ilustrasi tindakan kekerasan seksual. (pexels.com/Karolina Grabowska)
A sebagai korban dan Mr X sebagai pelaku adalah dua orang yang saling mengenal. Mereka merupakan mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta. Mr X sebagai senior dari korban.
KBGO terjadi saat keduanya telah menyelesaikan studi dari lembaga pendidikan tersebut. Mr X telah melakukan KBGO sejak tahun 2016 hingga saat ini (April 2024) melalui platform media sosial (medsos) Facebook dan Instagram. Mr X melakukan stalking online kepada korban. Bahkan tidak segan untuk mendatangi rumah korban secara berkala yang membuat para tetangga ikut merasakan tidak nyaman.
Mr X secara konsisten meneror dengan mengirimi pesan seluruh medsos yang dimiliki korban, juga kepada para anggota keluarga korban. Mr X tidak segan juga menyebarkan rumor melalui akun pribadinya maupun obrolan langsung dengan orang-orang yang dikenalnya dengan menggunakan foto A.
Mr X menyatakan bahwa ia adalah korban dari A dan orang-orang di sekitar A yang menyebabkan kandasnya hubungannya bersama A. Mr X juga membuat rumor bahwasanya A telah menikah siri dengan laki-laki lain dan memiliki anak dengan laki-laki yang berbeda. Padahal dalam kenyataannya, A tidak pernah menjalin hubungan dengan Mr X.
Merespons rumor tersebut, dalam waktu bersamaan pula, A mengklarifikasi yang justru membuat Mr X makin menggila merespons balik respons A.
Ilustrasi kasus pelecehan seksual pada anak (Ilustrasi/IDN Times)
A mengatakan, hal tersebut Mr X lakukan atas tuntutan atau hasrat untuk memiliki hubungan atau status yang ia inginkan bersama A. Tentunya, apa yang Mr X lakukan membuat A merasa marah dan mual.
Awalnya, A mendiamkan KBGO yang dialaminya. Saat mulai merasa tidak nyaman, ia mencoba berbicara pada keluarganya. Respons para keluarga tentu marah kepada Mr X. Namun mereka lebih fokus memikirkan untuk menindak Mr X daripada menenangkan A.
Mengantisipasi tindakan Mr X yang makin menjadi-jadi, A memblokir setiap akun baru dari Mr X. A pun mengganti user media sosial Instagramnya setiap dua minggu sekali.
Selain melakukan KBGO kepada A, obsesi untuk memiliki hubungan bersama A juga dilakukan Mr X dengan mengiriminya mantra-mantra penarik hati. Mengatahui hal itu, Sang Ayah dari A yang kebetulan pemuka agama memberikan A doa penangkal doa-doa buruk yang tidak diinginkan.
Secara lahir, doa tersebut merupakan doa penyerahan diri seorang hamba yang lemah kepada Tuhannya untuk melindunginya dari hal-hal yang seluruhnya berada dalam kuasa-Nya. A mengakui, pernah ada satu waktu tindakan Mr X sungguh tidak dapat ditolerir kembali, sehingga A dan keluarga berencana melaporkan Mr X kepada aparat penegak hukum.
Rencana tersebut urung dilakukan karena A dan keluarga mencoba untuk menempuh jalur kekeluargaan terlebih dahulu. Keluarga korban mencoba berkomunikasi dengan keluarga Mr X dan perangkat desa tempat Mr X tinggal.
Langkah tersebut nyatanya ampuh untuk mengendalikan dan mengontrol Mr X untuk mengurangi intensitas melakukan KBGO kepada A. Walaupun telah menempuh langkah demikian, dalam waktu-waktu yang tidak diketahui, Mr X masih melakukan KBGO secara berulang.
Secara realita, kondisi telah berpihak kepada A. Meski demikian, A masih merasa khawatir, karena beberapa teman-temanya masih mendapati status-status Mr X yang meresahkan dan selalu menyangkut atau menyebutkan nama A dan orang-orang terdekat A.
A mengakui, walaupun langkah-langkah preventif dan kuratif telah dilakukan, tidak menghilangkan rasa khawatir yang masih menghantuinya. A hanya dapat berserah kepada Tuhan, sebagaimana ucap A, ”Pelaku mengantongi identitas ‘orang gila,’ sehingga secara hukum tidap bisa ditindak. Hanya dapat mendoakan agar segera sadar dan bertobat.”
A dengan senang hati membagikan kisahnya untuk diketahui banyak orang. A berharap, pengalamannya yang tersampaikan itu, tercipta keamanan siber yang tanggap dalam menerima aduan masyarakat. Lebih dari itu ikut memfasilitasi penggunaan media daring dengan informasi asli, tidak anonim, yang terdaftar resmi untuk memudahkan aparat penegak hukum dalam menindak pelaku. Harapannya, masyarakat bisa bersama-sama memiliki kesadaran dalam memberikan sanksi sosial yang besar kepada pelaku, bukan kepada korban.