Investasi Teknologi Desa Cerdas Krandegan: Dari IoT sampai Chatbot AI

- Desa Cerdas mendorong pembangunan berbasis teknologi tepat guna dan penerapan SDGs.
- Jumlah Desa Mandiri di Indonesia meningkat signifikan, didorong oleh program Dana Desa dan alokasi Rp71 triliun pada tahun 2025.
- Desa Krandegan berhasil menerapkan chatbot AI, IoT untuk pertanian, infrastruktur digital fisik, dan BUMDes sukses berkembang dengan menjual aplikasi layanan desa.
Desa merupakan bagian penting dari sistem pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, per 26 Februari 2025 terdapat 84.048 desa yang tersebar di 38 provinsi, mulai dari Sabang hingga Merauke.
Untuk memperkuat peran desa agar memajukan dan menyejahterakan warganya, Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam Pasal 78 undang-undang tersebut ditegaskan juga bahwa pembangunan desa harus berlandaskan pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), melalui pengimplementasian konsep Desa Cerdas (Smart Village).
Konsep Desa Cerdas menekankan pada pembangunan desa berbasiskan penerapan teknologi tepat guna, sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik lokal. Melalui penerapan teknologi tersebut, desa dapat berinovasi dan melakukan terobosan yang mendorong tercapainya kemandirian desa, sesuai dengan kriteria Desa Mandiri yang ditetapkan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendesa PDT). Yakni, desa yang memiliki skor Indeks Desa Membangun (IDM) di atas 0,815.
Hingga Oktober 2024, jumlah Desa Mandiri di Indonesia sudah mencapai 17.203 desa. Jumlah itu meningkat signifikan dibandingkan tahun 2023 yang hanya sekitar 11.456 desa.
Peningkatan tersebut salah satunya didorong oleh program Dana Desa, yang sejak 2015 hingga 2024 telah dikucurkan sebesar Rp609,68 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dana tersebut dialokasikan khusus untuk pengembangan ekonomi dan infrastruktur desa.
Pada tahun 2025 saja, alokasi Dana Desa mencapai Rp71 triliun, menyasar 75.259 desa di 434 kabupaten/kota se-Indonesia.

Salah satu contoh keberhasilan penerapan Desa Cerdas adalah Desa Krandegan, di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Desa seluas 800 hektare (ha) itu telah menyandang status Desa Mandiri, dengan skor IDM mencapai 0,8563.
Keberhasilan tersebut tidak lepas dari kepemimpinan Kepala Desa Dwinanto, yang konsisten mendorong transformasi digital di desanya. Ia mengadopsikan sistem informasi untuk desa, hingga mendigitalisasi layanan kependudukan yang aman, nyaman, dan ramah bagi warga desa.
Terbaru, pada Februari 2025, ia memperkenalkan chatbot desa berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang dapat diakses melalui tiga kanal. Yakni lewat WhatsApp (+6282241499890), laman resmi www.krandegan.id, dan aplikasi di perangkat Android bernama Sipolga.
Chatbot tersebut aktif 24 jam yang memungkinkan warga bertanya kapan pun dan apa pun tentang desa. Mulai dari informasi profil desa, layanan administrasi kependudukan, hingga status surat dan pendaftaran layanan publik. Bahkan saat perangkat desa sedang tidak aktif atau sibuk, chatbot tetap memberikan layanan secara real-time.
Inovasi itu mendapat respons positif, setelah beroperasi kurang lebih empat bulan terakhir. Berdasarkan dashboard internal desa, terdapat ratusan pengguna yang mengakses layanan chatbot tersebut setiap hari, baik dari dalam maupun luar desa.
“Ini sangat membantu kami sebagai warga. Saya kerja di luar kota, tapi tetap bisa mengurus surat dari rumah. Gak perlu (harus) balik (pulang) ke desa. Hemat waktu dan biaya,” ujar Rina, salah satu warga Desa Krandegan.

Keberhasilan inovasi chatbot AI di Desa Krandegan berawal dari kebutuhan sehari-hari. Dwinanto mengatakan, ide tersebut muncul saat melihat banyaknya warga yang menghubungi perangkat desa melalui pesan singkat atau telepon untuk menanyakan informasi atau mengurus berbagai keperluan administrasi.
"Awalnya, karena sering menerima chat dari warga ke HP (handphone) perangkat desa, menanyakan soal KTP hilang, mau urus KK, minta surat, atau sekadar tanya prosedur," akunya kepada IDN Times, Rabu (25/6/2025).
Dengan keterbatasan sumber daya manusia (SDM) perangkat desa, Dwinanto menyadari perlunya solusi teknologi untuk mengatasi tantangan itu.
“Tapi karena perangkat desa terbatas dan gak semua orang bisa standby 24 jam, saya berpikir kenapa gak pakai teknologi saja?” imbuhnya.
Saat ditanya soal biaya, Dwinanto menegaskan inovasi digitalnya tidak mahal. Baginya, salah satu prioritasnya adalah penguatan digitalisasi desa, sebagaimana arahan dari Kemendesa PDT.
“Chatbot AI yang terkoneksi dengan semua ekosistem dan infrastruktur digital (biaya) semuanya tidak sampai Rp5 juta. Karena kami (di pemerintah desa) punya tim IT sendiri, anak-anak desa yang kuliah di bidang teknologi, kami libatkan mereka juga,” akunya.
Untuk diketahui, Dana desa yang diterima Desa Krandegan tahun 2025 mencapai Rp1,6 miliar, dan hampir Rp100 juta dialokasikan Dwinanto secara khusus untuk mendigitalisasi layanan publik di desanya.
"Bagi saya, kalau Dana Desa cuma untuk membangun jalan, lima tahun lagi perlu perbaikan lagi dan berulang. Tapi kalau kita membangun sistem digitalisasi, dampaknya ke sumber daya manusia (SDM). Mereka (warga desa) menjadi lebih melek teknologi dan bertambah literasinya, itu investasi jangka panjang," tegasnya.
Layanan yang terkoneksi

