Selain pengerukan material endapan, PT Indonesia Power juga mengatasi persoalan di hulu. Sejumlah program yang digagas untuk mengatasi persoalan ini antara pendampingan masyarakat untuk menanamkan kesadaran peduli lingkungan.
Masyarakat perlahan diajak untuk mengganti pola tanam dari yang semula menanam tanaman cepat panen ke tanaman lain yang lebih mendukung upaya konservasi lahan namun tetap menghasilkan. Mengganti kebiasaan petani nyatanya tak mudah. Upaya pertama untuk mengganti dengan tanaman ekaliptus yang menghasilkan minyak kayu putih tidak berhasil.
Sampai akhirnya pada percobaan tanaman kopi. Kopi dipilih karena memiliki pasar yang besar dan lingkungan yang mendukung. Daerah hulu memiliki ketinggian 1200-an meter di atas permukaan laut, sehingga bisa menghasilkan kopi dengan cita rasa yang unik. ”Kami meyakinkan teman-teman di hulu bahwa ada peluang yang lebih baik, yang menjanjikan secara ekonomi,” kala Slamet.
Setelah tiga tahun, kopi dipanen. Kopi ternyata menjadi komoditi yang bisa menggantikan kentang. Setelah kopi terbukti mampu menjadi mata pencaharian, perlahan, warga mulai beralih ke tanaman kopi.
“Kami tidak sekadar memberi imbauan, tetapi juga melakukan pendampingan, pengolahan, sampai pada pemasaran. Dan hari ini kopi Banjarnegara sudah dikenal luas, bahkan mendunia,” kata dia.
Tak sampai di situ, kolaborasi korporasi dengan Pemkab Banjarnegara juga menghasilkan ahli peracik kopi atau barista. Hingga hari ini, sudah ada lima barista yang bersertifikat Malabar. Secara bertahap, barista akan terus ditambah agar mampu meningkatkan kualitas sajian kopi Banjarnegara. “Barista kami sudah sering diundang untuk memberikan pelatihan di berbagai tempat, dari Jogja, Aceh dan lainnya,” ujar dia.