Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi urban farming. (Unsplash/Markus Spiske)

Laju pertumbuhan penduduk di kota-kota besar di Indonesia makin pesat. Salah satunya terjadi di DKI Jakarta. Faktor ekonomi kerap menjadi alasan mereka urbanisasi ke Ibu Kota Negara tersebut.

Secara tidak sadar, pertambahan penduduk berdampak terhadap lingkungan. Sebagai contoh, maraknya konversi lahan terbuka menjadi tempat tinggal serta penurunan kualitas lingkungan akibat polusi dan sampah.

Peningkatan populasi ikut memengaruhi produksi dan tingkat kebutuhan pangan karena keterbatasan lahan sehingga rentan terjadi krisis pangan. Langkah umum untuk mengatasi hal itu adalah dengan mengandalkan suplai pangan dari daerah lain.

Imbasnya, kualitas bahan pangan--seperti sayur dan buah--menurun selama perjalanan karena jaraknya yang jauh dari sumber produksi pangan. Belum lagi permasalahan emisi karbon yang dihasilkan oleh kendaraan-kendaraan berbahan bakar fosil yang mengangkut bahan pangan tersebut.

Pertanian berbasis ruang

Ilustrasi kepadatan lahan di DKI Jakarta. (Unsplash/Voicu Horatiu)

Kondisi tersebut mendorong masyarakat di perkotaan, seperti di DKI Jakarta menerapkan urban farming (pertanian perkotaan) agar bisa memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri.

Menurut Kepala Dinas Ketahanan Pangan Kelautan dan Perikanan (DKPKP) DKI Jakarta, Suharini Eliawati, pembangunan pertanian di wilayahnya sudah tidak bisa lagi dilakukan berdasarkan lahan, melainkan berbasiskan ruang. Ia menilai, urban farming menjadi metode yang efektif dan masyarakat dapat memilih sesuai dengan kemampuan dan keinginan masing-masing, termasuk cara penanaman maupun jenis tanamannya.

"Lahan-lahan di DKI Jakarta sudah beralih fungsi. Makanya berbasis ruang, tidak lahan, karena bisa dilakukan di mana saja, di lantai dua atau tiga (rumah), di rooftop (atap), atau ruang perkantoran. Mampunya (bertani) di wadah atau pot (silakan) atau tempat kaleng cat bekas, silakan saja," katanya saat webinar "Pemanfaatan Ruang Terbuka Perkotaan untuk Urban Farming" melalui saluran Youtube Go JakFarm DKI Jakarta, Jumat (15/10/2021).

Eli menjelaskan, urban farming sanggup menyediakan akses pangan yang lebih segar, sehat, bergizi, dan ramah lingkungan bagi keluarga dan komunitas.

Lebih dari itu, dapat mewujudkan komposisi ruang terbuka hijau (RTH) sebanyak 30 persen, baik untuk publik (20 persen) dan privat (10 persen) sebagaimana amanat dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur.

Salah satu warga DKI Jakarta yang menjalankan urban farming adalah Utari. Ibu rumah tangga yang tinggal di Pondok Labu, Jakarta Selatan itu memanfaatkan pekarangan rumahnya yang berukuran 1x6 meter untuk menanam berbagai tumbuhan. Mulai dari jahe, kencur, cabai, pandan, bidara, jeruk lemon, sirsak, belimbing, dan belimbing wuluh.

"Lahan di rumah ya sempit. Karena saya suka menanam, ya bisa-bisa saja caranya untuk menanam. Misal di pot untuk kencur dan jahe, cabai juga. Jadi kalau butuh buat masak tinggal ambil," katanya kepada IDN Times melalui sambungan telepon, Rabu (2/3/2022).

Aktivitas urban farming sudah dilakukan Utari sejak melajang dan berlanjut ketika ia menikah dengan Sulistio (40) delapan tahun lalu. Ia mengakui, kegiatan urban farming secara tidak langsung membantu perekonomian rumah tangganya karena kebutuhan sayur-mayur, buah, atau apotek hidup dapat terpenuhi secara mandiri sehingga menghemat pengeluaran untuk komoditas-komoditas tersebut.

"Pastinya iya (menghemat pengeluaran). Aku mikirnya, daripada aku beli cabai, katakanlah 6 biji seharga Rp5 ribu, lebih baik menanam, tinggal petik cabai di pot. Lebih segar dan tinggal pakai sesuai kebutuhan. Kencur juga, tinggal congkel di pot. Kalau bisa menanam sendiri, kenapa harus beli," ujarnya yang lahir di Depok, Jawa Barat.

Tidak ada alokasi khusus membeli tanaman

Editorial Team

Tonton lebih seru di