Inovasi teknologi di Desa Krandegan rupanya sudah berkembang sejak tahun 2020, atau saat pandemik COVID-19. Mereka sudah memanfaatkan Internet of Things (IoT) untuk pertanian, dengan membuat pompa irigasi tenaga surya yang bisa dikontrol melalui HP dan alat pengusir burung digital berbasis sensor suara.
"Dulu, petani habis sekitar Rp800 ribu per hari buat diesel irigasi. Dengan pompa tenaga surya 18.800 watt, biaya hampir nol rupiah. Air jalan, petani senang, dan lingkungan juga lebih bersih, tidak tercemar. Untuk alat pengusir burung memancarkan frekuensi tertentu yang tidak disukai burung, tapi sensor tetap aman bagi manusia," imbuh Dwinanto.
Pria kelahiran Jakarta, 5 Juli 1979 itu ikut membangun infrastruktur digital fisik. Desa Krandegan kini dikelilingi jaringan fiber optik 100 persen, hasil kerja sama dengan provider swasta dan didanai sebagian dari Dana Desa.
"Kita sudah bangun backbone internet sendiri. CCTV sudah terpasang, ada sistem peringatan banjir (Early Warning System/EWS) yang online, bahkan warga bisa akses pantauan sungai dan jalan dari rumah. CCTV dan EWS dilengkapi dengan panic button, tombol darurat jika terjadi pencurian, kebakaran, atau bencana. Seluruh sistem terintegrasi ke dashboard utama desa yang bisa diakses publik melalui krandegan.id," jelas Dwinanto.
Tidak ketinggalan, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Krandegan, yang bernama Karya Muda, sukses berkembang dengan menjual jasa pembuatan aplikasi layanan desa ke beberapa wilayah di Jawa Tengah dan Indonesia.
"Mulai 2020, saat pandemi COVID-19, kami membangun sistem digitalisasi ini. Sekarang BUMDes kami sudah bisa beli mobil sendiri dari hasil jual aplikasi, bukan dari Dana Desa. Semua ekosistem dan infrastruktur digitalisasi di sini sudah terkoneksi semuanya, semata hanya untuk kenyamanan warga desa dan inilah bentuk kemandirian yang kami bangun," ujar Dwinanto dengan bangga.

Meski infrastruktur dan teknologi telah tersedia, Dwinanto mengakui tantangan terbesar adalah mengubah pola (mindset) pikir warga desa.
“Masih ada yang lebih nyaman mengurus surat secara manual, padahal lewat HP bisa selesai dalam 15 menit,” ujarnya.
Untuk itu, ia dan perangkat desa rutin mengedukasi, mengadakan pelatihan dan sosialisasi, serta melibatkan warga untuk mengenalkan, bagaimana cara menggunakan, dan memanfaatkan chatbot AI, juga layanan lainnya.
Hasilnya, Dwinanto menyebutkan, dari 900 Kepala Keluarga (KK), tercatat sudah 800 KK yang mengunduh dan menggunakan aplikasi Sipolga milik Pemdes Krandegan.
“Sekarang semua rumah hampir sudah punya atau memiliki HP Android. Tinggal bagaimana kita (di pemerintah desa) membangun budaya digital dan meliterasi mereka (warga desa) supaya aman dan nyaman menggunakannya,” ujarnya.
Untuk diketahui, Desa Krandegan berhasil masuk 10 besar Lomba Desa Digital Nasional 2025 yang diadakan Kemendesa PDT, bersaing dengan ribuan desa lainnya dari seluruh Indonesia.
“Digitalisasi bukan soal gaya-gayaan. Ini soal kebutuhan. Kita tidak bisa lagi bertahan dengan mesin ketik dan wesel pos. Teknologi bukan pilihan, tapi sebuah keniscayaan yang harus kita jalani dan hadapi,” tegas Dwinanto.
Dwinanto menegaskan, transformasi Desa Krandegan membuktikan jika inovasi tidak selalu harus datang dari kota besar dan berbiaya mahal. Menurutnya, di tangan yang tepat, Dana Desa bisa menjadi alat perubahan sehingga bukan sekadar anggaran rutin.
Ia optimistis, langkah itu juga menjadi upaya untuk menekan laju urbanisasi yang terus meningkat. BPS mencatat, pada 2023, sebanyak 51--52 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan. Angka itu diperkirakan meningkat menjadi 66,6 persen pada 2035, sementara penduduk desa hanya berkisar 48—49 persen.