Semarang, IDN Times - Gubernur Akademi Kepolisian (Akpol), Irjen Pol Midi Siswoko, mengajak para Perwira Siswa (Pasis) Akpol untuk membangun kembali integritas dan kepercayaan publik terhadap Polri dengan belajar dari Filsafat Kamera. Pesan tersebut disampaikan dalam acara Penyamaan Persepsi Dewan Penguji dan Pembimbing Tugas Akhir Manuskrip Pasis Akpol 57/Batalyon Adhi Wiratama, di Auditorium Paramartha Akpol, Semarang, Senin (20/10/2025).
Taruna Akpol Semarang Diminta Belajar Moral dari Filsafat Kamera

Intinya sih...
Kamera adalah metafora moral
Ada 3 unsur kamera yang harus dipelajari
Setiap Polisi adalah berita
1. Kamera adalah metafora moral
Dalam presentasinya berjudul Manajemen Media dan Tugas Kepolisian: Filsafat Sebuah Kamera, Midi menjelaskan, citra Polri kini tidak hanya dibentuk di lapangan, tetapi juga di ruang digital. Kamera publik menjadi saksi setiap tindakan polisi, sehingga setiap perwira harus mampu menjaga integritas di hadapan jutaan kamera masyarakat.
“Kamera hanya merekam cahaya. Kalau yang kita pancarkan adalah integritas, maka hasilnya akan tetap terang, meski direkam dari ruang yang gelap,” katanya dalam keterangan resmi yang diterima IDN Times, Selasa (21/10/2025).
Menurutnya, kamera adalah metafora moral. Ia tidak pernah berbohong, tetapi bisa salah arah; merekam yang tampak, namun sering lupa pada konteks.
“Begitulah media. Kadang adil, kadang tidak. Karena itu, tugas polisi adalah memastikan dirinya selalu layak difoto dari sudut mana pun,” lanjutnya.
2. Ada 3 unsur kamera yang harus dipelajari
Midi memaparkan tiga prinsip utama dalam Filsafat Kamera yang harus dimiliki setiap perwira, yakni Lensa (Perspektif), Aperture (Transparansi dan Kecepatan), dan Fokus (Integritas dan Konsistensi). Adapun, penjelasannya sebagai berikut:
Lensa melambangkan perspektif. Polisi dan publik sama-sama memiliki cara pandang berbeda terhadap realitas.
“Masalah muncul karena polisi jarang berusaha memahami fokus orang lain. Publik tidak melihat polisi sebagaimana polisi melihat dirinya, tetapi sebagaimana mereka mengalami polisi dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Midi.
Aperture menggambarkan pentingnya keseimbangan antara keterbukaan dan kehati-hatian dalam berkomunikasi.
“Transparansi tidak berarti membuka semua hal, tetapi memberi cukup cahaya agar publik tetap percaya,” tegasnya.
Fokus berarti menjaga moral dan integritas. Kamera secanggih apa pun tidak berguna jika fokusnya kabur.
“Begitu pula jabatan dan teknologi seorang perwira tak berarti kalau fokus moralnya goyah,” katanya.
Midi menekankan, kecepatan informasi Polri tidak hanya diukur dari teknologi, tetapi juga tingkat kepercayaan publik terhadap sumbernya.
“Polri tidak harus berbicara paling cepat, tetapi harus berbicara paling bisa dipercaya,” ujarnya.
3. Setiap Polisi adalah berita
Midi mengingatkan, di era digital, setiap tindakan polisi bisa menjadi berita.
“Hari ini setiap orang adalah jurnalis, setiap ponsel adalah kamera. Karena itu, jadilah perwira yang paham cara bekerja cahaya. Jangan bersembunyi dari kamera, tapi pastikan kamera mana pun menangkap karakter dan ketulusan kalian,” pesannya.
Ia menutup paparannya dengan menegaskan bahwa kekuatan Polri bukan pada kemampuan mengontrol media, melainkan kemampuan membangun makna yang dipercaya publik.
“Keindahan bukanlah hasil pencitraan, tetapi pantulan karakter. Kamera tidak punya hati, tapi operatornya punya. Dan dalam kepolisian, operator itu adalah nurani,” pungkasnya.
4. Media sosial dan tantangan komunikasi Polri
Sementara itu, Konsultan Komunikasi Strategis, AM Putut Prabantoro dalam paparannya Redefining dan Manajemen Media menegaskan, kepercayaan publik terhadap Polri hanya akan tumbuh jika Tri Brata dan Catur Prasetya dilaksanakan tanpa kompromi.
Menurutnya, pusat kekuatan atau center of gravity Polri terdapat dalam Tri Brata butir kedua dan Catur Prasetya butir ketiga, yakni:
“Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta Menjamin kepastian berdasarkan hukum. Kebenaran itu seperti singa--ia tidak perlu dibela, karena ia akan membela dirinya sendiri. Kebenaran yang ditegakkan akan melahirkan kepercayaan, dan dari kepercayaan itulah citra Polri terbentuk,” ujar Putut.
Putut mengingatkan, simbol, seragam, perilaku aparat, serta komitmen penegakan hukum merupakan kekuatan sekaligus potensi sumber masalah bagi citra Polri. Karena itu, komunikasi publik Polri harus dikelola secara profesional di tengah dinamika media sosial dan derasnya arus informasi lintas generasi.
Menurutnya, keberhasilan manajemen media Polri bergantung pada kemampuan mengelola isu, konten, dan konteks pesan di berbagai platform digital seperti YouTube, Instagram, TikTok, hingga podcast.
“Polri punya semua modal--sumber daya manusia (SDM), jaringan, teknologi, dan finansial--untuk membangun konten yang sesuai konteks dan menciptakan tone positif di media sosial,” jelasnya.
Ia juga menyoroti bagaimana komentar netizen kini dapat membentuk opini publik secara ekstrem.
“Jempol netizen hari ini lebih tajam daripada guillotine. Sebuah komentar bisa memengaruhi persepsi jauh dari konteks aslinya,” ujarnya.
Oleh karena itu, Polri perlu terus memperkuat strategi komunikasi digital dengan pendekatan yang cerdas, etis, dan transparan, agar pesan yang disampaikan tidak hanya informatif tetapi juga menumbuhkan empati publik.