Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Perbedaan Antara Optimis dan Delusional, Jangan Salah Kaprah

illustrasi optimis (pexels.com/Andrea Piacquadio)
illustrasi optimis (pexels.com/Andrea Piacquadio)
Intinya sih...
  • Optimis berdasar data, delusional berdasar keinginanSikap optimis didasari oleh evaluasi dan perhitungan matang terhadap kenyataan, sementara delusi hanya didasari oleh keinginan tanpa dukungan realitas.
  • Optimis menyadari risiko, delusional menyangkalnyaOptimisme menerima risiko dan fokus pada solusi, sedangkan delusi menutup mata terhadap risiko dan mengandalkan "feeling" atau doa.
  • Optimis bertindak nyata, delusional hanya bermimpiSikap optimis diiringi aksi nyata dan rencana konkret, sementara delusi hanya mengandalkan harapan kosong tanpa tindakan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Sikap optimis sering dianggap sebagai kunci untuk menjalani hidup dengan lebih ringan dan penuh harapan. Namun, di sisi lain, ada batas tipis yang bisa membuat seseorang terjebak dalam delusi, yakni keyakinan yang tidak berdasar dan jauh dari realita. Meskipun keduanya sama-sama melibatkan harapan positif terhadap masa depan, bukan berarti optimisme dan delusi bisa disamakan begitu saja.

Banyak orang keliru menyamakan optimisme dengan sikap terlalu percaya diri tanpa dasar. Padahal, perbedaan antara keduanya sangat krusial dalam menentukan cara seseorang menghadapi tantangan hidup. Optimis yang realistis mampu membaca situasi secara rasional dan tetap mempersiapkan diri terhadap kemungkinan terburuk. Sebaliknya, delusi justru bisa membuat seseorang abai terhadap realita dan cenderung menghindari kebenaran yang pahit. Berikut ini lima perbedaan mendasar antara sikap optimis dan delusional yang penting dipahami agar gak terjebak dalam kesalahan persepsi.

1. Optimis berdasar data, delusional berdasar keinginan

ilustrasi meeting (freepik.com/pressfoto)
ilustrasi meeting (freepik.com/pressfoto)

Seseorang yang optimis tidak hanya berharap sesuatu akan berjalan baik, tapi juga melakukan perhitungan matang terhadap kenyataan. Ia memeriksa kemungkinan yang ada, membaca tanda-tanda, dan membuat keputusan berdasarkan informasi yang valid. Harapan yang dimiliki bukan sekadar angan-angan, melainkan hasil evaluasi dari usaha yang sudah dan akan dilakukan. Ini membuat optimisme menjadi sikap yang kuat namun tetap membumi.

Di sisi lain, sikap delusional lahir dari keinginan yang terlalu kuat tanpa adanya dukungan realitas. Keyakinan semacam ini biasanya tidak didukung oleh fakta atau bukti yang masuk akal. Orang yang delusional sering menolak kenyataan karena terlalu terikat pada apa yang diinginkan. Meskipun terlihat penuh semangat, sikap seperti ini rawan menimbulkan kekecewaan besar ketika realita tak sejalan dengan harapan.

2. Optimis menyadari risiko, delusional menyangkalnya

ilustrasi meningkatkan strategi komunikasi (freepik.com/drobotdean)
ilustrasi meningkatkan strategi komunikasi (freepik.com/drobotdean)

Optimisme sejati tidak mengabaikan kemungkinan kegagalan. Justru, ia menerima bahwa kegagalan itu mungkin terjadi, tapi memilih untuk fokus pada solusi dan peluang yang masih terbuka. Risiko dihitung, disadari, dan dijadikan dasar untuk menyusun strategi. Dengan cara ini, optimis bisa menjadi bekal untuk menghadapi masa depan dengan kesiapan mental yang lebih kuat.

Sebaliknya, delusi membuat seseorang menutup mata terhadap risiko yang ada. Mereka merasa segalanya akan berjalan sesuai rencana hanya karena yakin pada "feeling" atau doa tanpa usaha nyata. Penyangkalan terhadap risiko menjadikan sikap ini lebih mirip eskapisme ketimbang harapan. Ketika realita akhirnya memukul keras, orang yang delusional cenderung lebih rentan terhadap tekanan mental.

