[OPINI] Meneguhkan Tradisi Jihad Humanis Santri Millennial

Saatnya menguatkan kembali nilai-nilai Hari Santri Nasional

Memaknai kembali term ‘jihad’ yang lebih bernuansa humanis menjadi salah satu bahasan penting bagi kalangan santri. Pasalnya, melihat kondisi belakangan ini, makna jihad masih cukup kaku di sebagian kelompok yang mengatasnamakan Islam.

Di sisi lain, masih banyak aspek yang belum disentuh oleh santri menghadapi dinamika global yang kian pesat. Reinterpretasi makna jihad inilah yang kemudian sejalan dengan tema Peringatan Hari Santri 2023 dari Kementerian Agama Republik Indonesia.

Melalui sambutan peluncuran tema dan logo Hari Santri (6/10/2023), Menteri Agama, Yaqut Cholil Coumas menyampaikan dua poin penting bagi santri, yakni jihad intelektual dan perhatian terhadap transformasi digital.

Dua isu yang disinggung Gus Menteri dalam momentum Hari Santri 2023, memang urgen untuk dibahas bagi para santri -yang dimaknai oleh Gus Mus- mereka tidak sekadar yang mukim di pesantren, tetapi lebih pada esensi menjiwai karakter ala santri. Pertama, tentang jihad yang relevan dilakukan di era millenial.

Reinterpretasi jihad berangkat dari pemaknaan jihad kelompok jihadis yang eksklusif dan melakukan aksi teror.

Di Indonesia sendiri, beberapa kelompok jihadis yang kerap melakukan aksi teror seperti Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Kelompok lain seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Ketiga kelompok di atas berafiliasi kepada ISIS.

Lalu ada Jemaah Islamiyah (JI) dengan corak fundamentalisme Islam yang masuk dalam jaringan Taliban dan al-Qaeda. Ada lagi Jamaah Ansharut Khilafah (JAK) Nusantara yang muncul pada 2016.

Kasus seperti bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar pada 2021, ledakan bom di Polsek Astana Anyar, Bandung tahun 2022, yang terbilang baru pada 16 Agustus 2023, penangkapan terduga teroris inisial DE sebagai karyawan PT KAI milik BUMN yang sudah baiat dengan ISIS sejak 2014. Laporan dari juru bicara Densus 88, Aswin Siregar, DE mengunggah baiatnya terhadap ISIS dan kerap mengampanyekan jihad di Facebook serta melakukan penggalangan dana jaringan teroris di Telegram.

Meski demikian, laporan terakhir Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan indeks global serangan terorisme di Indonesia turun hingga 56%. Namun penurunan angka ini bukan berarti menganggap remeh ancaman dari gerakan transnasional yang ada.

Kedua, transformasi digital yang sangat pesat. Seperti kasus DE di atas, disrupsi teknologi dimanfaatkan kelompok radikal untuk melancarkan kepentingan kelompoknya. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan, ketika menangkap 24 teroris jaringan MIT Sulawesi pada 2022, mereka menjadi anggota ISIS dengan cara baiat online, via grup WhatsApp.

Perkembangan teknologi informasi juga memengaruhi opini publik sehingga kebenaran menjadi buram (dikenal dengan istilah post-truth). Marak pula di dunia digital, seperti cyberbullying, hoax, perjudian online, penipuan online, kebocoran data dan dokumen, dan kasus kejahatan digital lainnya. 

Berbagai isu penting tersebut menjadi tantangan yang harus disikapi secara arif oleh santri. Oleh karenanya, sangat tepat di momentum HSN tahun ini, Gus Yaqut mendorong santri agar giat berjihad intelektual dan keteladanan di era transformasi digital. Peluang santri tentu terbuka lebar di sini, dengan catatan kesiapan dan kemapanan membaca zaman.

Baca Juga: 10 Barang yang Wajib Dipersiapkan Santri Sebelum Masuk Pondok

Jihad Intelektual di Era Digital

[OPINI] Meneguhkan Tradisi Jihad Humanis Santri MillennialRektor UIN Walisongo Semarang Prof Imam Taufiq saat memimpin acara ziarah ke Makam Kiai Soleh Darat di kompleks TPU Bergota. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Term jihad di khazanah keilmuan (turats) santri, memiliki beragam makna. Memang, ada konotasi jihād fī sabīlillāh dengan menjadi pasukan di medan perang. Namun para santri lebih akrab memaknai kata jihad dengan kesungguhan dari akar kata ja-ha-da, di mana menurut Ibnu Faris dalam Mu’jam al-Maqāyīs fi Lugāh secara bahasa berarti sukar, sulit, letih dan makna lainnya yang ada kemiripan.

Kesungguhan dalam menjalankan segala hal yang berorientasi pada Allah, bukan perkara yang mudah, butuh perjuangan, dan melelahkan. Oleh karenanya, santri biasanya lekat dengan tradisi riyadhah (riyalat), yakni segala proses yang dilakukan dengan kesungguhan dan menjadikan pribadi yang lebih baik.

Pesantren masih relevan sebagai agent of moderation

[OPINI] Meneguhkan Tradisi Jihad Humanis Santri MillennialRektor UIN Walisongo Semarang, Prof Imam Taufiq. (IDN Times/Dokumentasi pribadi)

Para santri ketika mendiskusikan tentang jihad dengan cara meresepsi makna Surat at-Taubah ayat 122. Santri menyematkan diri sebagai golongan yang total dan loyal memperdalam ilmu pengetahuan agama (tafaqquh fid dīn), digembleng di dalam suasana lahir batin yang terkoneksi dengan guru. Tradisi keilmuan yang orisinal dari transmisi ilmu pengetahuan (muatan sanad), ditambah ta’alluq (hubungan) antara santri dengan kiai-nyai yang membentuk karakter, forum musyawarah, dan pelatihan mengelola jiwa melalui tirakat, memperkuat identitas dan otoritas santri.

