TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Bercokol Sejak 1948, Kwaci Cap Gadjah Akhirnya Bangkrut Dihantam Pagebluk

Kwaci Cap Gadjah merek kuaci legendaris di Semarang

Kwaci Cap Gadjah yang tersisa di dalam tokonya (IDN Times/Fariz Fardianto)

Pandemik COVID-19 selama setahun lebih tak cuma memukul segala sendi kehidupan masyatakat Indonesia. Mulai dari sektor perekonomian, instansi pendidikan hingga pelaku usaha transportasi berlomba mencari celah agar tetap bertahan ditengah sulitnya situasi di masa pandemik virus corona.

Dari ragam jenis usaha yang terdampak pandemik, salah satu efeknya dirasakan oleh usaha home industri di Semarang. Salah satunya dialami toko Kwaci Cap Gadjah yang telah limbung dihantam pandemik yang berkepanjangan. 

Baca Juga: 5 Manfaat Kuaci Bagi Kesehatan Tubuh, Bisa Cegah Kanker

1. Warga Semarang mengenal Kwaci Cap Gadjah jadi jajanan favorit saat masa kecil

Patung gajah dipajang bersama toples berisi Kwaci Cap Gadjah (IDN Times/Fariz Fardianto)

Terletak di Jalan Gang Pinggir, kawasan Pecinan, Kota Semarang, toko Kwaci Cap Gadjah kini sehari-hari dipastikan sudah kosong melompong.

Dilihat dari namanya saja, orang-orang sudah bisa menebak jika lokasi yang satu ini merupakan produsen jajanan biji kuaci. Bagi warga Jawa Tengah--khususnya yang tinggal di sekitar Semarang--sangat familier terhadap produk Kuwaci Cap Gadjah.

Ahmad Muzakir misalnya. Dirinya berkata sebelum sejumlah produk camilan kuaci marak beredar di pasaran--macam kuaci bunga matahari dan kuaci Rebo--pada masa kecilnya Kuwaci Cap Gadjah jadi camilan favorit saat bermain dengan teman sebaya.

"Dulu itu anak Semarang paling suka jajan Kwaci Cap Gadjah. Kemasannya kecil-kecil jadi mudah dikantongi sambil main sama teman-teman di kampung. Dan rasanya yang asin mungkin itu yang bikin anak-anak era 90an suka jajan Kwaci Cap Gadjah," ujar warga Kampung Kauman, Semarang Tengah itu saat berbincang dengan IDN Times, Jumat (11/6/2021). 

2. Nonton televisi sambil makan kuaci menambah kehangatan di rumah

Pexels.com/JoàoJesus

Bagi Ahmad, Kwaci Cap Gadjah menyimpan romantika tersendiri lantaran banyak kenangan ketika dirinya menghabiskan masa kecilnya di Semarang. 

Dahulu kala ia sering membeli Kwaci Cap Gadjah yang dijual di warung-warung kelontong. Harganya pun masih Rp500 untuk satu bungkus isi 2 ons. 

"Makan kuaci bareng kakak dan orangtua di rumah sambil nonton TV itu yang buat saya kangen. Karena suasananya terasa santai, kita juga guyup. Kalau sekarang Kwaci Cap Gadjah sulit nyarinya. Yang ada ya kuaci Rebo atau bunga matahari, tapi rasanya udah gak original," akunya. 

3. Produksi Kwaci Cap Gadjah berhenti total selama pandemik

Toko Kwaci cap Gadjah di Pecinan Semarang (IDN Times/Fariz Fardianto)

Saat IDN Times menyambangi Toko Kwaci Cap Gadjah, sudah tak ada aktivitas apapun di dalam toko. Hanya tersisa Yongki, seorang pegawai Kwaci Cap Gadjah yang masih setia menjaga toko sekaligus membersihkan perabotan di dalamnya. 

Yongki mengatakan dengan adanya pandemik, bisnis Kwaci Cap Gadjah diambang kebangkrutan karena ditinggalkan oleh semua pegawainya. 

"Produksinya Kwaci Cap Gadjah ya di sini. Cuman sejak ada pandemik COVID-19, kita berhenti total. Ini kata pemiliknya bisnisnya mau ditutup. Sekarang kita gak bisa berbuat apa-apa lagi. Kita mau produksi lagi juga terhambat banyaknya aturan protokol kesehatan dari pemerintah. Soalnya Kwaci Cap Gadjah produksinya masih handmade. Semuanya dikerjakan manual pakai tangan," terangnya. 

Baca Juga: Kisah Dewa Musik, Sosok Raja Penjaga Gedung Tua Pecinan di Semarang

4. Kwaci Cap Gadjah sudah eksis sejak zaman kemerdekaan Indonesia

Patung gajah jadi logo merek Kwaci Cap Gadjah (IDN Times/Fariz Fardianto)

Berdasarkan informasi yang diperoleh IDN Times, Kwaci Cap Gadjah pertama kali didirikan pada 1948 silam. Pada masa kemerdekaan Indonesia, Kwaci Cap Gadjah menjadi merek produk kuaci yang tersohor di seantero Semarang. Semula Kwaci Cap Gadjah merupakan camilan mayoritas masyarakat Thionghoa. 

Menurut Yongki sejak eksis tahun 1948, Kwaci Cap Gadjah kini telah berusia sekitar 64 tahun. Generasi kedua pewaris bisnis Kwaci Cap Gadjah ialah Sucipto Nyotowidjaja. 

5. Lambang gajah masih dipertahankan sampai sekarang

Papan nama Kwaci cap Gadjah yang dipertahankan di tokonya (IDN Times/Fariz Fardianto)

Tidak diketahui secara pasti mengenai era kejayaan Kwaci Cap Gadjah, namun di dalam tokonya masih dapat dilihat sisa-sisa peninggalan sejarah saat meraih popularitasnya. Pada ruang tamunya masih terdapat papan nama produknya, lengkap dengan guratan tulisan Mandarin.

Uniknya, gambar Gajah sebagai logo paten Kwaci Cap Gadjah masih dipertahankan sampai sekarang.

"Sebelum pandemik ada 10 orang yang kerja. Kalau dulu bisa sampai 20 pekerja. Proses pemasarannya di wilayah lokal Semarang. Biasanya menyasar ke warung-warung," paparnya. 

Di dalam toko, Yongki bilang sebagai kenang-kenangan, Sucipto selaku pemilik Kwaci Cap Gadjah sengaja memasang display patung gajah berukuran 15 sentimeter dan beberapa bungkus kuaci yang sangat ikonik. 

"Bungkusnya yang dipajang di sini ukuran besar untuk isi kuaci 4 ons dan 2 ons. Lambangnya tetap gajah khas Thailand. Sekarang penjualannya turun drastis. Penyebabnya ya persaingan yang ketat. Industri camilan juga tumbuh subur di Semarang," pungkasnya. 

Baca Juga: Jejak Pabrik Hygeia Air Mineral Pertama di Pasar Barang Antik Semarang

https://www.youtube.com/embed/MUu741Oqf9w
Berita Terkini Lainnya