TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Puluhan Tahun Dibelenggu Stigma G30S, Pulihkan Hak Kami Pak Jokowi

Sumini menuntut keadilan yang layak

Deborah Sumini, seorang korban peristiwa G30S saat menceritakan kisahnya saat peringatan Hari HAM. IDN Times/Fariz Fardianto

Semarang, IDN Times - Mata Sumini berkaca-kaca saat berbicara di hadapan para mahasiswa di sudut ruangan Gedung Thomas Aquinas, Unika Soegijapranata, Jalan Pawiyatan Luhur, Semarang, Kamis (5/12).

Siang itu memorinya kembali terkantuk saat membahas peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Sumini mengingat kejadian G30S telah merenggut segalanya.

 

Baca Juga: Kisah Ahmad Sukendro, Jenderal yang Selamat dari Penculikan G30S/PKI

1. Sumini merasakan kehidupan kelam bersama anak-anaknya pasca G30S

Deborah Sumini, seorang korban peristiwa G30S saat menceritakan kisahnya di Unika Soegijapranata. IDN Times/Fariz Fardianto

Impiannya untuk menjadi seorang insinyur pertanian yang handal, pudar seketika tatkala insiden penculikan para jenderal terjadi di Jakarta. Sumini kala itu mahasiswi Institut Pertanian dan Gerakan Tani Bogor. 

Bahkan, pahit getirnya masih dirasakan oleh anak-anaknya saat beranjak dewasa. "Anak saya hampir stres gara-gara kejadian G30S. Mau ngapa-ngapain gak bisa karena selalu diawasi oleh tentara," katanya dengan suara tercekat.

Baca Juga: Hari Ini Peringatan Gerakan 30 September dan Kita Harus Membicarakan Gerwani!

2. Masuk Gerwani di usia 18 tahun

Repro. "Fajar Orde Baru" (Yayasan Kesejahteraan Jayakarta - Kodam V Jaya; Badan Penerbit Almanak RI/B.P. Alda)

Perempuan kelahiran Pati tahun 1946 silam tersebut merasa diperlakukan tak adil oleh negara. Saat G30S meletus, ia masih berusia 18 tahun.

Di usia yang amat belia tersebut, ia senang bergaul dengan seluruh lapisan masyarakat. Hidup di tengah masyarakat miskin di Pati membuatnya tertarik untuk mengangkat harkat hidup warga desanya.

Sesekali ia diminta mengajar anak-anak di TK Kartini. Ketika luang ia juga mengajari para buruh membaca agar terlepas dari buta huruf.

Tak jarang ia juga berani menggerakan para buruh agar mogok kerja demi mendapatkan upah yang layak. Saat hama merebak di sawah, ia pun memobilisasi warga untuk memusnahkan tikus secara massal.

Pergulatannya pada gerakan kaum papa itulah yang membuat dirinya sukarela bergabung dengan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). 

"Apa saya salah mengajarkan anak-anak baca tulis, apa saya juga salah ajarkan buruh pabrik membaca biar tidak buta huruf. Kenapa saya yang dituduh menculik para jenderal itu. Padahal ketika kejadian saya berada di Bogor, bukan di Jakarta apalagi Lubang Buaya," ujar wanita 73 tahun ini.

"Saat kejadian, saya malah dituduh yang menari-nari telanjang sambil menyayat para jenderal. Ini benar-benar fitnah yang keji. Sampai akhirnya saya ditangkap, dipenjara tanpa diadili selama 5,5 tahun," katanya sembari menghapus air matanya.

3. Sumini minta dilakukan rekonsiliasi dengan tingkat paling atas

Buku Sejarah Pemerintahan di Kalimantan Timur dari Masa ke Masa, 1992

Ia mengatakan, di hari HAM yang jatuh pada 10 Desember seharusnya jadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan rekonsiliasi dengan para penyintas peristiwa G30S di setiap daerah.

Sumini bilang proses rekonsiliasi di akar rumput saat ini sudah selesai. Termasuk bersatu kembali dengan para tetangga, para pelaku dan masyarakat di tempat kelahirannya.

"Sebenarnya dengan akar rumput itu sudah selesai. Yang belum tuntas itu rekonsiliasi di tingkatan atas. Dengan pemerintah ini yang belum menemukan titik temu. Padahal, Pak Jokowi berjanji dalam nawacitanya untuk mengusahakan rekonsiliasi bagi penyintas 65. Nyatanya sampai sekarang belum terlaksana," tuturnya. 

Baca Juga: Ini 4 Fakta Kontroversial Film G30S/PKI 

Berita Terkini Lainnya