
“Mengajukan pembelaan,” kata Zara singkat di hadapan majelis hakim.
3. Setoran tanpa dasar hukum
Selain Zara, Ketua Program Studi Anestesiologi FK Undip, Taufik Eko Nugroho--dalam persidangan yang sama--juga dituntut 3 tahun penjara karena terbukti memungut dana operasional pendidikan (BOP) dari para residen sejak 2018--2023, dengan total mencapai Rp2,4 miliar.
Menurut JPU, Tommy U Setyawan, setiap residen diwajibkan menyetor sekitar Rp80 juta tanpa dasar hukum yang sah.
“Perbuatan terdakwa mengakibatkan ketidakberdayaan para residen untuk menolak, karena khawatir berdampak pada evaluasi akademik,” ujarnya.
Kemudian, staf administrasi Prodi Anestesiologi, Sri Maryani, juga ikut diadili. Ia dituntut 1 tahun 6 bulan penjara atas perannya memungut dana dari residen bersama Taufik.
Sidang berikutnya akan digelar dengan agenda mendengarkan pembelaan dari para terdakwa.