Semarang, IDN Times - Pemerintah Kota Semarang melakukan terobosan inovatif untuk penanganan sumbatan saluran di kawasan Simpang Lima. Upaya yang dilakukan dengan menguji coba teknologi GPS Drifter atau bola pelacak ber-chip GPS untuk memetakan titik sumbatan drainase yang selama ini sulit terdeteksi secara visual.
Teknologi Bola GPS Dipakai untuk Deteksi Sumbatan Drainase di Semarang

Intinya sih...
Pemerintah Kota Semarang menggunakan teknologi GPS Drifter untuk deteksi sumbatan drainase di Simpang Lima.
Teknologi ini memungkinkan pemetaan titik sumbatan yang sulit terdeteksi secara visual.
Inovasi ini merupakan upaya penanganan sumbatan saluran yang inovatif dan efektif.
1. Mitigasi bencana sebelum hujan ekstrem
Wali kota Semarang, Agustina Wilujeng mengatakan, langkah ini bagian dari mitigasi bencana sebelum hujan ekstrem datang.
“Sebab, kalau Simpang Lima banjir, warga tidak bisa menikmati ruang publik dengan nyaman. Maka kami mencari tahu, apa penyebab banjir itu,” ungkapnya, Selasa (16/12/2025).
Teknologi drifter digunakan dengan cara menghanyutkan bola GPS ke dalam saluran. Pergerakan bola dipantau melalui perangkat gawai petugas Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kota Semarang. Ketika bola tidak bergerak sesuai estimasi waktu, titik tersebut terbaca sebagai lokasi sumbatan.
"Kami menggunakan semacam bola mainan, dipasang chip GPS, dan dihubungkan ke teman-teman DPU. Dalam durasi setengah jam seharusnya bergerak, tetapi malah berhenti berarti ada kendala di titik itu. Dari situ pasukan katak DPU turun untuk memastikan apa yang menyumbat. Bisa kasur, ban, sampah, atau gundukan sedimen," jelas Agustina.
2. Perluas deteksi ke titik-titik krusial
Selanjutnya, jika ada temuan di lapangan, petugas harus langsung menindaklanjuti saat itu juga. Selain sampah, tim juga menemukan kendala teknis berupa penyempitan "Saluran Gendong" yang tertutup cor beton tebal serta kurangnya jumlah saluran pembuangan menuju sungai.
"Saya sudah minta teman-teman DPU untuk membongkar cor yang menutup saluran dan sebelum 30 Desember, saya izinkan pembuatan saluran tambahan agar air dari hulu cepat mengalir ke sungai," imbuhnya.
Simulasi ini tidak hanya berhenti di satu titik. Agustina berencana memperluas penggunaan metode deteksi ini ke titik-titik krusial lainnya, termasuk area Pandanaran dan Ahmad Dahlan, serta memastikan konektivitas saluran dari hulu ke hilir. Upaya ini dilakukan sekaligus untuk memperbarui peta drainase kota yang sejarah perencanaannya sempat terputus puluhan tahun.
"Penanganan banjir memang dilakukan berlapis. Ada tim-timnya sehingga ketika di Simpang Lima sudah teratasi, tetapi tetap banjir, kami akan tangani hulunya pula. Oleh karena itu ada tim yang menangani hilir, hulu, dan titik-titik lain agar aliran air terkendali," ungkapnya.
3. Ajak masyarakat jaga fungsi sungai
Selain upaya teknis dari pemerintah, dia turut menyoroti pentingnya peran serta masyarakat. Dalam penelusuran tersebut, ditemukan penyalahgunaan fungsi sungai di bawah jembatan yang dijadikan tempat penumpukan barang bekas, yang berpotensi menghambat aliran air. Pada kesempatan itu, Agustina mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bekerja sama menjaga fungsi sungai.
"Kita tidak bisa menghilangkan banjir sepenuhnya. Yang bisa adalah mengendalikan. Kalau dulu orang rindu, banjir ini biasanya sediluk langsung ilang, kok ini dadi suwi? Itulah tantangan kita,’’ terangnya.
Melalui integrasi teknologi, respon cepat di lapangan, dan partisipasi publik, Agustina optimis dapat meminimalisir dampak banjir di pusat kota dan mengembalikan kenyamanan bagi warga dan wisatawan di Simpang Lima.
"Mohon doa restunya mudah-mudahan beres sebab Simpang Lima adalah ikonnya Kota Semarang, dan kami berkomitmen mengembalikan kenyamanan bagi warga maupun wisatawan di area ini," pungkasnya.