3. Optimis bertindak nyata, delusional hanya bermimpi

ilustrasi kerja remote (freepik.com/freepik)
ilustrasi kerja remote (freepik.com/freepik)

Sikap optimis memacu seseorang untuk bergerak, membuat rencana, dan menjalankan langkah konkret. Mereka percaya pada masa depan yang cerah, tapi tidak sekadar menunggu keajaiban. Setiap harapan diiringi oleh aksi nyata yang sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai. Optimis memupuk disiplin dan ketekunan, bukan hanya sekadar kepercayaan tanpa usaha.

Sementara itu, delusi lebih banyak mengandalkan harapan kosong dan mimpi yang tidak ditindaklanjuti. Meskipun terlihat yakin, mereka jarang memiliki rencana yang realistis atau komitmen untuk menjalankannya. Delusional adalah ketika seseorang hanya menenangkan diri dengan khayalan yang indah tanpa bergerak sedikit pun untuk mencapainya. Pada akhirnya, sikap ini cenderung menunda kemajuan dan menghambat potensi diri.

4. Optimis mau belajar dari gagal, delusional menghindari evaluasi

illustrasi belajar (pexels.com/Los Muertos Crew)
illustrasi belajar (pexels.com/Los Muertos Crew)

Kegagalan bukan hal yang menakutkan bagi orang yang optimis. Mereka melihatnya sebagai bagian dari proses yang harus dilalui untuk mencapai hasil terbaik. Setiap kegagalan menjadi pelajaran yang berharga dan dijadikan bahan refleksi untuk memperbaiki langkah berikutnya. Optimisme membantu seseorang tetap bertahan dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.

Berbanding terbalik, delusional cenderung mengabaikan kegagalan atau menyalahkan faktor eksternal tanpa mau introspeksi. Bagi mereka, pengakuan atas kesalahan bisa mengganggu ilusi bahwa semuanya akan berjalan sempurna. Karena itu, mereka lebih suka menyangkal kenyataan dan terus hidup dalam fantasi. Akibatnya, pertumbuhan pribadi pun terhambat karena tidak ada evaluasi jujur yang dilakukan.

5. Optimis menerima kenyataan, delusional menolak fakta

illustrasi delusional (pexels.com/Jose Musa)
illustrasi delusional (pexels.com/Jose Musa)

Optimisme tidak berarti menutup mata terhadap fakta yang menyakitkan. Justru, optimis membantu seseorang tetap berpijak di dunia nyata sambil tetap memelihara harapan akan perbaikan. Orang yang optimis mampu menerima kekurangan, tantangan, dan hambatan sebagai bagian dari kehidupan. Dari sana, mereka bisa menyesuaikan strategi dan tetap berjalan maju.

Sebaliknya, delusi sering kali muncul ketika seseorang terlalu takut menghadapi kenyataan. Mereka memilih untuk mengabaikan fakta-fakta yang tidak sesuai dengan harapan dan membangun narasi sendiri untuk menghibur diri. Penolakan terhadap realita ini sangat berisiko karena membuat seseorang sulit untuk berkembang dan terjebak dalam lingkaran ketidakjujuran terhadap diri sendiri.

Optimis dan delusional memang sama-sama melibatkan harapan, tetapi kualitasnya sangat berbeda. Optimisme membawa pada tindakan nyata dan penerimaan terhadap kenyataan, sedangkan delusi justru menjauhkan seseorang dari realita. Menyadari perbedaan keduanya bisa menjadi langkah awal untuk hidup lebih seimbang dan sehat secara mental.

Jangan salah mengartikan sikap positif dengan angan-angan kosong. Semakin bisa membedakan antara harapan realistis dan delusi, semakin besar peluang untuk mencapai hal-hal yang benar-benar bermakna dalam hidup.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dhana Kencana
EditorDhana Kencana
Follow Us