Dear Mahasiswi Semarang, Hindari Bunuh Diri Dengan Asah Kecerdasan Emosi

Otak encer cuma menentukan 20 persen kesuksesan, lho

Semarang, IDN TimesPotensi melakukan bunuh diri bisa dialami para mahasiswi yang berkuliah di Kota Semarang. Musababnya, menurut Probowatie Tjondronegoro, seorang psikolog RS Santo Elisabeth Semarang, rata-rata mahasiswi yang melakukan konsultasi kesehatan mental kebanyakan memiliki beban pikiran yang beragam. 

"Banyak yang dikirim oleh dosennya. Dibawa ke saya. Ngobrolnya tentu awalnya baik-baik. Keluhannya percintaan biasa, ada kalau beban skripsi. Pas konsultasi merasa kok ada yang salah sama diri saya ya bu. Jadi macam-macam. Yang patah hati juga ada," tutur Probo kepada IDN Times melalui telepon, Jumat (13/10/2023). 

Baca Juga: Waspadai Copycat, Perilaku Meniru Bunuh Diri dari Informasi Medsos

1. Psikolog: Pandai-pandailah bergaul!

Dear Mahasiswi Semarang, Hindari Bunuh Diri Dengan Asah Kecerdasan EmosiPetugas inafis memasukan jenazah seorang pengunjung Mal Paragon Semarang ke dalam ambulans. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Ia menerangkan dalam rentang periode Januari hingga awal Oktober 2023 mahasiswi yang mengeluhkan gangguan mentalnya sangat banyak.

Ia mengestimasikan setiap bulan ada lima sampai tujuh mahasiswi yang berkonsultasi pada dirinya sendiri. 

"Ya emang mereka pinter lah tapi kecerdasan emosinya harus diolah. Dikendalikan supaya bagaimana bisa komunikasinya lancar sama orang-orang, sama orang tua lebih cair, bisa akrab. Karena risiko bunuh diri terjadi jika mereka tidak punya tempat berbagi. Artinya musti ada kecerdasan emosi ya bener. Pesan saya kepada para mahasiswi di Semarang, pandai-pandailah bergaul," sambungnya.

2. Jumlah kasus gangguan mental cukup banyak

Dear Mahasiswi Semarang, Hindari Bunuh Diri Dengan Asah Kecerdasan Emosihttps://www.alodokter.com/kenali-6-ciri-ciri-gangguan-mental

Banyaknya mahasiswi yang berkonsultasi kepada dirinya sendiri karena latar belakang pemikiran mereka telah terbuka dengan banyaknya referensi tempat mengatasi gangguan mental. 

"Lumayan bertahun-tahun ini. Mereka jadi sadar karena banyak info kemana-mana kan, jadi mereka pada mencari tempat bantuan. Sehingga mereka datang ke saya. Ada juga yang lewat telepon, artinya konsultasi online. Dalam sebulan ada lima sampai tujuh kasus. Paling marak memang keluhannya soal beban tugas akhir dan tindakan berpikir seksual,” ujar Probo.

3. Rata-rata dialami mahasiswi S1 semester akhir

Dear Mahasiswi Semarang, Hindari Bunuh Diri Dengan Asah Kecerdasan EmosiSeleksi mandiri Unnes. (Dok Humas Unnes)

Mayoritas mahasiswi yang mengeluhkan gangguan mental berkuliah Strata 1 (S1) dan sebagian mahasiswi program magister (S2) dari kampus swasta maupun negeri di Semarang.

Kendati demikian, mereka berasal dari luar kota bahkan ada yang dari Jakarta. Kebanyakan mereka menjalani konsultasi selama dua jam.

"Kebanyakan perempuan. Kuliahnya di Semarang tapi domisilinya luar kota. Ada yang dari Jakarta. Sehari saya bisa tangani tiga klien. Kecenderungan ya mereka ngaku gak punya teman, gak percaya sama orang. Habis dipancing baru ketahuan masalah. Rata-rata sih keluhannya tiba- tiba tugas penelitiannya terlambat. Sulit tidur. Ada juga referensi dokter spesialis penyakit dalam karena katanya asam lambung. Pas dikonsultasikan ternyata hubungan komunikasinya dengan orang tua tersumbat," ungkapnya. 

4. Kesuksesan hidup tidak ditentukan IQ tinggi. Tapi dari ESQ

Dear Mahasiswi Semarang, Hindari Bunuh Diri Dengan Asah Kecerdasan Emosiilustrasi keluarga (IDN Times/Mardya Shakti)

Lebih lanjut lagi, Probo mengungkapkan para mahasiswi yang ditanganinya ada niatan untuk bunuh diri akan tetapi cepat disadarkan melalui berbagai metode dan solusi yang tepat. "Ada keinginan itu tapi tidak ada yang sampai bunuh diri. Mereka mau ngomong. Mereka bermasalah cuman habis penyembuhan dan lolos terus bisa menikmati hidupnya,".

Dikatakan kebanyakan mahasiswi di Semarang memiliki tingkat kecerdasan otak atau IQ yang tinggi namun beban kuliahnya memang sangat berat. 

Padahal, ia menyebutkan menjadi seseorang yang bertahan hidup tidak hanya membutuhkan otak yang encer saja. Melainkan dengan mengasah kecerdasan emosi (ESQ) sehingga menjadi sosok yang kuat dan tangguh menghadapi segala macam cobaan hidup di masa depan. 

"Yang datang kepada saya sebagian besar IPK-nya di atas angka 3,5. Itu tandanya mereka kan pintar-pintar. Hanya saja beban kuliahnya berat sehingga menjadi masalah. Kenapa saya bilang begitu karena yang kirim itu dari dosennya. Rata-rata pendidikan S1 kuliahnha semester akhir, tapi ada juga yang S2. Yang harus dipahami para orang tua adalah IQ anak yang tinggi itu hanya menentukan 20 persen kesuksesan. Sedangkan 80 persennya ditentukan ESQ atau kecerdasan emosional,” paparnya. 

Baca Juga: Mahasiswa S2 Matematika Unnes Ditemukan Meninggal di Kos-kosan

Topik:

  • Dhana Kencana

Berita Terkini Lainnya