Wapres terpilih, Gibran Rakabuming Raka. (IDN Times/Larasati Rey)
Seperti diketahui, Indonesia memang memiliki sejarah panjang yang dibentuk oleh struktur sosial hierarkis karena menjadi bagian dari warisan sistem kerajaan dan feodalisme masa lalu. Meski kini berstatus republik, jejak-jejak sosial tersebut masih memengaruhi berbagai aspek kehidupan.
Pada masa kerajaan, stratifikasi sosial berbasis kasta menciptakan struktur masyarakat yang terpolarisasi, dan pengaruhnya masih terasa hingga saat ini. Budaya patronase dan nepotisme, seperti hubungan patron-klien dan distribusi keuntungan kepada kerabat dekat, tetap menjadi ciri dalam politik modern Indonesia.
Ketimpangan akses terhadap pendidikan dan ekonomi terus memperkuat hierarki sosial itu sehingga menciptakan hambatan signifikan terhadap mobilitas sosial. Budi menekankan, relasi kuasa dan struktur kasta sosial di Indonesia tidak akan mudah dihilangkan tanpa adanya reformasi struktural dan perubahan budaya yang mendasar.
"Warisan sejarah dan budaya ini begitu melekat dalam kehidupan kita. Upaya kolektif sangat diperlukan untuk mendorong perubahan," ungkapnya.
Indonesia bukan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menghadapi tantangan terkait relasi kuasa dan struktur sosial yang tidak setara. Di Thailand, sistem monarki yang kuat mendukung keberlangsungan hierarki sosial yang ketat. Malaysia, melalui kebijakan berbasis etnis, memberlakukan stratifikasi sosial yang memprioritaskan kelompok tertentu. Sementara itu, Filipina menghadapi kendala politik dinasti yang kuat dan ketimpangan ekonomi yang tajam.
"Kita berada dalam posisi yang unik. Demokrasi kita cukup dinamis, tetapi masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan," kata Budi.
Dalam beberapa hal, ia mengakui jika Indonesia telah lebih maju dalam proses demokratisasi, namun tantangan seperti korupsi dan nepotisme tetap menghambat perkembangan menuju masyarakat yang lebih egaliter. Situasi itu tercermin dalam perilaku birokrasi dan politik yang kerap menunjukkan warisan budaya feodal, di tengah pelembagaan politik yang belum terkonsolidasi dengan baik.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof Jimly Asshiddiqie menyebutkan, meskipun Indonesia adalah negara hukum (rule of law), kenyataannya sering kali negara lebih dipengaruhi oleh siapa yang memimpin, bukan oleh aturan hukum.
“Dalam negara modern, aturan hukum seharusnya menjadi yang utama, sedangkan pemimpin (atasan) adalah role model yang tunduk pada aturan tersebut. Jadi bukan berdasarkan aturan tapi berdasarkan atasan” katanya saat ceramah Etika dan Integritas Kepemimpinan di ASN Corporate University Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI, Jakarta, Kamis (25/4/2024).
Oleh karena itu, Jimly menambahkan, birokrasi di Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar untuk memastikan bahwa kebijakan dibangun di atas dasar rule of law, bukan rule of man. Selain itu, untuk memutus rantai warisan feodal dan memperkuat pelembagaan politik, penting pula diterapkannya rule of ethics—suatu sistem kaidah atau norma yang mengatur perilaku ideal dalam kehidupan bersama, termasuk norma agama, etika, dan hukum.
Ketiga norma tersebut harus berjalan beriringan untuk membangun integritas kepemimpinan yang kokoh di Indonesia.
**Artikel berbasiskan data jurnalisme ini disusun oleh Bandot Arywono dan Dhana Kencana.