TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengulik Sejarah Terbentuknya Semarang dan Demak, Berawal dari Banjir

Mayoritas tanahnya lempung

Foto udara kondisi jalur utama pantura Demak-Kudus yang terendam banjir di Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Senin (18/3/2024). Menurut data yang dihimpun BPBD Kabupaten Demak dari Rabu (13/3) hingga Senin (18/3) banjir yang kembali melanda Kabupaten Demak itu karena curah hujan tinggi yang menyebabkan sejumlah tanggul sungai jebol sehingga mengakibatkan ribuan rumah terendam banjir di 89 desa dari 11 kecamatan, 24.946 jiwa mengungsi, serta terputusnya jalur utama pantura Demak-Kudus. (ANTARA/Aji Styawan)

Semarang, IDN Times - Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah meminta semua pihak di wilayah Kota Semarang dan Kabupaten Demak mewaspadai penurunan muka tanah yang masif setiap tahunnya. Pasalnya, adanya penurunan muka tana harus menjadi perhatian serius agar penataan rancangan tata ruang wilayah (RTRW) dapat dibenahi.

Kepala Dinas ESDM Jateng, Boedya Dharmawan mengakui dengan kondisi permukaan tanah Kota Semarang dan Kabupaten Demak yang mengalami penurunan secara masif maka tidak menutup kemungkinan pada masa mendatang Selat Muria akan muncul kembali. 

"Karena bisa saja terjadi. Maka semuanya harus buka mata. Secara geologi, dengan kondisi alami itu ditambah pengembangan kota oleh tata ruang, bangunan dan peningkatan jalan. Muka tanahnya turun 2 sentimeter per tahun," ungkap Boedy, Minggu (30/3/2024). 

Baca Juga: 591 PPPK di Kota Semarang Dilantik, Mayoritas Tenaga Guru

1. Semarang dan Demak terbentuk dari tanah lempung

Rumah warga di Kabupaten Demak terendam banjir. (Antara/Yusuf Nugroho)

Ia menuturkan tanah aluvial adalah karakter tanah lempung yang lunak. Tanah aluvial juga bersumber dari sedimentasi lumpur. Oleh sebab itu, wilayah Kota Semarang dan Demak mayoritas memiliki jenis tanah sedimen aluvial yang membuat kompasi tanahnya tak begitu kuat.

Kondisi tanah yang labil juga diperparah dengan pengembangan tata ruang yang carut-marut. Sehingga menambah beban tanah dan terjadi penurunan muka tanah atau land subsidence. 

2. Semarang dan Demak masuk zona merah cekungan air tanah

Banjir di wilayah Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Kamis (14/3/2024). (Dok. BPBD Kabupaten Demak)

Faktor pemicu lainya, di Semarang-Demak merupakan zona merah pemetaan cekungan air tanah. Adanya tanah aluvial dengan beban bera diatasnya tak memiliki daya penyangga atau sumber air. 

"Perlu dikonsep pengembangan wilayahnya, misal bangunan industri atau rumah harus sekian lantai. Penggunaan material ringan. Nah ini perlu didorongbserta kerjasama lintas sektoral. Kalau semua sepakat, pasti bisa diminimalisir," akunya. 

3. ESDM Jateng larang pengambilan air tanah

Pemukiman warga di Kedungbanteng, Desa Wonorejo, Kecamatan Karanganyar, Demak yang masih terendam banjir, Rabu (27/3/2024). (IDN Times/Bandot Arywono)

Adapun langkah yang ditempuh Dinas ESDM yakni melarang penggunaan air tanah di kawasan zona merah. Pelarangan penggunaan air tanah itu sebagai upaya mengembalikan kondisi air menjadi hijau atau baik kembali.

"Kita sudah petakan dan melarang. Agar cadangan airnya bisa pulih. Seperti Kota Semarang, Walikotanya sudah mengeluarkan Perwal [peraturan walikota] jika perhotepan dilarang memakai air tanah," jelasnya. 

Boedy menambahkan, upaya meminimalisir bencana banjir di Jawa Tengah bakal menjadi pekerjaan rumah panjang. Sebab, banyak faktor yang mempengaruhi konfisi geografis di Jateng.

"Maka sekali lagi, ini perlu kesadaran dan bersama. Karena memang, bencana itu alam, tak bisa diprediksi, tapi setidaknya bisa diminimalisir," ujar Boedy. 

Berita Terkini Lainnya