IDN Times / Febrian Chandra
Dihubungi terpisah, Wakil Adminstratur (Adm) KPH Blora Arif Silvi mengatakan, karena Perhutani berada di bawah kementerian LHK maka pihaknya juga secara konstitusi mendukung kebijakan KHDPK.
"Artinya kita adalah BUMN yang ada di Bawah Kementerian LHK. Sedangkan yang disuarakan para pendemo yakni SK 287 adalah prodak dari kementerian LHK. Jadi secara konstitusi kita mendukung kebijakan itu," ungkapnya.
Namun begitu pihaknya juga mempertimbangkan golongan - golongan yang menolak KHDPK untuk diterapkan. Salah satunya adalah dari LMDH dan Serikat Pekerjaan Perhutani.
"Alasan LMDH menolak masuk akal dan kritis. Mereka khawatir apabila kebijakan ini diterapkan maka akan banyak kawasan hutan yang beralih fungsi menjadi bangunan - bangunan, lahan pertanian dan hutan habis dan menyebabkan bencana alam," katanya.
Sebab luas hutan di Jawa ini hanya 16 persen saja dari total luasan tanah. Apabila program KHDPK ini berjalan maka hanya ada 8 persen yang menjadi lahan hijau.
Kemudian kekhawatiran para karyawan terkait masa depan mereka dan menyebabkan PHK besar - besaran lantaran hampir setengah lahan Pengelolaan Perhutani diambil alih.
Diketahui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengambil alih
wilayah hutan yang dikelola PT Perhutani (Persero) seluas 1,1 juta hektar dari total 2,4 hektar di seluruh Jawa Tengah. Hutan yang diambil tersebut akan dijadikan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).
Pengambilalihan tersebut mengacu pada Keputusan Menteri LHK (Kepmen) bernomor
SK287/MENLHK/Setjen/PLA.2/4/2022 tentang Penetapan KHDPK pada sebagian hutan negara yang berada pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten. Kepmen tersebut ditandatangani oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya pada 5 April 2022.
Dalam perjalanannya muncul golongan pro dan kontra terkait kebijakan itu. Salah satunya Serikat Karyawan Perhutani dan sebagian LMDH menolak KHDPK diterapkan.