Kerbau Kyai Slamet dikarantina di Magangan. (Dok/Humas Pemkot Solo)
Gusti Dipo mengatakan jika kerbau Kyai Slamet pada zaman dulu tidak dikandangkan sepertinya, tetapi kerbau dilepas bebas di Keraton Kasunanan Surakarta, bahkan tak jarang kerbau sampai berjalan di luar daerah Kota Solo. Namun, kerbau tersebut selalu kembali ke keraton dengan sendirinya.
"Ada cerita menarik juga jadi pada saat itu dimana srati atau pawang kerbau ini selalu memiliki wangsit atau bermimpi keberadaan kerbau yang saat itu sedang keluar dari Keraton, jadi srati itu selalu dimimpikan keberadaan kerbau, contohnya srati mimpi kerbau ada di Nyawi nah itu kesana dan kerbaunya benar ada disana lalu digiring ke keraton kembali," jelasnya.
Asal-usul kebo bule sendiri berawal dari masa Pakubuwono II sekitar abad ke-18. Kebo bule ini merupakan pemberian dari Bupati Ponorogo, Kyai Hasan Besari Tegalsari, sebagai hadiah kepada kerajaan.
Momennya kala itu adalah Pakubuwono II berhasil merebut kembali Keraton Kartasura dari tangan pemberontak Pecinan, yang berlanjut dengan hijrahnya kerajaan dari Kartasura ke Sala pada 1745. Pemberian kerbau itu dimaksudkan sebagai pengawal tombak Kyai Slamet.
Kerbau dalam tradisi masyarakat Jawa dianggap lambang rakyat kecil, utamanya kaum petani. Selain itu, hewan ini juga simbol penolak bala karena dipercaya memiliki kepekaan dalam mengusir roh jahat atau menghilangkan niatan buruk.