Eling lan Waspodo, Pengingat Hamba Ilahi sebagai Insan Penjaga Bumi

Menjadi bijak agar menjadi manusia bajik

Ramadan tahun 2024 menjadi spesial. Yang tidak akan terlupakan adalah terjadinya hujan lebat yang menyambut datangnya bulan yang mulai bagi umat Islam tersebut, di awal Maret 2024.

Kondisi tersebut terjadi hampir di sebagian besar wilayah Indonesia. Periset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin menyatakan, hal itu merupakan dampak adanya fenomena alam squall line atau bibit badai siklon tropis 18S.

Squall line menghasilkan angin dan hujan yang turun bersamaan selama berjam-jam. Tingginya intensitas curah hujan membuat beberapa daerah banjir. Salah satunya di Ibu Kota Jawa Tengah, Kota Semarang.

Sejumlah akses transportasi lumpuh terimbas squall line. Mulai dari transportasi darat, laut, hingga penerbangan.

Hal itu memengaruhi perekonomian daerah selama sepekan awal di bulan Ramadan. Sebaliknya, rumah warga yang semula aman tak terdampak banjir, terpaksa harus berjibaku menahan sekuat tenaga dan upaya agar air tak masuk ke gubuk mereka, tak terkecuali saya ikut terimbas.

Ya, bencana sering kali menjadi perenungan manusia sebagai hamba Ilahi. Ada yang memandangnya sebagai ujian kepada hamba-Nya sebagai bentuk kasih sayang Tuhan.

Maka, tidak sedikit yang memanfaatkannya menjadi momentum untuk perubahan diri dan kehidupan sehingga menjalin dan merekatkan kembali hubungan hamba dengan Allah, yang sering disebut sebagai Hablum Minallah (حَبْلٍ مِّنْ اللَّهِ).

Titik balik yang tak kalah penting adalah bagaimana menjadikan bencana sebagai perenungan dalam membina hubungan antarmanusia dengan alam seisinya yang ada di Bumi ini, atau disebut Hablum Minannas (حَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ). Karena sebagian besar bencana, apalagi yang berhubungan dengan iklim (hidrometeorologi) pasti secara tidak sengaja ada campur tangan ulah manusia sebagai insan penghuni Bumi, seperti saya, anda, atau siapa pun.

Fenomena perubahan iklim atau krisis iklim yang saat ini terjadi adalah nyata adanya dan benar-benar terjadi. Alam tidak marah, hanya menjadi petanda bagi manusia untuk selalu eling lan waspodo (red: ingat dan waspada). Yakni, apa yang manusia perbuat--mulai dari berpikir, berucap, bersikap, dan bertindak--dengan sesama manusia, makhluk hidup, dan lingkungan harus berlandaskan pada cinta dan kasih sayang.

Memang terkesan melangit bahasanya. Tapi solusinya bisa dimulai dari hal kecil dan lingkup terdekat, yakni keluarga. Contohnya bijak menggunakan sumber daya yang ada, mulai dari energi listrik, bahan bakar, plastik, dan sandang. Dengan begitu, hidup selalu waspodo dengan lingkungan sekitar.

Lalu, mengarusutamakan sumber daya lokal, rempah, bahan organik, dan pangan daerah yang sebagian besar menjadi penghidupan warga, yang mana di dalamnya terdapat orangtua, saudara, dan tetangga. Koneksi tersebut menjadi pengingat manusia untuk selalu eling bahwa ada manusia lain yang hidup dari situ.

Imbal baliknya tidak untuk dua, empat, atau delapan tahun lagi. Tetapi untuk masa depan Bumi, yang akan kelak menjadi tempat tinggal keturunan kita. Apakah mereka menjadi generasi yang merugi? Atau justru menikmati keindahan Bumi sebagai tempat tinggal yang nyaman?

Tidak perlu menghitung atau menakar apa yang sudah dilakukan orang lain, atau pihak lain. Apabila serentak dilakukan, sekecil apa pun kontribusi yang diberikan oleh manusia kepada sesama dan alam semesta akan menjadi catatan ibadah dan ubudiyah yang kelak dan pasti menjadi pertanggungjawaban sebagai hamba kepada Tuhan, apa yang sudah diperbuat dan dilakukan selama hidup di Bumi?

Cinta dan kasih sayang kepada manusia dan alam semesta akan kembali kepada mereka yang memberikannya dan mewujudkan keseimbangan relasi, antara Tuhan dan sesama manusia. Baik itu berupa rahmat, kesehatan, rezeki, dan kemakmuran. Karena percayalah, setiap kebaikan yang diberikan akan dikembalikan dengan kebaikan yang lebih lagi kepada mereka. Sebaliknya, hal serupa akan berlaku bagi mereka yang tidak mau atau acuh untuk eling lan waspodo.

Mari menjadi bijak agar menjadi manusia bajik.

Baca Juga: Urip Iku Urup, Belajar dari Wejangan dan Filosofi Hidup Sunan Kalijaga

Topik:

  • Dhana Kencana

Berita Terkini Lainnya