TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Cerita Gen Z Pengguna Paylater, Tagihan Membengkak saat Bayar Tagihan

Bisa bermanfaat kalau digunakan secara bijak

Google Image

Semarang, IDN Times - Gaya hidup kalangan millennial dan generasi Z menggunakan fasilitas metode pembayaran angsuran dengan uang digital atau paylater kini tengah menjadi tren. Namun, fenomena layanan paylater tersebut bisa menjadi pisau bermata dua.

Baca Juga: Konversi 30 Ribu Kardus Bekas Paket Belanja Online jadi Bibit Mangrove

1. Anak kos gunakan paylater untuk berbelanja

ilustrasi belanja (IDN Times/Arief Rahmat)

Fasilitas di aplikasi digital ini satu sisi akan memudahkan konsumen dalam bertransaksi, tapi di sisi lain bisa berujung petaka karena mendorong sikap konsumtif hingga terlilit hutang. 

Seperti pengalaman seorang anak muda, Annissah Rachmayanti. Ia pernah menggunakan fasilitas paylater yang disediakan di sejumlah aplikasi digital. Cerita itu berawal saat ia merantau dari Surabaya ke Semarang untuk melanjutkan kuliah S2 di sebuah perguruan tinggi Ibu Kota Jawa Tengah. 

“Pertama kali pakai paylater itu saat pindah di Semarang. Saya butuh membeli perabotan untuk mengisi kos seperti setrika, kipas angin, dan lainnya. Namun, karena belum dapat kiriman (transfer) dari orang tua, akhirnya saya putuskan pakai paylater,” ujarnya.

2. Proses pengajuan paylater mudah dan singkat

Sketchvalley

Kemudian, setelah membaca syarat dan ketentuan paylater di aplikasi digital belanja online, gadis berusia 23 tahun itu mendaftar fasilitas tersebut. Syaratnya cukup mudah dan sesuai ketentuan bunga yang dibebankan konsumen tidak sampai 0,5 persen dari nilai pinjaman. Lalu, proses verifikasi juga tidak membutuhkan waktu lama.

“Kalau di syarat dan ketentuan tertulis harus menunggu verifikasi 1x24 jam, tapi nyatanya nggak sampai 24 jam paylater sudah bisa digunakan. Saya kemudian mengajukan dana pinjaman sebesar Rp300 ribu dan diangsur selama tiga bulan, tidak butuh waktu lama dana langsung cair masuk saldo,” jelasnya.

Annissah pun langsung berbelanja perabotan yang dibutuhkan dan membayar tagihan senilai Rp280 ribuan. 

3. Terima tagihan paylater beda dengan perjanjian

Pexels.com/Pixabay

Sebulan kemudian, saat hendak membayar tagihan ia kaget dengan nilai cicilan yang ditagihkan paylater. Sebab, selain menagihkan angsuran pokok dan bunga, paylater dari aplikasi belanja online tersebut juga menagihkan biaya administrasi dan biaya penangguhan. Sehingga, ia tidak pembayaran angsuran membengkak dari Rp108 ribu menjadi Rp120ribu.

“Ya, aku kaget kok tagihannya tidak sesuai dengan yang ditagihkan di awal senilai Rp108 ribu malah jadi Rp120 ribu. Ini kan pembohongan publik. Mau dicancel juga tidak bisa, akhirnya ya harus tetap mencicil tiga kali selama tiga bulan dan tepat waktu. Sebab, kalau melebihi waktu jatuh tempo bakal kena denda Rp10 ribu per hari. Kalau melebihi tiga hari denda jadi Rp15 ribu per hari,” jelas anak Gen Z itu.

Pengalaman lain, paylater dari aplikasi belanja online yang pernah dipakai Annissah ini berbeda dengan paylater yang tersemat di aplikasi digital serba bisa yang melayani transportasi hingga pemesanan makanan secara online.

Menurut dia, fasilitas paylater tersebut lebih bermanfaat dan tidak mencekik leher. Sebagai anak kos ia sering memanfaatkan paylater untuk memesan makanan atau transportasi kalau ke kampus. 

“Jadi kalau mengajukan dana paylater di aplikasi ini cuma kena biaya administrasi sebesar Rp7.500. Misal ajukan Rp300 ribu, dana yang masuk ke saldo kita langsung dipotong biaya administrasi jadi terimanya Rp292.500,” katanya.

Baca Juga: Transaksi Belanja di Tokopedia Naik 2 Kali Lipat, Ini 5 Produk Terlaris di Semarang

Berita Terkini Lainnya