Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan Roeslani menyampaikan pidato saat pembukaan Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2025 di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Jumat (10/10). ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin
INDEF menyoroti hilirisasi aluminium yang dinilai masih terjebak di tahap peleburan, meski Indonesia memiliki cadangan bauksit besar. Hambatan utama justru berada pada regulasi yang terfragmentasi, pasokan listrik industri yang belum kompetitif, serta lemahnya integrasi kebijakan pertambangan, energi, dan tata ruang.
“Tanpa grand design nasional bauksit–aluminium, hilirisasi akan terus berjalan parsial dan berisiko tinggi,” demikian temuan INDEF.
Sementara itu, CORE Indonesia membandingkan kebijakan hilirisasi Indonesia dengan Tiongkok, Vietnam, Filipina, Thailand, dan Aljazair. Hasilnya, 70 persen insentif Indonesia masih terkonsentrasi di sektor hulu.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, menekankan pentingnya diferensiasi insentif berbasis kedalaman hilirisasi, seperti yang diterapkan Thailand.
“Kalau ingin industri hilir tumbuh, insentifnya harus lebih besar. Di Thailand, insentif hilir bisa sampai 13 tahun,” ujarnya.
CORE merekomendasikan tiga pilar kebijakan hilirisasi, yakni penciptaan nilai tambah, distribusi manfaat ekonomi yang lebih adil, serta penerapan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).
“Hilirisasi bukan hanya soal nilai tambah, tapi juga keadilan sosial dan meminimalkan dampak lingkungan,” tegas Faisal.