IDN Times/Teatrika Handiko Putri
Ancaman kerawanan pemilu semakin membayangi tatkala kita mengingat bagaimana perselisihan antara KPU dan Bawaslu di awal penyelenggaraan tahapan pendaftaran dan verifikasi partai politik. Bawaslu mengaku tidak mendapat akses untuk mengawasi pendaftaran dan verifikasi administrasi partai politik melalui Sipol. Keluhan itu masih disampaikan Bawaslu bahkan setelah KPU menetapkan partai politik peserta Pemilu 2024.
Dari sini tampak bahwa keharmonisan antara kedua lembaga penyelenggara pemilu ini belum kukuh sebagaimana seharusnya. Tantangan-tantangan kerawanan pemilu ini sesungguhnya dapat dijawab oleh dua bersaudara penyelenggara pemilu ini dengan duduk bersama untuk kemudian bergotong royong sesuai dengan tugas, kewenangan, dan kewajibannya.
KPU dan Bawaslu harus melakukan apa yang mereka sebut dalam program-program yang banyak mereka giatkan beberapa pekan ini yaitu konsolidasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan konsolidasi sebagai kata benda yang berarti perbuatan (hal dan sebagainya) memperteguh atau memperkuat (perhubungan, persatuan, dan sebagainya).
Meskipun kata benda, perbuatan adalah hal aktif yang diperbuat atau dikerjakan. Artinya, bagi KPU dan Bawaslu, konsolidasi adalah kata kerja aktif yang harus digiatkan terus, bukan hanya pada saat kegiatan konsolidasi (nasional) diselenggarakan, namun juga selama tahapan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 diselenggarakan. Konsolidasi tidak cukup hanya dilakukan pada lingkup internal masing-masing saja. Konsolidasi harus dilakukan di antara keduanya, KPU dan Bawaslu.
Keduanya perlu menjaga profesionalismenya dalam menyelenggarakan pemilu. Pun, keduanya harus saling menjaga dalam kebaikan.
Kenthongan bahaya yang dibunyikan melalui IKP Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 sudah dibunyikan, semuanya harus bangun. Dan yang seharusnya paling utama dan pertama bangun adalah KPU dan Bawaslu. Bangun, berdiri tegak beralaskan undang-undang dan kode etik penyelenggara pemilu, serta bekerja agar apa yang tertuang di dalam IKP tidak menjadi kenyataan.
Eri Nofianto
Mahasiswa Magister Ilmu Politik
Universitas Diponegoro Semarang