Melalui kurikulum kitab kuning, khazanah pesantren terbukti masih cukup relevan dan menjadi agent of moderation. Santri meramunya melalui forum seperti bahtsul masail. Sekalipun rujukan yang digunakan adalah kitab-kitab klasik, namun referensinya mu’tabar.

Santri mengambil metode berpikir dan nilai kebaikan universal atas pertimbangan syariat. Inilah salah satu bentuk otoritas keilmuan santri, bentuk jihad intelektual, yang sampai hari ini, masih menjadi rujukan masyarakat terutama pada persoalan keagamaan.
Kembali pada makna jihad.

Ketika membaca ayat-ayat jihad, qital (perang) dan kereng terhadap non-muslim, maka kalangan santri setidaknya melihat pada tiga aspek. Yakni pada tataran teks, konteks, dan kontekstual kebutuhan dan kondisi. Catatan sejarah telah membuktikan bahwa para santri pernah jihad dengan angkat senjata melawan penjajah.

Misalnya yang dilakukan oleh Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari melalui revolusi jihad. Momen bersejarah ini pula yang melatarbelakangi rekognisi Hari Santri dari pemerintah pada 2015. Jelas alasan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari adalah mempertahankan bangsa dan negara dari penjajahan. Hasil ijtihad Mbah Hasyim selaras dan sedang menjalankan titah Nabi Muhammad Saw. yang menjaga Yastrib (Madinah) kala itu dari kabilah yang tidak sepakat dengan konstitusi Piagam Madinah.

Putra Mbah Hasyim, K.H. Wahid Hasyim, melanjutkan jihad ayahandanya dengan bentuk yang berbeda. Ketika proses pembentukan sistem negara Indonesia di awal kemerdekaan, ada beberapa usulan yang mencuat, seperti sistem syariat Islam, sistem komunis, dan national state.

Di forum ini, K.H. Wahid Hasyim turut andil sebagai anggota tim sembilan. Akses K.H. Wahid Hasyim di lingkaran pemerintahan pada gilirannya melahirkan sistem negara yang moderat dengan mengambil jalan tengah di antara usulan tersebut. Sehingga, rumusan final tertuang dalam sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mampu menaungi seluruh elemen bangsa. Sedikit kajian historis di atas menyatakan makna jihad bagi Santri menyesuaikan kondisi dengan landasan intelektual yang mapan serta komitmen kebangsaan.

Kekuatan santri pada pribadi berakhlaq dan otoritas keagamaan

[OPINI] Meneguhkan Tradisi Jihad Humanis Santri MillennialRektor UIN Walisongo Semarang Prof Imam Taufiq. (IDN Times/Dokumentasi pribadi)

Melanjutkan dua isu besar yang disebut Gus Yaqut, dapat menggunakan analisis SWOT, yaitu, strength (kekuatan), weakness (kelemahan), opportunity (peluang), dan threat (ancaman).

Kekuatan santri adalah pribadi berakhlak dan otoritas pengetahuan keagamaan. Santri Indonesia rata-rata dari Generasi Z (kelahiran 1996-2010) dan Generasi Y (1995-1985), di mana catatan Badan Pusar Statistik (BPS) 2020, menjadi kelompok usia dengan populasi terbanyak di Indonesia.

Survei dari Katadata Insight Center dan Kominfo RI pada 2021 menunjukkan, Gen Z memiliki indeks literasi digital paling tinggi, yakni sebesar 60% disusul Gen Y 54% dari jumlah responden tiap kategori. Indikator survei ini terdiri dari kemampuan digital, etika digital, keamanan digital, dan budaya digital.

Data di atas tentu menjadi harapan besar bangsa untuk lebih ‘Jayakan Negeri’.

Lebih lanjut, pemahaman konsep jihad yang arif, rahmah dan toleran dengan fondasi akhlakul karimah disertai kecakapan literasi digital, menjadi peluang yang besar bagi santri untuk giat diseminasi moderasi beragama di tengah hiruk-pikuk kehidupan. Namun juga penting menyadari titik lemah sekaligus ancaman yang sedang dan akan dihadapi para santri.

Data UNESCO di tahun 2021, angka minat baca Indonesia masih sebesar 0,0001 persen. Kemudian catatan Kemendikbudristek tahun 2022, nilai budaya literasi Indonesia sebesar 57,4 poin. Meski naik 5,7 persen dari tahun sebelumnya, namun angka ini perlu untuk ditingkatkan untuk menuju sumber daya unggul.

Oleh karenanya, menjadi tepat di momentum ‘Hari Santri’, Menteri Agama mendorong para santri untuk jihad intelektual, jihad peningkatan kualitas dan budaya literasi. Inilah jihad yang urgen diperjuangkan bagi santri untuk menyongsong generasi emas 2045. Terlebih percepatan arus informasi yang seyogianya dapat menjadi wasilah akselerasi santri.

Baca Juga: Joint Dengan UIN Syarif Hidayatullah, UIN Walisongo Bakal Buka Fakultas Kedokteran

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya