Unpad dan ITB Adu Gagasan Soal Kurikulum Pendidikan Perubahan Iklim

Semarang, IDN Times - Tim Universitas Padjajaran dan Institut Teknologi Bandung (ITB) beradu gagasan soal pendidikan perubahan iklim menjadi kurikulum wajib di sekolah pada Liga Debat Mahasiswa 2025, Rabu (14/5/2025).
Debat mahasiswa dari dua perguruan tinggi di Jawa Barat itu sekaligus membuka kompetisi Liga Debat Mahasiswa yang diselenggarakan dalam rangka HUT Ke-11 IDN Times.
Debat dimoderatori oleh jurnalis IDN Times, Arifin Al Alamudi dan turut menilai tiga panelis di antaranya Outreach and Advocacy Manager Yayasan Indonesia Cerah, Ari Rostika Utami; Policy Analyst Manager New Energy Nexus, Enda Grimonia; Pendiri Ecological Observation and Wetlands (ECOTON), Prigi Arisandi.
1. Kondisi iklim di Indonesia sudah cukup parah
Debat perdana babak penyisihan ini mengusung tema “Pendidikan Perubahan Iklim Dijadikan Kurikulum Wajib di Seluruh Jenjang Pendidikan di Indonesia”. Masing-masing tim berargumen dan saling sanggah terkait pro kontra pendidikan perubahan iklim di kurikulum wajib di sekolah.
Tim Unpad diwakili oleh Muhammad Fathan Insanulkamil, Muhammad Rafi Hidayat, Natau Lasniroha Sinaga. Sedangkan, tim ITB diwakili oleh Krisna Nur Wahidin, Ahza Asadel Hananda Putra.
Muhammad Rafi Hidayat, mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Jurnalistik Unpad menyampaikan, bahwa pendidikan perubahan iklim di sekolah formal merupakan solusi dari masalah iklim yang selama ini terjadi.
“Pada dasarnya kondisi iklim di Indonesia sudah cukup parah. Hal itu dapat dilihat dari bencana banjir bandang Sukabumi yang baru saja terjadi, kenaikan air laut yang terjadi di Jakarta dan Pesisir Pantai Pulau Jawa, perubahan pola musim dengan munculnya anomali. Ketiga itu fenomena yang sudah terjadi di Indonesia dan menelan banyak korban,” katanya.
2. Pendidikan perubahan iklim jangan jadi beban
Maka itu, lanjut dia, pendidikan perubahan iklim harus diterapkan mulai dari sekolah formal. Sebab, hampir seluruh masyarakat di Indonesia bisa mendapatkan pendidikan formal.
“Dari situ bisa menumbuhkan kesadaran. Pada Oktober 2024, Badan Standar dan Asesmen Pendidikan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi sudah merancang kurikulum yang memasukan pengajaran perubahan iklim,” ujarnya.
Optimistis pendidikan perubahan iklim bisa berdampak positif bisa dipelajari dari langkah Kamboja yang pada tahun 2020, menerapkan itu di 15 sekolah percobaan dan hasilnya sekitar 85 persen berhasil. Penerapan itu juga dilakukan oleh Argentina dan Brasil melalui metodologi basic learning dan studi kasus.
Senada sebagai tim pro, Fathan dari Unpad juga menyampaikan, memasukkan pendidikan perubahan iklim di kurikulum tidak bisa dijadikan beban bagi guru maupun siswa, karena realita yang ada siswa memerlukan pendidikan tersebut.
3. Pendidikan perubahan kurikulum cukup disisipkan ke mapel
“Pendidikan perubahan iklim tidak perlu menambah mata pelajaran baru, cukup menyisipkan ke mata pelajaran yang sudah ada seperti IPA, IPS, Bahasa Indonesia dan lainnya,” katanya.
Pendapat dari tim Unpad disanggah oleh tim ITB yang kontra atas pendidikan perubahan iklim di sekolah.
Mahasiswa ITB, Krisna Nur Wahidin mengatakan, menyelenggarakan kurikulum wajib di setiap sekolah negeri atau swasta harus dilengkapi dengan kurikulum, buku ajar, pelatihan guru dan lainnya. Ini artinya setelah siswa mempelajari mata pelajaran wajib harus mengalokasikan waktu untuk menambah pelajaran perubahan iklim.
“Dibutuhkan anggaran atau uang untuk menyelenggarakan kurikulum wajib ini. Mulai pengembangan kurikulum baru, pelatihan guru secara nasional, pencetakan buku baru, penyesuain sistem penilaian, evaluasi dan monitoring,” katanya.
4. Tidak ada urgensi mendesak
Selanjutnya, peserta dari ITB, Ahza Asadel Hananda Putra menilai tidak melihat adanya urgensi yang mendesak untuk menambahkan pendidikan perubahan iklim di kurikulum sekolah.
“Memaksakan memasukkan pendidikan perubahan iklim ke kurikulum seperti membeli kucing dalam karung. Artinya, keberhasilan dari pendidikan ini masih tak ada kepastian. Hal itu dipicu dari rendahnya minat baca dari generasi muda,” tuturnya.
Lalu, lanjut dia, pendidikan perubahan iklim sebenarnya sudah pernah dimasukkan ke kurikulum KTSP melalui mata pelajaran lingkungan hidup. Kemudian, pada kurikulum 2013, diintegrasikan ke mata pelajaran IPA dan IPS, kurikulum merdeka program P5 masuk di sana tujuannya mengedukasi perubahan iklim. Apakah berhasil faktanya kesadaran anak sekolah memang cukup tinggi tapi tidak diimbangi dari perubahan iklim yang lebih baik.
5. ITB menang dari Unpad dalam babak penyisihan
Pendapat dari ITB kembali disanggah tim Unpad, Rafi menyampaikan, dirinya cukup bingung dengan yang disampaikan tim kontra.
“Membeli kucing dalam karung, padahal kami sudah mencontohkan di Kamboja berhasil dari 15 sekolah percobaan 85 berhasil. Bagaimana penerapannya perlu proses tapi yang penting sistemnya di pendidikan formal karena paling mudah dijangkau. Kami cukup tidak setuju dan bingung dengan penyampaian tim kontra yang banyak asumsi daripada datas,” katanya.
Perdebatan terus berlangsung sengit dalam tiga sesi. Hingga akhirnya panelis menilai dan mengumumkan hasil bahwa ITB lebih unggul dari Unpad. Sehingga, ITB berhak melanjutkan ke babak selanjutnya.
‘’Kedua tim menunjukkan kekritisan yang disertasi data-data yang valid. Namun demikian, kami harus memilih satu sebagai pemenang untuk melanjutkan ke tahap berikutnya. Dari struktur argumen, statmen yang kritis, kami memberikan nilai 238 untuk Unpad dan ITB 246. Jadi berdasarkan nilai ini ITB berhak melanjutkan ke babak selanjutnya,’’ kata panelis, Prigi Arisandi.