Punya Pengaruh Besar, 3 Makam Keramat di Solo Kerap Dikunjungi Pejabat

Tiga leluhur pendiri Kota Solo.

Semarang, IDN Times - Kota Surakarta atau lebih dikenal dengan Kota Solo merupakan salah satu pewaris Kesultanan Mataram yang pecah setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Setelah Indonesia merdeka Surakarta berstatus sebagai daerah istimewa setingkat provinsi, yang dikenal sebagai Daerah Istimewa Surakarta.

Selanjutnya, karena berkembang gerakan antimonarki di Surakarta serta kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan pejabat-pejabat Daerah Istimewa Surakarta, pada tanggal 16 Juni 1946 pemerintah membekukan status daerah istimewa yang dimiliki Daerah Istimewa Surakarta dan menghilangkan kekuasaan politik raja-raja Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran.

Kemudian Surakarta ditetapkan menjadi tempat kedudukan dari residen, yang memimpin Karesidenan Surakarta dengan wilayah seluas 5.677 km².

Karesidenan Surakarta terdiri dari daerah-daerah Kota Praja Surakarta, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali.Dan pada tanggal 16 Juni 1946 diperingati sebagai hari jadi Pemerintah Kota Surakarta modern hingga sekarang.

Terdapat tiga tokoh yang punya pengaruh besar, mereka disebut sebagai cikal bakal terbentuknya Kota Solo pertama kali, tiga tokoh tersebut yakni Ki Ageng Sala, Ki Ageng Henis, dan Raden Ngabehi Yosodipuro. Hingga kini makam ketiga tokoh tersebut selalu ramai dikunjungi mulai rakyat biasa hingga para pejabat.

Baca Juga: Pengujung Mal di Solo yang Masih Remaja Harus Tunjukan Kartu Identitas

1. Makam Ki Ageng Sala

Punya Pengaruh Besar, 3 Makam Keramat di Solo Kerap Dikunjungi Pejabatpariwisatasolo.surakarta.go.id

Setiap Hari Jadi Kota Solo pada tanggal 16 Juni, dan Hari Jadi Pemkot Surakarta pada tanggal 17 Februari, makam Ki Ageng Sala tak pernah absen untuk dikunjungi para pejabat teras di Kota Solo. Mulai dari Wali Kota Solo hingga jajaran eselon dibawahnya dan Muspida turut serta berziarah ke makam yang berlokasi di Kelurahan Baluwarti, Pasar Kliwon, Solo tersebut.

Ki Ageng Sala atau disebut juga Ki Gede Sala sendiri merupakan sosok pendiri Kota Solo, ia adalah seorang penyebar agama Islam di wilayah Solo bersama Kiai Carang dan Nyai Sumedang yang dimakamkan di berjajaran. Dimana semasa hidupnya Ki Gede Sala tinggal di desa Sala yang kini ditempati oleh Keraton Kasunanan Surakarta.

Konon katanya, Desa Sala dahulunya merupakan sebuah hutan rawa yang banyak ditumbuhi tanamanan pohon Sala. Pada masa Susuhan Pakubuwana II, akibat terjadi pemberontakan Pecinan, Keraton Kasunanan dipindah dari Kartasura menuju Desa Sala. Desa Sala sendiri dipilih karena dekat dengan sungai Bengawan Solo yang menjadi pusat mobilitas perdagangan pada zaman dahulu.

Setiapn tanggal 16 Juni dan menjelang puasa Ramadan serta bulan Sura, makam Ke Ageng Sala tak pernah sepi peziarah. Banyak peziarah datang dari berbagai Kota bahkan ada yang berasal dari luar negeri. Mereka datang untuk berdoa dan hening.

2. Ki Ageng Henis

Punya Pengaruh Besar, 3 Makam Keramat di Solo Kerap Dikunjungi Pejabatpariwisatasolo.surakarta.go.id

Ki Ageng Henis merupakan salah satu penyebar agama Islam di wilayah Laweyan, Solo yang dikenal dengan sebutan Kampung Batik Laweyan. Ia berjasa mengajarkan Islam sekaligus teknik membatik kepada para warga sekitar. Melalui Ki Ageng Henis inilah cikal bakal membatik di Kota Solo mulai muncul.

Makam Ki Ageng Henis sendiri terletak di tepi Sungai Jenes, Laweyan, dahulu sungai tersebut sering digunakan warga untuk mobilitas perdagangan batik. Di sebelah makam Ki Ageng Henis terdapat sebuah masjid. Konon, masjid tersebut merupakan masjid tertua di Kota Solo yakni didirikan pada tahun 1546. Masjid tersebut dahulunya adalah tempat beribadatan agama Hindu.

Kompleks makam Ki Ageng Henis didirikan tahun 1745, dan bernama Pasareyandalem Kyai Ageng Henis. Terdapat 4.000 makam tua disana. Setiap bulan Sura makam tersebut tak pernah sepi dari pengujung, bahkan banyak pengunjung yang datang dini hari untuk berdoa dan menikmati suasana sepi di makam tersebut.

3. Makam Raden Ngabehi Yosodipuro

Punya Pengaruh Besar, 3 Makam Keramat di Solo Kerap Dikunjungi Pejabatpariwisatasolo.surakarta.go.id

Berbeda dengan makam Ki Ageng Sala dan Ki Ageng Henis, makam Raden Ngabehi Yosodipuro sendiri terletak di luar Kota Solo. Makam tersebut terletak di Pengging, Banyudono, Kabupaten Boyolali.

Raden Ngabehi Yosodipuro adalah pujangga dari Keraton Surakarta Hadiningrat, R. Ng. Yosodipuro masih memiliki garis keturunan dari Kerajaan Pajang. Beliau adalah putra dari pasangan Raden Tumenggung (R.T.) Padmonegoro dan Siti Mariyam (Nyi Ageng Padmonegoro) dan lahir pada Tahun 1729 dengan nama Bagus Banjar.

R. Ng. Yosodipuro ikut berjasa dalam memindahkan Keraton Kasunanan Kartasura ke Desa Sala yang kemudian menjadi pusat Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Ia diangkat menjadi abdi dalem kadipaten dan tinggal di bekas Kedung Kol yang sekarang disebut Yosodipuran. R. Ng. Yosodipuro tidak hanya mengabdi kepada PB II, namun juga mengabdi pada PB III dan PB IV.

Konon, makam R. Ng. Yosodipuro jaga tak pernah sepi pengujung terutama pada malam Jumat Pahing. Banyak orang berduyun-duyun datang kesana untuk beziarah dan melakukan ritual berendam (kungkum) di umbul Pengging untuk memperoleh keberuntungan.

Baca Juga: Pengujung Mal di Solo yang Masih Remaja Harus Tunjukan Kartu Identitas

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya